Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Mahir Fikih Ibadah, Ingkar Fikih Lingkungan

lingkungan
Sumber: https://www.freepik.com/

Mengapa para aktivis lingkungan yang tidak gemar memakai atribut religius? Bukankah itu jauh lebih saleh secara ekologis ketimbang kita yang tiap hari hanya bicara agama? Saat alam diusik, merekalah yang lebih dahulu tergerak untuk berteriak.

Contohnya, ketika kawasan hutan adat Kinipan di Kalimantan digunduli hampir setengahnya untuk ditanami sawit, dan menghasilkan dampak lingkungan berupa banjir yang melanda 5.926 jiwa, 55 desa, dan 7 kecamatan di bulan juli 2020. Kita tak tahu, dan juga tak peduli.

Sekitar lebih dari setahun yang lalu, Burhanuddin Muhtadi mengunggah sebuah cuitan di akun twitternya. Ia mengunggah gambaran Pulau Kalimantan tahun 1985-2010, yang makin lama makin menipis dari kehijauan yang padat hingga hijaunya nyaris tak bersisa.

Atau sewaktu UU Omnibus Law hendak disahkan. UU yang berpotensi membuka eksplorasi alam lebih besar. Dan akhirnya disahkan oleh DPR. Bagaimana tanggapan kita? Adakah kita mengaitkannya dengan keimanan sebagai pemeluk agama? Bukankah eksploitasi alam secara besar-besaran adalah bentuk dari melakukan kerusakan di muka bumi, yang berarti juga mengingkari tugas kekhalifahan?

***

Pengrusakan alam memang tak ada sanksi secara eksplisit dalam agama, khususnya Islam (yang kita pahami). Tidak seperti potong tangan untuk pencuri, rajam bagi pezina, qishas bagi pembunuh. Atau, seolah tak ada konsekuensi akhirat yang jelas, layaknya meninggalkan salat, membatalkan puasa, dan enggan mengeluarkan zakat.

Merusak alam hanya berkonsekuensi pada , “Segala kerusakan di muka bumi akibat ulah tangan umat manusia”. Jadi, dampaknya dirasakan langsung, tak perlu menunggu penghakiman di akhirat. Di alam bawah sadar kita pun tergores, tak perlu memikirkan dampaknya di akhirat, toh para perusak alam itu akan menanggung sendiri akibatnya.

Baca Juga  Angin Ibrah dari Gaza

Kita pun menjadi abai terhadap hadis: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran maka cegahlah dengan tangannya. Apabila tidak bisa, maka hendaklah dengan lisannya. Apabila tidak bisa (juga), maka hendaklah (membenci) dengan hati. Yang demikian itu (membenci dengah hati) adalah selemah-lemahnya iman.

***

Ilegal loging, pembukaan hutan dengan sewenang-wenang dan diganti dengan kebun sawit, buang sampah sembarangan, pengeboman ikan, eksplorasi tambang secara sembrono, pencemaran lingkungan dengan limbah pabrik, nampaknya semua itu tidak dianggap sebuah kemungkaran. Sehingga kita tak perlu “amar ma’ruf dan nahi mungkar” di sana. Biarkan saja polisi hutan dan aktivis lingkungan yang urus.

Kita cukup fokus pada lawan ideologi yang akan memojokkan Islam. Atau kepada anak-anak muda yang tidak tahu bagaimana caranya sampai di masjid. Atau bagaimana cara meluruskan bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh saudara kita yang berbeda ormas. Konsentrasi saja pada pendalaman fikih thaharah, fikih ibadah, fikih wanita, fikih jinayah, dan fikih siyasah.

Apakah dengan keimanan seperti itu keislaman kita sudah lengkap (kaffah)?

Fiqih yang Kembali Terabaikan

Bulan Mei 2004, ulama pesantren se-Indonesia mengadakan sebuah lokakarya di Lido, Sukabumi, Jawa Barat. Dari agenda tersebut menghasilkan suatu rumusan fikih lingkungan (Fiqh al-Bi’ah). Hasil pertemuan itu ditandatangani oleh 30 ulama dari perwakilan masing-masing ormas dan pesantren, salah satunya adalah KH. Ali Hassan Aljufri, MA. dari PP Alkhairaat, Palu.

Sebelum rumusan fikih dibuat, terlebih dahulu INFORM (Indonesia Forest and Media Campaign) pada forum pendahuluan melakukan sebuah presentasi tentang keadaan alam; hutan, laut, sungai, dan polusi di perkotaan. Data dipaparkan demi mengetahui tingkat urgensi penerapan fikih lingkungan secara serius.

Setelah itu, para kiai, ustaz, dan masyayikh dari masing-masing ormas membagi kelompok untuk mencari dasar hukum agama mengenai lingkungan, terdiri dari tiga: kelompok Alquran menggali ayat-ayat yang berbicara tentang keharusan untuk menjaga alam semesta dari kehancuran (bencana ekologi); kelompok hadis mencari riwayat-riwayat tentang lingkungan dan pentingnya merawat lingkungan; kelompok kitab kuning mencari pendapat-pendapat para ulama, mulai dari era tabi’ut tabi’in hingga kontemporer, tentang pemanfaatan dan larangan pengrusakan lingkungan.

Baca Juga  Kesempurnaan Sujud: Bukti Ketundukkan Seorang Hamba

Hasil pertemuan (yang menurut saya adalah ijma‘) itu, melahirkan rekomendasi agar kita sebagai orang muslim mengampanyekan pencegahan kerusakan lingkungan lewat agama. Agama menjadi dasar melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap pengeboman ikan, illegal loging, ilegal tambang, limbah industri, membuang sampah sembarangan, pengeboman ikan, pengrusakan hutan, mengawasi segala macam perizinan yang mengarah kepada pengrusakan lingkungan serta gerakan pelestarian lingkungan yang dimulai dari penghijauan di pesantren.

Kegiatan beserta kampanye-kampanye lingkungan yang dihasilkan oleh lokakarya ulama itu, disiarkan sepanjang bulan mei 2004. Media massa yang menyoroti hal ini antara lain Harian Republika, Media Indonesia, serta Harian Bogor, .

***

Namun sayang, fikih lingkungan kembali terabaikan. Umat Islam seolah hanya peduli pada kontestasi ideologi dan politik; baik dalam negeri maupun mancanegara, serta amal individualistik pengikutnya. Setelah lokakarya 2004, tak ada lagi seruan memerhatikan fikih lingkungan terdengar di telinga kita.

Isu lingkungan seolah bukan tugas umat Islam, melainkan aktivis lingkungan yang bukan dari basis agama. Mereka dibiarkan sendiri berteriak di tengah jalan karena sebentar lagi alam akan mengalami kerusakan besar-besaran. Akibat korporasi nakal, yang berhasrat mereguk keuntungan sebesar-besarnya dari alam, yang ditinggilali orang-orang kecil dan akhirnya mereka tergusur.

Editor: An-Najmi Fikri R