Belakangan ini ramai terpampang di media sosial berbagai berita mengenai sound horeg. Berbagai kalangan turut meramaikan rakitan sound tersebut dan menari ria di belakangnya. Berbagai kalangan pula tidak menikmati, yaitu memandang bahwa rakitan sound dengan tinggi suara 100 desibel lebih cukup mengganggu dan merusak masyarakat luas (Septiana, 2025). Sehingga, dibutuhkan keputusan hukum sound horeg yang tidak sekadar berasas pada aspek budaya, namun juga aspek keagamaan.
Sebagai solusi, Al-Qur’an diturunkan dengan prinsip salihun likulli zaman wa makan, yaitu senantiasa dapat memecahkan masalah di mana saja dan kapan saja (Ardiyansyah, 2018). Di antara buktinya ialah produk tafsir dengan pendekatan maqasidi yang menimbang hukum berdasarkan aspek maslahat serta madarat. Salah satunya adalah tafsir karangan Ibn Asyur yaitu al-Tahrir wa al-Tanwir (Maharani, 2022). Dalam tulisan ini, produk tafsir tersebut menjadi rujukan utama dalam menimbang hukum sound horeg secara kredibel dan selektif.
Mengenal Tafsir Maqasidi dan Ibn ‘Asyur
Secara singkat, tafsir maqasidi dikenal sebagai corak atau model pendekatan Al-Qur’an yang mengutamakan faktor-faktor syariat (maqasid syariah). Antara lain yaitu: memelihara atau melindungi agama (hifz al-diin), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), harta (hifz al-maal), dan keturunan (hifz al-nasl) (Natution, 2022). Gaya penafsiran dari tafsir ini befokus pada ayat-ayat Al-Qur’an agar memperhatikan norma maslahat atau kepentingan umum, bukan hanya sekadar norma keagamaan semata. (Muharir, 2025)
Dalam konteks ini, salah satu mufasir asal Tunisia, yaitu Muhammad al-Tahir Ibn ‘Asyur, dengan tafsirnya, al-Tahrir wa al-Tanwir, perlu dilibatkan. Sebabnya, beberapa kalangan menyebut tafsir ini dengan tafsir yang kental dengan pendekatan maqasidi-nya. Oleh karena itu, ia kemudian masyhur sebagai pelopor tafsir maqasidi modern sebab beliau senantiasa mengikutkan bingkai maslahat dalam penafsiran setiap ayat Al-Qur’an. Implikasinya, ayat yang ia tafsirkan berusaha bergerak menyinggung dan menyelesaikan masalah sosial serta moral masyarakat.
Sound Horeg: Antara Maslahat dan Mafsadat
Rakitan sound horeg dengan suara lebih dari 100 desibel mempunyai beberapa manfaat. Di antaranya adalah menjadi sarana hiburan dan mempererat tali persaudaraan melalui komunitas sound horeg. Dilihat dari kacamata ekonomi, fenomena ini juga membantu ekonomi dengan penyewaan tempat parkir beserta sistem audio. Sound ini juga acap kali digunakan untuk memperingati pawai serta karnaval (Rubrikasi, 2024). Meski demikian, rakitan sound tersebut juga perlu diperhatikan mafsadat atau dampak buruknya (Werdiono, 2025). Di antaranya yaitu:
- 1. Kesehatan
Secara umum, diketahui bahwa batas desibel dapat diterima oleh telinga ialah 0-20 disabel. Adapun sound horeg dengan jarak 1 – 2 meter bersuara sekitar 110 – 130 desibel. Selain itu, gangguan stress pada beberapa masyarakat sekaligus waktu istirahat pada siang hari juga acap kali terganggu sebab sound tersebut.
- 2. Lingkungan fisik
Beberapa video tersebar menunjukkan rumah dan kaca yang rusak sebab kekuatan suara sound tersebut. Selain itu, polusi suara sound tersebut juga secara tidak langsung memperburuk keadaan yang sedang berlangsung.
- 3. Sosial
Tempat atau arena pengadaan sound horeg akan menimbulkan permasalahan kenyamanan dan ketenangan di tengah masyarakat. Selain itu, fenomena ini juga berpotensi menimbulkan konflik antara pihak penyewa atau operator dengan masyarakat sekitar yang tidak menerima kehadiran sound tersebut.
***
- 4. Ekosistem laut
Pada beberapa daerah, sound horeg diadakan di tengah laut dengan menggunakan perahu. Hubungannya dengan ekosistem yang ada, suara sound tersebut cukup berpotensi mengganggu navigasi kapal serta. Selain itu, berbagai hewan laut pun turut terancam karenanya. Selain itu, berbagai jenis terumbu karang dan invertebrata laut juga ikut terancam rusak dan punah.
Menimbang antara maslahat atau manfaat dengan madarat dari sound horeg, disiplin ilmu usul fikih menegaskan terdapat 2 kaidah yang bersangkutan, yaitu la darar wa la dirar dan dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masalih (Budianto, 2025). Maksudnya, seseorang dilarang membahayakan dirinya sendiri juga orang lain serta menghindari atau menjauhi terhadap kerusakan dianggap lebih utama daripada mendatangkan maslahat. Sehingga, selazimnya kita perlu selektif memilih hiburan agar tidak membahayakan sesama.
Analisis Ibn ‘Asyur terhadap Q. S Lukman [31]: 19
Secara langsung, Ibn ‘Asyur menegaskan bahwa manusia selazimnya memerhatikan sikap atau norma bermuamalahnya, khususnya ketika berbicara dan berjalan. Sebab, dua kegiatan tersebut merupakan gerakan atau adab yang paling menonjol (nampak) dibandingkan kegiatan lainnya. Adapun maksud dari norma berjalan ialah berjalan dengan sikap wasat, yaitu sikap berjalan tengah-tengah, tidak terlalu lambat (lemah/lesu), dan tidak seperti orang sombong (membusungkan dada).
Ayat tersebut dengan jelas mencantumkan lafadz ghudd yang bermakna mengurangi atau merendahkan (suara). Ayat ini menegaskan bahwa dalam bersuara, hendaknya manusia tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Manusia hendaknya bersuara dengan intonasi yang tidak terlalu pelan, namun tidak juga tidak terlalu keras. Catatannya, maksud dari bersuara di sini juga bukan berarti melakukannya dengan berbisik-bisik, namun ialah menggunakan suara yang tenang dan sopan (Asyur, 2007).
Benang Merah Tafsir Ibn ‘Asyur dan Fenomena Sound Horeg
Benang merah pada kasus ini ialah sound horeg jelas menimbulkan lebih banyak mafsadat bagi masyarakat dari pada sekelumit maslahat yang dirasakan masyarakat tertentu saja. Sehingga, berdasarkan pendekatan maqasidi Ibn ‘Asyur, secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa suara tinggi yang tidak sopan mesti dikritisi dan ditelusuri hukumnya secara moral dan etika. Tujuannya, masyarakat sekitar tidak terganggu dan dapat mengurangi bahkan menghilangkan potensi perselisihan antar pihak.
Meski demikian, Islam bukanlah agama yang kaku dan menolak hiburan. Sebaliknya, Islam berusaha menyeleksi hiburan yang ramah lingkungan dan tidak merugikan berbagai pihak. Tujuannya, agar hiburan yang diinginkan dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Wallahu a’lam.
Referensi/ Daftar Pustaka
Ardiyansyah, A. (2018). Islam berdialog dengan zaman. PT Elex Media Komputindo.
Asyur, M. al-Ṭāhir ibn M. ibn M. al-Ṭāhir ibn. (2007). Taḥrīr al-Ma‘nā al-Sadīd wa Tanwīr al-‘Aql al-Jadīd min Tafsīr al-Kitāb al-Majīd (Vols. 1–21). Dar Tunisiah Linasyr.
Budianto, E. W. H. (2025). Konsep Kepemilikan dalam Islam Kajian Turats dan Kontemporer. PT. Afanin Media Utama.
Maharani, J. (2022). Pemikiran Ibnu Asyur Tentang Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Kontemporer. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 8 (3), h. 2495.
Muharir, M. (2025). BUKU ILMU AL-QURAN & TAFSIR PENDEKATAN MAQASHID. Widina Media Utama.
Natution, N. S. A. (2022). Filsafat Hukum Islam dan Maqashid Syariah. Kencana.
Rubrikasi, R. (2024, September 29). Catatan Redaksi: Dampak Positif dan Negatif Sound Horeg. kediritangguh.co.
Septiana, H. (2025, July 25). Khofifah Bentuk Tim Khusus untuk Menyiapkan Regulasi Sound Horeg. Tempo.com.
Werdiono, D. (2025, July 25). Masih Kontroversial, Akankah “Sound Horeg” Warnai Kemeriahan Agustusan? Kompas.Id.
Editor: Dzaki Kusumaning SM

























Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.