Seringkali kita mendengar maqolah jawa klasik ini, yang kerap kali disampaikan para da’i atau ustazd. Bahwa maqolah ini mengandung tafsir yang sufistik bahwa, seseorang itu akan kembali kepada sang ilahi. Yang biasanya terdiri dari konstruk pemikiran bahwa kehidupan yang awal ini pastilah ada akhirnya. Semua itu karena Iradah-Nya. Allah Swt sebagai Asbab Al Awwal (Causa Prima), pastilah menciptakan semua ini hanya untuk kembali kepadanya bersatu dalam satu kesatuan. Dalam firman Allah Swt Yang berfirman
اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali) (QS: Al Baqarah: 156).
Memang secara fakta kehidupan ini akan berakhir, tetapi yang perlu diketahui bahwa makna yang tersirat dalam konsep tasawuf jawi, “Sangkan Paraning Dumadi”, memiliki makna Multi dimensional. Selain menyatakan untuk meraih Tajalli(mengalami ketuhanan), juga terdapat dimensi psikologi sosial, yakni Self Awareness in Leadership (Kesadaran diri seorang pemimpin yang bagaimana itu merupakan sebuah prinsip filosofis dalam menjalankan kebijakan suprastruktur maupun Infrastruktur.
Pemimpin Yang Disconnected Kesadaranya.
Kesadaran pada dasarnya adalah anugerah yang dimiliki manusia untuk berkehidupan dan bertaqwa. Banyak ayat yang menyinggung manusia sebagai makhluk yang pelupa (ghofilin). Lupa akan dirinya kehilangan idealisme dan lupa akan Tuhan yang menciptakan semua ini. Bahkan itu adalah sebagian maksiat terbesar kita kepada-Nya.
Dalam menjadi seorang pemimpin perlunya beberapa aspek untuk mempertimbangkan sebuah kebijakan. Ia harus mau menggali bahwa ia dipilih oleh rakyat, dan ia sebenarnya juga rakyat. Dan hanya diamanahi menggerakan roda pemerintahan seperti layaknya seorang sopir bus ekonomis. Ia tidak memiliki hak sepeserpun untuk memiliki bus tersebut(sumber daya). Tetapi ia hanya menikmati fasilitas negara, tetapi banyak kasus pemimpin lupa akan kesadarannya, dan ia bertindak di luar kontrol dirinya, misalnya seperti kasus nepotisme, koalisi jahat, pungli, korup.
Konsep “Sangkan Paraning Dumadi” secara eksplisit yang diterangkan dalam filosofis jawa yakni menggali pengetahuan tentang diri, bagaimana pengolahan rasa, pertimbangan baik dan buruk, menyadari kehidupan sampai puncaknya mengalami kemanunggalan, dan bertemu sampai maqom makrifat. Begitupun layaknya seorang pemimpin, ia harus menggali kelompok sosial yang ia pimpin, mau mengarahkan kemana, dan untuk siapa, juga bagaimana program kerja jangka panjangnya untuk masyarakat. Jangan sampai tergerus arus konsumeris, hedonis, materialis yang berujung kepuasan akan diri sendiri.
Cipta- Rasa- Karsa
Dalam ilmu tasawuf jawa, untuk menggapai kesempurnaan hidup, dengan berlandaskan maqolah diatas, penghayatan dan pemahaman personal sangat dibutuhkan untuk mengerti awal dan akhir hidupnya. Orang jawa sering menyebutnya mulih mula mulanira, Yakni kembali dengan penciptanya. Begitupun dalam kepemimpinan konsep “Sangkan” merujuk pada cipta, dimana rakyat memilih kalian secara demokratis dan permusyawaratan bersama, menjadikan kalian pemimpin yang kompeten, juga seharusnya mempertimbangkan bahwa ia juga sama dengan lainya(rakyat). Ada empat contoh model Minhaj pemilihan pemimpin dalam sejarah Islam. Tepuk tangan mekanisme Syuro pada saat pemilihan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq RA. Khalifah Umar bin Khattab RA diangkat oleh Abu Bakar Ash Shiddiq RA yang melakukan pendekatan monarki. Khalifah Utsman bin Affan RA kemudian menerapkan mekanisme pemilihan dengan sistem formal perwakilan kelompok. Sedangkan khalifah Ali bin Abi Thalib RA, sebaliknya, dipilih berdasarkan aspirasi dan suara rakyat saat itu.
Yang Kedua adalah Rasa (Paraning), bagaimana seorang pemimpin itu mengekstrak seluruh aspirasi dari rakyatnya menjadi satu kesatuan visi yang visioner. Tentunya juga diadaptasikan melalui medan pemimpin yang dirasakan, dari pengolahan rasa tentunya menumbuhkan spirit ukhuwah dalam berbagai dimensional, ukhuwah insaniyah, ukhuwah wathoniyah, ukhuwah diniyah. Seperti yang tersirat dalam firman Allah Swt,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُون
َArtinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS: Al- Maidah: 8).
***
Yang ketiga adalah karsa atau himmah yang terimplementasi(dumadi). Seorang pemimpin yang memiliki visi yang kuat akan diintegrasikan dengan semangat para anggotanya atau kabinetnya dalam membawa marwah sebuah kelompok sosialnya. Memang dalam beberapa kasus beberapa kabinetnya ada yang memiliki kecacatan kerja. Tetapi tugas seorang pemimpin adalah mengembalikan marwah tersebut agar terciptanya harmoni dalam organisasi.
Disini saya berbeda dengan prinsip yang diajukan Niccolo Machiavelli dalam kepemimpinan yang cenderung realistis. Tetapi marwah yang konstruktif lebih baik untuk menyadarkan kita setiap personal bahwa kita adalah pemimpin untuk dirinya sendiri. Maka dari itu perlunya kontrol dari beberapa kejahatan kita agar tidak semakin buas.
Penutup
Memang dalam prakteknya konsep government, maqolah “Sangkan Paraning Dumadi” memiliki tahapan- tahapan yang perlu ujian eksperimental, dan proses yang sangat sulit. Tetapi nilai filosofis ini merupakan nilai warisan yang sebaiknya perlu kita kembangkan dan kita jalani dalam kehidupan sehari- hari. Agar manusia itu tetap akan kembali sadar(track if the record), kembali ke jalan yang lurus (Sirat Al Mustaqim). Sekian dari saya semoga saya bisa mengamalkan dan semoga bermanfaat.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply