Salah satu bukti universalitas Islam adalah bahwa perkembangan ajaran dan khazanah keilmuan Islam tidak dimonopoli oleh orang Arab. Sebagaimana kita maklum, banyak ulama yang tidak berdarah Arab. Salah satunya adalah Syeikh Nawawi Banten, seorang ulama dari Banten yang karyanya diakui banyak ulama muslim di dunia. Salah satu sumbangsih beliau adalah karya tafsirnya.
Biografi Syekh Nawawi
Nawawi Umar bin ‘Arabi yang masyhur dikenal dengan nama Syekh Nawawi al Bantani al Jawi lahir di desa Tanara, Serang, Banten pada tahun 1813 M/1230 H. Beliau merupakan putra pertama dari seorang ulama bernama Syekh Umar dan ibu bernama Jubaidah penduduk asli Tanara. Syekh Nawawi disinyalir sebagai keturunan Maulana Hasanuddin yang merintis dan membuka kerajaan Islam Banten atas perintah ayahnya Syekh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Djati.
Dalam usia 15 tahun, beliau menuju Mekkah untuk menimba ilmu. Beliau berguru kepada Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan Sayyid Ahad Dimyati yang semuanya merupakan ulama besar Masjidil Haram. Beliau juga belajar pada Muhammad Khattib al-Hanbali, seorang ulama yang bermukim di Madinah. Di samping itu, usaha beliau menimba ilmu juga mengantarkannya ke negara lainnya seperti Syam dan Mesir.
Setelah tiga puluh tahun di negeri Arab, beliau pulang ke Tanara, Banten atas restu-restu guru-gurunya pada tahun 1833. ceramah-ceramah beliau yang kharismatik menggairahkan kesadaran masyarakat untuk bangkit melawan para kolonial Belanda. Hal ini membuat kegiatan keagamaan beliau mendapatkan pengawasan dari pihak Belanda hingga akhirnya dapat dibekukan oleh Belanda karena dinilai menganggu dan meresahkan pihaknya.
Kondisi demikian yang membuat beliau tidak nyaman akhirnya membuat beliau mengambil keputusan untuk kembali ke Mekkah pada tahun 1855 untuk menyebarluaskan ilmu beliau hingga akhir hayat. Beliau wafat pada hari Kamis 25 Syawal 1314/1897 M di Syi’ib li, Mekkah di usia 84 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman Ma’la yang berdekatan dengan makam Ibnu Hajar al-Asqalani dan Siti Asma’ binti Abu Bakar as-Shidiq.
Tafsir Marah Labid
Awal motivasi Syekh Nawawi dalam menulis tafsir ini berasal dari permintaan beberapa kolega beliau agar menulis sebuah kitab tafsir sewaktu berada di Mekkah. Karya tafsir ini ditulis dalam bahasa Arab ini diselesaikan pada periode terakhir masa hidupnya yakni pada tahun 1305 H/1884 Kitab tersebut diterbitkan pertama kali di Makkah setelah terlebih dahulu diserahkan kepada ulama-ulama Makkah untuk diteliti dan dikomentari pada tahun 1887 M.
Makna Marah Labid yang menjadi judul kitab tafsir ini terdiri dari kata Marah yang berarti “suatu tempat peristirahatan bagi orang-orang yang datang dan pergi” dan Labid yang berarti “berkumpul mengitari sesuatu.” Dapat dipahami secara umum bahwa Marah Labid dapat diartikan sebagai “tempat peristirahatan yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi.”
Tafsir Maraah Labid termasuk dalam kategori tafsir yang menggunakan metode Ijmali (global), dimana Syekh Nawawi berusaha untuk menafsirkan seringkas mungkin tetapi tetap mencakup banyak hal dengan menggabungkan pendapat-pendapat dalam bahasa yang cukup ringkas juga sederhana. Bukti ke-Ijmali-an tafsir ini adalah pola penafsiran antar surat yang beliau gunakan tidak selalu sama.
Metode Tafsir Marah Labid Syekh Nawawi
Meskipun menggunakan metode ijmali, tafsir dalam kitab ini tidak sesingkat tafsir Jalalain. Beliau memberi penekanan juga terhadap aspek kebahasaan dengan memberi penjelasan ayat demi ayat berdasarkan corak analisis kebahasaan (Lughawiy). Terkadang beliau juga memulai dengan makna ayat secara umum. Tekadang juga dengan membahas i’rabnya. Juga terkadangan dengan menyebutkan hadist yang menafsirkan ayatnya. Dengan kata lain sangat variatif, sesuai dengan pemahamannya terhadap prioritas.
Syaikh Nawawi masih menyebutkan qira’at dan riwayat dari tabi’in dan lainnya. Namun sayangnya tanpa men-tarjih-nya, menyebutkan riwayat-riwayat ma’tsur dengan tanpa menyebutkan sanadnya, atau petunjuk darimana ia mengambilnya. Tidak membedakan antara shahih dan dla’if-nya. Karena itu kitab ini tidak selamat dari riwayat israiliyat, cerita-cerita maudlu’. Satu kelemahan lainnya adalah beliau tidak banyak mengupas munasabah, meskipun ia lakukan di beberapa bagian tertentu. Dengan data ini, dapat dikatakan bahwa Tafsir Marah Labid memiliki metode gabungan antar ijmali dan tahlili (analitik).
Seperti umumnya ulama Nusantara, paham teologi Asy’ari yang dianut Syekh Nawawi mewarnai kitabnya ini. Seabagi tradisionalis, beliau juga melestarikan orientasi pemikiran ulama-ulama abad pertengahan, semisal; Ibnu Katsir (w.774 H/1373 M), Jalaluddin al-Mahalli (w.1460 M), Jalaluddin al-Suyuthi (w. 1505 M), dan sebagainya dalam kitabnya ini, yang memang jamak mewarnai khazanah keilmuan Islam klasik. Mazhab Syafi’i yang dianutnya juga mewarnai tafsir beliau terhadap ayat-ayat yang memiliki implikasi hukum fiqih.
Sekalipun ketika menyusun Marah Labid, Syekh Nawawi al-Bantani menggunakan tafsir Mafatihul Ghaib yang notabenenya sangat kental ra’yu-nya. Namun ia lebih condong pada kategori bercorak sufi. Dengan pertimbangan dalam penafsirannya di setiap ayat al-Qur’an, ia selalu merujuk pada kepada kitab Futuhat al-Ilahiyyah karya Ibn Arabi. Namun demikian, pertimbangan tersebut tidak menjadikan tafsir Marah Labid bernuansa Isyari.
Kesimpulan
Tafsir Marah Labid ini adalah sebuah kitab tafsir yang ditulis oleh Syekh Nawawi al-Bantani sebagai wujud kontribusinya di bidang tafsir. Berasal dari permintaan beberapa kolega, beliau meyakinkan diri untuk kemudian menulis kitab tafsir Marah Labid fi Kasyfi ma`na al-Quran al-Majid. Kitab ini merupakan satu-satunya kitab tafsir Nusantara dengan berbahasa Arab. Kitab ini memiliki corak penafsirannya fiqihi, dan sufistik, dan metode ijmali agar mudah untuk difahami ketika dibaca oleh para pembacanya. Karena beliau menggunakan metode ijmali sehinggan penafsiran-penafsiran yag dihasilkanpun cukup singkat ringan padat dan jelas. Apa yang telah Syekh Nawawi lakukan dalam menulis kitab tafsir hendaknya kita lanjutkan, paling tidak kita lestarikan karya beliau.
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply