Sebagai penghubung antara teks dengan konteks, tafsir menjadi jembatan antara teks al-Qur’an yang sudah baku dengan realitas kehidupan yang terus berkembang (Muhammad Chirzin). Produk tafsir menjadi perangkat untuk memahami pesan-pesan tuhan yang dihubungkan pada setiap tempat dan zamannya. Telah banyak karya-karya literatur yang ditulis oleh para mufasir di setiap masanya, dari periode dahulu yang klasik hingga pada zaman sekarang.
Dari sekian berbagai macam tafsir yang telah diterbit, memiliki metode dan corak penafsiran yang berbeda-beda dan dinamis. Hal itu disebabkan karena menguatnya kesadaran di kalangan para ulama untuk menemukan penafsiran yang sesuai dengan situasi, zaman dan tempat.
Muhamamdiyah adalah salah satu organisasi Islam terbesar di dunia yang menjadikan al-Qur’an sebagai sumber gerakan dan dalam mengamalkan ajaran Islam itu sendiri. Bagi Muhammadiyah al-Qur’an memiliki dimensi fungsional dalam ajaran agama Islam yang berisi petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, penting memahami al-Qur’an oleh gerakan Muhammadiyah, bahwa al-Qur’an tidak sekedar hanya untuk dibaca maupun dihafalkan.
Pengembangan interpretasi al-Qur’an menjadi suatu hal yang niscaya dilakukan oleh Muhammadiyah. Dengan slogan ar-ruju’ ila Qur’an wa sunnah pada Muhammadiyah, hadirnya tafsir al-Qur’an menjadi solusi alternatif guna mengurai petunjuk-petunjuk agama dalam menyelesaikan problem realitas masyarakat. Tidak heran sejak awal berdirinya sampai sekarang, tercatat khazanah literatur tafsir al-Qur’an di Muhammadiyah begitu kaya, baik itu berasal dari tafsir resmi kelembagaannya maupun dari karya personal orang Muhammadiyah.
Kayanya Literatur Tafsir Al-Qur’an di Muhammadiyah.
Kesadaran akan kayanya literatur tafsir al-Qur’an di Muhammadiyah, membuat banyak orang melakukan penelitian terhadap tafsir-tafsir di Muhammadiyah. Mulai dari pelacakan mansuskrip kitab, hingga pada ranah penelitian terhadap model dan corak penafsiran. Aly Aulia salah satunya, memperkenalkan periodisasi penulisan tafsir al-Qur’an di Muhammadiyah pertama kali. Dalam tesisnya ia mengklaim bahwa penulisan tafsir al-Qur’an di Muhammadiyah dimulai dari hadirnya Tafsir al-Qoer’an: Djoez ke Satoe yang merupakan karya tim tafsir Muhammadiyah yang disusun oleh K.H Hadjid, K.H Mas Mansur, K.H Farid, K.H Badawi, K.H Aslam dan K.H Hadikusumo pada tahun 1930-an.
Namun Siti Mariatul Kiptiyah dan M. Nurdin Zuhdi membantah argumen tersebut, dengan anggapan bahwa ditemukannya kitab tafsir kelembagaan Muhammadiyah beraksara huruf jawa (honocoroko) pada tahun 1924. Mariatul menyebut namanya Tafsir Qur’an Jawen Pandam Lan Pandoming Dumadi. Tafsir ini diterbitkan atas nama penerbit A.B. Siti Syamsiyah yang merupakan anggota Muhammadiyah Surakarta.
M. Nurdin Zuhdi juga dalam penelitiannya menemukan karya tafsir al-Qur’an lainnya seperti Qoer’an dan Wetenschap terjemahan Nadoen Soekadjay (1929); Tafsir Al-Ashr karya Tim Muhammadiyah; Hikmah Qoernaijah: Theoritis en Practisch Qoern’s Wijsbegeerte karya Poestaka Hadi; Qoer’an Indonesia karya Sjarikat Kweekschool Muhammadiyah (1932-1933); kemudian Tafsir Aksara Honocoroko, Mariatul Kiptiyah menyebutnya Qur’an Jawen karya Muhammad Amin bin Abdul Muslim yang diterbitkan pada tahun 1932-1935.
Keragaman Bentuk Tafsir al-Qur’an di Muhammadiyah.
Tafsir al-Qur’an di Muhammadiyah tidak hanya berasal dari tafsir secara kelembagaan di Muhammadiyah. Ternyata masih banyak belum ditemukan kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh orang Muhammadiyah. Literatur yang ditemukan pun memiliki keragaman bentuk yang berbeda-beda. Islah Gusmian menyebut keragaman tafsir lokal di nusantara dapat diklasifikan menjadi 5: pertama, keragaman bahasa dan aksara. Selain ditemukan kitab tafsir berbahasa jawa, ada kitab tafsir yang ditulis oleh orang Muhammadiyah dengan berbahasa sunda, yaitu Tafsir lenyepaneun (1989) yang ditulis oleh Moh E Hasim yang pernah menjadi ketua ranting Muhammadiyah Cicendo di Bandung.
Kedua, keragaman bentuk. Ada tafsir yang ditulis hanya beberapa surat saja seperti Tafsir Hidaajatur Rahman (1958) karya Moenawar Chalil yang ditulis hanya surat al-Fatihah dan 2/3 dari surat al-Baqarah dan Tafsir Sinar (1986) karya Malik Ahmad. Adapun tafsir yang ditulis secara lengkap 30 Juz seperti Tafsir Al-Huda (1979) dalam bahasa jawa karya Bakri Syahid; Tafsir Hibarna (1936) karya Iskandar Idries; Tafsir Al-Bayan (1956) dan Tafsir An-Nuur (1961) karya Hasbie Ash-Shiddieqy; kemudian Tafsir Al-Ahzar (1967)karya Buya Hamka. Selain itu tafsir yang ditulis secara tematik contohnya Tafsir Al-Hidayah (2009) karya Sa’ad Abdul Wahid.
Ketiga, keragaman metodologi. Hal ini bisa dilihat karyanya Azaki Khoirudin yaitu Nuun: Tafsir Gerakan Al-Qalam, yang menafsirkan Surat Nun ayat 1 sebagai ideologi basis dari gerakan Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Dalam keragaman metodologi ini, penafsiran al-Qur’an dikembangkan ke dalam tulisan berbentuk praksis fungsional gerakan. Contoh serupa misalnya Teologi Al-Ashr (2015) karya Azaki Khoirudin dan Teologi Neo Al-Ma’un (2009) karya Zakiyyudin Baidhawi.
Keempat, keragaman basis sosial budaya. Untuk contoh keragaman tafsir ini bisa diliat dalam puitisasi terjemahan al-Qur’an seperti Kabar Wigati Terjemah Qur’an Juz ke-29 dan ke-30 karya Muhammad Diponogoro dan Sekar Sari Kidung Rahayu: Sekar Macapat Terjemahan Juz ‘Amma karya Achmad Djuwahir Anom Wijaya. Kelima, tujuan dan fungsi. Misalnya tafsir resmi kelembagaan Muhammadiyah yaitu Tafsir Hubungan Antar Umat Beragama (2000) dan tafsir Muhammadiyah yang terbaru Tafsir At-Tanwir (2016). Penulis memasukan dua tafsir tersebut ke dalam klasifikasi ini, karena kedua tafsir mempunyai tujuan dan fungsi agar tafsir al-Qur’an digunakan untuk merespon dan menjawab problem realitas kekinian.
Publikasi Berkemajuan Tafsir Muhammadiyah
Perkembangan tekhnologi yang terus maju, menuntut manusia untuk selalu berkembang dan beradabtasi dengan keadaan. Termasuk hal dalam media publikasi tafsir, sebagai sebuah produk penafsiran tafsir sekarang tidak hanya dibukukan ke dalam sebuah kitab. Banyak mufasir era sekarang yang menuangkan karya tafsirnya melalui media platform seperti media massa dan digital online.
Tafsir At-Tanwir yang sekarang terbit 1 jilid, ide awalnya merupakan rubrik tafsir dalam majalah Suara Muhammadiyah. Hingga sekarang Tafsir At-Tanwir yang diterbitkan Suara Muhammadiyah baru menginjak surat ali-Imran ayat 21-22. Begitupula pada media website Suara Muhammadiyah banyak mempublikasi penafsiran Tafsir At-Tanwir. Dari kalangan individu, ada salah satu tokoh pakar tafsir di Muhammadiyah yaitu Muhammad Chirzin. Beliau sering menuliskan karya tulis tafsir al-Qur’annya di platform media website online Tanwir.id. Salah satu karya tulis yang dikirimnya melalui media website adalah Karakter Muslim Berkemajuan Perspektif Juz Ammah.
Perubahan media publikasi tafsir yang dicoba oleh Muhammadiyah adalah hal yang wajar. Sebagai gerakan modernis dan tajdid, usaha ini dilakukan Muhammadiyah agar keberadaan tafsir al-Qur’an berfungsi sebagai media pembelajaran sekaligus memudahkan memahami al-Qur’an yang dapat diakses dengan mudah ke tangan masyarakat Islam.
Leave a Reply