Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Melihat Kesusastraan Arab Masa Pra Islam

Kesusastraan
sumber: republika.co.id

“Badai pasir sebentar lagi datang”. Para kabilah yang bermukim di gurun-gurun gersang sudah siap menemuinya. Tak ada kata menetap, semuanya berpindah-pindah layaknya air dengan wadah. Jika wilayah yang ditinggali sudah tidak memungkinkan untuk memenuhi persediaan sumber daya, atau dimulainya peperangan, atau datangnya bencana alam, maka mereka akan berpindah.

Menariknya, walaupun bangsa Arab terdahulu dikenal nomaden, ada satu tempat di mana mereka akan berkumpul dan memperlihatkan kelihaian dalam mengolah kata per kata, kalimat per kalimat. Di mana kemampuan bersyair dipertandingkan dalam suatu kompetisi. Di mana kehormatan, kebanggaan, keistimewaan diri serta kabilahnya dipertaruhkan di hadapan seluruh orang Arab.

Pasar Sebagai Tempat Pengembangan Kesusastraan

Orang Arab mengenalnya dengan sebutan pasar-pasar sastra atau al-aswaq. Selain tempat berlangsungnya aktivitas ekonomi, pasar adalah tempat pengembangan sastra dan kebudayaan. Yang paling terkenal bernama pasar Ukaz. Kompetisi bersyair di pasar ini mempertemukan penyair-penyair papan atas yang didominasi oleh kabilah Quraisy, Hawazin, Ghatfan, Khuza’ah, dan Adhal.

Para penyair secara emosional mengajak para pendengar untuk hanyut dalam imajinasinya. Serangan demi serangan dilancarkan kepada lawannya, tentu saja sasarannya untuk melemahkan psikologis si penantang.

Tak lupa, kebesaran kabilahnya diperdengarkan pula lewat syair-syairnya. Tak sedikit dari mereka yang ber-elegi, mengisahkan kesedihan-kesedihan yang dialaminya. Juga menceritakan kesenangan-kesenangan hidup seperti wanita, anggur, judi, perburuan, keahlian berkuda, keahlian memanah, dan peperangan.

Genre syair berupa al-madh (pujian), al-hija’ (ejekan), al-fakhr (kebanggaan), al-ghazl (rayuan), ar-ritsa (elegi), al-I’tidzar (permohonan maaf), al-hamasah (keberanian), dan Al-Washf (deskripsi).

Para penyair yang memenangkan “hati” para penonton akan didapuk sebagai “penyair tintas emas”. Puisi yang mereka dendangkan akan ditempel di dinding Ka’bah,tempat paling sakral dan dihormati di daratan Arab itu. Mereka menyebutnya muallaqat.

Otomatis, orang-orang yang setiap tahunnya mengunjungi Ka’bah untuk berhaji (haji sudah ada sebelum Islam datang) maupun berdagang dapat membaca syair-syair tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana bangganya jika puisi kita dibaca oleh orang seluruh negeri. Ini juga sangat mempengaruhi status sosial si penyair, mengikut kebesaran kabilahnya.

Baca Juga  Neurosains, Umat Islam dan Kebiasaan Susah Move On

Bangsa Arab dan Fanatisme Terhadap Bahasa

Kemampuan mereka dalam bersyair seakan-akan sama dengan bernapas. Sudah mendarah-daging. Philip K. Hitti menggambarkan dalam bukunya, History Of The Arabs, bahwa tidak ada yang bisa menandingi fanatisme bangsa Arab kepada bahasanya. Kita sangat sulit mencari bahasa yang dengan sangat dalam mempengaruhi pikiran serta emosi penuturnya selain bahasa Arab.

Masing-masing bangsa punya ciri khas tersendiri dalam menuangkan ekspresi keseniannya. Orang Yunani mengekspresikannya lewat patung dan arsitektur. bangsa Ibrani dengan lagu-lagu keagamaannya dan orang Arab lewat ungkapan puisi.

Unik dan istimewa, sebab puisi Arab terdahulu dalam bentuk yang paling kuno ternyata memiliki sistem konvensional yang ketat dan makna yang sangat dalam. Para penyair Arab era kontemporer beraliran neo-klasik atau muhafizun bahkan masih menggunakan bentuk-bentuk puisi Arab terdahulu, beserta aturannya yang ketat.

Perlu diperhatikan juga bahwa masyarakat Arab umumnya saat itu asing dengan budaya tulis-menulis. Hanya sebagian kecil dari mereka yang memiliki kemampuan tulis-menulis. Jadi mereka betul-betul memanfaatkan kemampuan lisan dibanding tulisan.

Di samping itu, tradisi hafalan mereka sangat kuat karena adanya tuntutan untuk menghafalkan nasab (garis keturunan) dan ayyamul Arab (hari-hari penanda peristiwa penting).

Tahap Perkembangan Kesusastraan Arab

Menurut Hitti, tahap perkembangan bentuk-bentuk kesusastraan Arab dimulai dari mantra-mantra para dukun yang disebut dengan kuhhan. Tahap selanjutnya dikenal dengan nyanyian penunggang unta atau huda.

Orang Arab di saat menunggangi unta, mereka bersyair dengan nada merdu mengikuti ritme kaki untanya. Lalu terakhir ada rajaz, yang terdiri dari empat atau enam baris sajak. Nantinya, rajaz ini dikembangkan menjadi puisi liris atau dikenal dengan istilah qashidah.

Qashidah adalah salah satu tahapan tertinggi perkembangan bentuk kesusastraan Arab era Jahili. Puisi-puisi atau syair-syair yang dipertandingkan di pasar Ukaz sebagian besar berbentuk qashidah. Imru Al Qays adalah penyair paling terkenal yang menulis puisinya dalam bentuk qashidah.

Menurut Dr. Fadlil Munawwar Manshur, qashidah seringkali diawali dengan kata nasib yang bermakna rasa cinta atau rasa iba kepada diri sendiri. Formula ini masih dipakai sampai zaman dinasti Umayyah. Sebab mewakili karakteristik puisi Arab yang jujur,tulus dan mendalam.

Baca Juga  Penafsiran Khalifah dalam QS. Al-Baqarah Ayat 30: Perspektif Abduh

Tantangan Al-Quran Terhadap Penyair Arab

Era sebelum Islam saat itu wajar disebut sebagai eranya para penyair. Sebab keyakinan orang Arab saat itu, penyair mempunyai daya magis. Bukan hanya mengetahui seluk-beluk kesusastraan, namun penyair juga berperan penting sebagai penyampai pesan-pesan kebaikan, juru damai, dan penyambung lidah kabilahnya.

Dan alasan terkuat mengapa mereka dianggap punya kemampuan adikodrati sebab dengan mendengar kata-katanya saja, seketika orang bisa tersihir karena saking indahnya.  

Istilah jahiliyah bukan berarti bangsa Arab saat itu bodoh. Melainkan merajalelanya perilaku a-moral seperti maraknya perang, permusuhan, perjudian, penyembahan berhala, eksploitasi wanita, dll. Tetapi sikap seperti keberanian, kedermawanan, kepahlawanan, dan kejujuran juga dijunjung tinggi pada masa itu.

Di akhir era keemasan itu, turunlah al-Qur’an yang menantang seluruh penyair di seluruh penjuru jazirah Arab. Betapa tadi kita telah menyaksikan bagaimana dinamika kesusastraan Arab dari bentuknya yang paling kuno. Para penyair tidak ada yang sanggup menandingi kehebatan dan keindahan bahasa al-Qur’an.

Akhirnya beberapa dari mereka masuk Islam, yang dalam literatur kesusastraan Arab dikenal dengan sebutan muhkadramun atau penyair dua zaman. Karena mereka hidup di zaman jahiliyah dan zaman Islam.

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Sekarang aktif di Pimpinan Komisariat IMM Fakultas Agama Islam sebagai Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan. Alumni PP Shohwatul Is’ad Padanglampe, Sulawesi Selatan dan Muhammadiyah Boarding School Muhiba Bantul, Yogyakarta.