Fitrah manusia dalam al-Qur’an adalah sebagai hamba Allah. Fitrah diartikan “suci” atau “kosong”, setiap anak manusia terlahir dalam kondisi fitrah, dalam kondisi suci, lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagai hamba-Nya manusia wajib menyembah seluruh hidupnya kepada-Nya dengan menjauhi segala larangan-Nya dan menaati perintah-Nya.
Makna Hamba
Kata hamba atau ‘abd (عبد) berarti; budak; sahaya. Dalam kamus Bahasa Indonesia hamba diartikan sebagai abdi, budak belian. Kata ini berasal dari lafal عبد- يعبد-عبادة (‘abada-ya’budu-ibadatan) yang berarti beribadah, hamba sahaya, budak. Kata ini terdiri dari kata ‘Ain (ع), ba (ب), dan dall (د) mempunyai berbagai makna yakni halus, ramah rendah, hina, keras dan kejam. Hamba dalam Al-Qur’an memiliki makna di antaranya: عبد (‘abd), عباد (‘ibad), عبيد (‘abi>d).
Menurut Ibnu Jaraij, makna ‘abd dalam Al-Qur’an pada Q.S. Adz-Dzariyat(51): 56 bukan hanya sekedar hamba yang seperti biasanya masyarakat kenal, melainkan hamba di sini memiliki makna supaya mereka mengenalku yakni mengenal Allah. Apabila manusia telah memahami makna hamba yaitu mengenal Allah, (maka) makrifatullah sepenuh makrifat, pandangan terhadap dunia cerah, memandang hidup ini penuh, ketentraman, kedamaian, segala perilakunya menjadi ibadah, segala amalnya menjadi barakah.
Perbedaan antara ibad dan abid, yaitu lafal ibad terdapat alif al-Izzah (alif kemuliaan, kebanyakan kata ibad dalam Al-Qur’an menjelaskan orang-orang Islam yang taat kepada Allah. maka garis besar dari lafal ibad adalah orang-orang Islam yang beribadah kepada Allah. Manakala lafal ibad dan susunan hurufnya terdapat alif di tengah-tengah. Alif yang dipanjangkan (mahmuda>h) ini adalah menunjukan kemuliaan dan keluruhan. Maka alif ini disebut alif al-Izzah (alif kemuliaan).
Kemudian Lafal abid terdapat ya al-dzillah. Jika alif pada kata ibad disebut alif kemuliaan alif al-Izzah, dan pada lafal abid terdapat huruf ي (ya) adalah ya al-dzillah. Jika mayoritas penggunaan alif pada lafal ibad dalam Al-Qur’an adalah menyifati orang-orang yang beriman, maka lafal abi>d dalam Al-Qur’an menyifati orang-orang kafir dan orang yang maksiat kepada Allah.
Manusia sebagai Hamba Allah
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang berperan penting di muka bumi. Manusia tidak diciptakan begitu saja, Allah membekali manusia dengan pikiran dan akal sehat dan jiwa raga yang sempurna. Demikianlah Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Dan Allah meberikan akal dan pikiran sebagai bentuk penjagaan dirinya. Lalu muncul pertanyaan mengapa Allah memberikan kita akal? Mengapa bukan makhluk lain yang Allah berikan?
Ada dua alasan mengapa Allah memberikan akal pikiran kepada kita, bangsa manusia. Pertama, karena Allah ingin menjadikan kita sebagai wakil-Nya dimuka bumi ini. Dia hendak menyerahkan tanggung jawab mengurus alam dunia ini kepada kita dan tidak ingin menyerahkan tanggung jawab itu kepada makhluk selain kita. Alasanya, karena seluruh ciptaan-Nya, kecuali manusia, tidak akan mampu mengemban amanah menyuruh dunia dan seisinya.
Sebelum menawarkan pengelolaan alam dunia ini kepada manusia, Allah telah menawarkan amanah itu kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain. Malaikat, jin, binatang, tumbuhan, lautan, dan gunung pernah Allah tawari tugas dan tanggung jawab tersebut.
Namun, tak ada satupun di antara mereka yang sanggup mengembannya. Karena tidak ada satupun makhluk yang mau menerimanya, maka Allah kemudian menawarkannya kepada manusia. Maka dengan percaya diri manusia menerima tawaran tersebut. Kisah agung ini terangkum jelas dalam firman-Nya, seperti ayat yang sudah kita bahas di atas.
Kedua, Allah memberi kita akal pikiran karena Dia ingin membedakan manusia dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain. Karena kita adalah wakil Allah di muka bumi, Dia ingin kita terlihat beda dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain. Karena itulah, Allah menciptakan manusia dengan potensi yang istimewa pula, yaitu akal pikiran.
Hamba yang Menyembah Allah
Namun faktanya, manusia sendiri tidak mengerti esensi dari penciptaan itu sendiri. Sehingga dengan keimanan yang sangat lemah. Bahwa akal yang diberikan oleh Allah tidak diambil dengan fikiran yang cerdas, namun hanya nafsu belaka yang di kedepankan. Sehingga banyak kita ketahui, banyak kita dengar. Keburukan, kejahatan yang dilakukan sendiri oleh manusia. Mencuri, menjarah, merampok, berbuat curang, korupsi dan kejahatan lainnya. Sehingga menjadi terbagi dalam bagian norma sosial, bahwa hal tersebut menjadi norma sosial yang buruk di masyarakat.
Maka kita harus kembali mengerti. Tujuan Allah menciptakan manusia pada hakikatnya adalah beribadah dan menyembah kepada-Nya, seperti firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat(51): 56.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Ayat tersebut sangat jelas menyebutkan kedudukan manusia dalam sistem penciptaannya adalah sebagai hamba yang menyembah Allah. kedudukan ini berhubungan dengan hak dan kewajiban sebagai hamba di hadapan Allah sebagai penciptanya. Jadi tujuan penciptaan manusia adalah menyembah kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Penyembahan manusia kepada Allah mencerminkan, manusia sangat membutuhkan segala sesuatu dalam aspek kehidupan dengan tatanan yang baik dan adil, karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sangat sempurna, mampu menggunakan potensi yang dimilikinya dengan baik, yaitu dengan mengaktualisasikan potensi iman kepada Allah, menguasai berbegai disiplin ilmu pengetahuan, dan melakukan aktivitas amal saleh sebagai hamba Allah.
Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia, karena gaya hidup hedonis, materialis dan kapitalis yang menjadi tren di kehidupan masa kini berhasil mempengaruhi mayoritas umat islam ke dalam pola kehidupan yang jauh bahkan jauh dari ajaran Islam. Lebih jauh dari itu, banyak umat muslim yang lupa akan hakikat dirinya yang paling utama yaitu sebagai hamba Allah.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply