Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Man Rabbuka: Teolog, Filosof dan Ilmuwan Beda Jawaban

Man Rabbuka
Sumber: konsultasisyariah.com

Sudut pandang kita netral. Semoga berandai-andai begitu bukanlah perbuatan berdosa. Kata Edmund Husserl, segala kesimpulan itu taruhlah dulu di dalam kurung. Kita akan mulai membayangkan begini:

Perkara mempertahankan skripsi ataukah tesis ataukah disertasi itu, rumitnya minta ampun. Kita harus berhadapan dengan dewan penguji yang level akademiknya di atas kita. Mereka mencecar dengan banyak pertanyaan, dan kita akan dikuliti habis. Setelahnya, kita diminta memerbaiki sesuai dengan koreksi yang diberikan, untuk dipertanggungjawabkan pada sidang-sidang berikutnya. Hingga yang disidang layak untuk diberi gelar sarjana, magister, ataukah doktor.

Man Rabbuka: Sederhana atau Rumit

Itu untuk urusan duniawi. Tetapi pernahkah kita membayangkan kalau ternyata pertanyaan malaikat Rakib dan Atid di dalam kubur tidak segampang itu; Man rabbuka (siapa Tuhanmu)? Lalu kita menjawab, “Allah.” Sudah, begitu saja. Bagaimana kalau ternyata “man rabbuka?” itu layaknya cecaran pertanyaan dewan penguji skripsi?

Soalnya adalah kita hidup puluhan tahun, bahkan ada yang sampai seabad. Untuk menjawab pertanyaan “man rabbuka?” kita hanya menggunakan jawaban yang sederhana. Tetapi tidak masalah, kemungkinan menafsirkan secara tekstual juga terbuka. Bahwa nanti kita akan ditanyai sesederhana itu. Tetapi apakah itu hanya penggambaran, dan di sana kelak ternyata pertanyaannya lebih rumit. Wallahu a’lam.

Dalam kajian-kajian ketauhidan, kita diperkenalkan dengan konsep ma’rifatullah, mengenal Allah baik secara nama, dzat, sifat, dan kehendak (berkaitan dengan takdir). Semua itu sengaja dilakukan secara rutin demi bisa menjawab pertanyaan sederhana, “Man rabbuka (siapa Tuhanmu)?”

Tak usah dulu kita membayangkan menghadapi makhluk suci, yaitu malaikat Rakib dan Atid. Andaikan anda ditanya oleh 3 macam manusia yang tempat bersarangnya khilaf (berbeda). Kemudian andaikan masing-masing dari mereka itu adalah teolog, filosof, dan ilmuwan.

Mereka mengajukan pertanyaan yang sama, “Man rabbuka (siapa Tuhanmu)?”. Lalu anda menjawab, “Allah”. Perhatikan pertanyaan selanjutnya yang akan muncul:

Sang teolog akan bertanya, “Mana dalilnya?”

Sang filosof akan bertanya, “Mana argumentasinya?”

Sang ilmuwan akan bertanya, “Mana buktinya?”

Tuntutan Teolog, Filosof dan Ilmuwan

Pertanyaan sang teolog itu gampang saja dijawab. Pilih saja dalil dari ayat-ayat kitab suci–Alquran, dan juga hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Kebutuhan teolog hanya itu, dalil atau nash yang dijadikan dasar untuk membangun argumen.

Filosof punya kebutuhan berbeda. Dia tidak akan langsung percaya pada nash-nash yang anda ajukan. Mesti dijelaskan secara rasional melalui susunan proposisi yang logis. Bila perlu tak usah anda pakai dalil-dalil kitab suci, asalkan mampu mengajukan sebuah argumentasi penciptaan alam semesta dan menemukan jejak Tuhan di sana.

Baca Juga  Historis Penciptaan Manusia dalam Al-Qur’an dan Sains Modern

Ada hukum-hukum universal yang bisa dikaitkan, misalnya hukum kausalitas, hakikat wujud (ada), argumentasi keteraturan, keseimbangan, serta bagaimana cara kita memahami alam semesta. Sampailah kita pada kesimpulan bahwa alam ini punya desain yang cerdas, itu kita saksikan dengan adanya hukum-hukum itu.

Ilmuwan, atau saintis lain lagi. Ukuran kebenaran adalah hal-hal yang bisa disaksikan secara nyata, tidak tersembunyi. Bukti-bukti yang dibutuhkan oleh para ilmuwan adalah yang bisa diindera, bisa diukur dan terbatas pada yang tampak.

Soal Tuhan, sangat sulit dijelaskan kepada mereka. Karena mereka akan meminta bukti indrawinya. Jika kita mengajukan argumentasi keteraturan alam, atau kehebatan partikel atom, atau desain cerdas, atau apapun yang argumentasi yang berupaya menerangkan jejak Tuhan, mereka akan berkata, itu masih asumsi, bukan bukti.

Paling banter mereka akan mempertanyakan, “Ketika kita tidak mampu menjelaskan siapa pengatur alam semesta yang cerdas itu, apakah lantas kita harus langsung menyebutnya Tuhan? Bukankah dulu waktu sebelum adanya penemuan sains tentang kedokteran, orang juga buru-buru mengatakan ‘Tuhan’? Nanti semenjak para ilmuwan datang menjelaskan bahwa penyakit itu ada penyebab teknisnya, baru kita tahu bahwa bukan Tuhan pelaku timbulnya sakit perut.”

Kebenaran Sains Bersifat Temporal

Kebenaran sains sifatnya temporal. Kebenaran hari ini bisa dibantah dengan penemuan di masa depan yang lebih benar. Dahulu Einstein berkata bahwa benda terkecil adalah atom. Rutherford melakukan riset selanjutnya, bahwa ternyata atom masih bisa dipecah. Atom memiliki inti yang bermuatan positif dan dikelilingi elektron bermuatan negatif. Kebenaran Einstein dibantah, digantikan oleh kebenaran Rutherford.

Kita juga bisa melihat kebenaran atom-atom model Dalton, Neihls Bohr, dibantah oleh teori atom milik Erwin Schrodinger. Dan kedepannya semua teori-teori itu terbuka kemungkinan untuk dibantah oleh teori yang lebih mutakhir.

Richard Dawkins dengan bangga memandang bahwa Tuhan semakin terdesak dan hampir tak mendapat tempat di alam ini dengan adanya penemuan demi penemuan oleh para ilmuwan. Tuhan masih menempati ruang yang belum di ketahui oleh para ilmuwan.

Baca Juga  Merenungi Makna Sujud

Keyakinan Terhadap Tuhan

Tetapi biar begitu, Dawkins dalam bukunya “God Delusion” tidak memosisikan dirinya sebagai pemercaya Tuhan mutlak tidak ada. Ada 7 level keyakinan akan Tuhan yang ia buat. Level 1 ditempati oleh orang yang yakin betul akan adanya Tuhan. Yakin betul yang dimaksud adalah yakin karena mengetahui dengan persis. Yakni keyakinan ala Carl Gustav Jung. Begitu tulis Dawkins dalam bukunya itu.

Level 7 adalah mereka yang yakin betul tak ada Tuhan. Ekstrimitas pendapat ini sama dengan level 1, hanya dibedakan dengan adanya kata “tidak”. Dawkins merasa dirinya berada di level 6. Dia lebih memilih kepercayaan tidak adanya Tuhan. Tetapi dia juga berkeyakinan bahwa mungkin saja Tuhan ada, tetapi kemungkinan itu jauh lebih kecil daripada kemungkinan tidak adanya.

Sains mungkin lebih mengarahkan seseorang untuk menjadi agnostik, yaitu percaya bahwa kemungkinan adanya Tuhan sama dengan kemungkinan tidak adanya. Dalam garis keyakinan Dawkins, agnostik murni di level 4. Mungkin ada Tuhan di luar sana, tetapi dengan pengetahuan yang ada, kita tidak bisa menjangkaunya. Sama seperti kita juga mengatakan, mungkin saja Tuhan tidak ada, pengetahuan kita tidak bisa membuktikannya.

Jika memang seandainya pertanyaan “man rabbuka?” memerlukan jawaban yang detail, maka Washil bin Atha (pendiri teologi Muktazilah) akan menjawab: Tuhanku adalah dzat tanpa sifat, Dia mesti adil. Abu Hasan al- Asy’ari akan menjawab: Tuhanku memiliki sifat 20, dan tidak dihukumi wajib adil oleh makhluknya. Abu Manshur al-Maturidi akan menjawab: Tuhanku punya 1 sifat, yakni ilmu.

Tetapi ketiga teolog itu punya satu kesepakatan mengenai siapa itu Tuhan, yaitu Allah. Tinggal cara mereka mencari tahu Allah itu yang bagaimana? Mereka mempelajarinya lewat nash dan hasil belajar mereka melahirkan kesimpulan yang berbeda akan bagaimana Allah itu. Tetapi tetap saja, ketika ditanya: Man rabbuka? Jawabnya: Allah.

Lain halnya dengan para filosof, masalah mereka bukan pada bagaimananya Tuhan. Melainkan pada Tuhan itu yang mana? Sehingga jika para filosof (Yunani kuno) itu ditanya, “Man rabbuka?”. Mereka memiliki jawaban yang berbeda-beda: ada yang mengatakan api, air, bilangan, apeiron, alam ide, dll.

Para ilmuwan punya problem yang lebih kompleks lagi. Masalah mereka bukan lagi yang manakah Tuhan? Tetapi apakah Tuhan itu benar-benar ada atau tidak? Mereka menemukan hal-hal unik dan menakjubkan di alam, mereka hampir saja memuji Tuhan. Tetapi segera insaf bahwa hal-hal menakjubkan itu bukan berarti membuktikan Tuhan itu ada. Walau begitu tetap saja, kata “Tuhan” selalu mengganggu.

Baca Juga  Pandangan Quraish Shihab Terhadap Kriteria Jodoh Idaman

Karlina Supelli punya cerita menarik soal ketakjuban para ilmuwan terhadap alam semesta. Ia menyampaikan itu dalam “Ceramah Kosmos dan Kebebasan Tuhan” di teater Salihara. Ada sebuah pertanyaan yang ia bahas: mengapa dalam setiap eksperimen di bidang fisika partikel selalu muncul angka 137.

Misteri Tuhan dalam Sains

Wolfgang Pauli adalah ilmuwan yang paling terobsesi dengan angka 137 itu. Peraih nobel fisika 1979 asal Pakistan, Abdul Salam, demikian Karlina Supelli mengisahkan, punya anekdot tentang Pauli ini: Kelak, kalau Pauli meninggal dunia dan bertemu Tuhan, hal yang pertama-tama ia pertanyakan adalah, “Mengapa harus 137?”

Pauli kemudian sakit keras. Di rumah sakit, setelah beberapa kali pindah kamar, akhirnya Pauli ditempatkan di suatu kamar. Ia bertanya kepada teman yang menjenguknya, “Tak tahukah kau kalau kamar ini nomor 137? Tidak akan aku keluar dari sini hidup-hidup!”. Sepuluh hari kemudian Pauli wafat dengan membawa misteri angka 137.

Kata para ilmuwan, kalau angka ini dinaikkan sedikit saja, bukan lagi dunia berbeda dari sekarang, bahkan kemungkinan kita ada di dunia ini mustahil.

Misteri atau teka-teki semacam itu sulit dipecahkan. Mungkinkah 137 adalah bahasa Tuhan untuk para ilmuwan? Karlina Supelli lagi-lagi membuat satu pernyataan menarik: Semestinya kita bukan hanya mengimani ayat-ayat dalam bahasa teks (quliyah), tetapi juga terhadap ayat-ayat yang difirmankan Tuhan lewat bahasa matematika (kauniyah).

Kalau Einstein ditanya, “Man rabbuka?”. Ia akan menjawab, “Tuhanku bukan Tuhan personal yang ikut campur dalam kehidupan manusia, yang menjadi penghukum bagi perbuatan manusia, dan mengatur hidup kaum perempuan. Melainkan Tuhan yang impersonal. Tuhan yang mengejawantahkan dirinya lewat hukum-hukum yang berlaku di alam.”. Tuhan Einstein kurang lebih sama dengan Tuhannya Baruch de Spinoza.

Lantas bagaimana dengan kita? “Man rabbuka?” akan kita jawab dengan cerminan amal perbuatan yang sehari-hari kita lakukan di dunia. Dari pencerminan itu akan dinilai. Sebab kelakuan kita menggambarkan keyakinan kita kepada Tuhan.

Editor: Muhamad Bukhari Muslim