Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kurban dan Cinta

Kurban
Sumber: Pixbay.com

Idul Adha menjadi hari besar umat Islam. Setiap muslim dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ketundukan dan pengabdian pada-Nya. Hewan kurban yang disembelih menjadi tanda bahwa seorang muslim sedang terus berupaya mendekatkan diri pada-Nya. Kurban tidak hanya simbolisasi dari penyembelihan. Namun, ia menjadi tanda untuk mendekati Yang Maha Baik. Setiap jalinan kehidupan terlebih dalam upaya mendekati-Nya tak lekang dari sikap ketundukan dan berkorban untuk akhir yang baik.

Kurban Tanda Pengorbanan

Seseorang yang berkorban sejatinya ia sedang menapaki diri untuk mendekati Yang Maha Tinggi. Perjuangan untuk meraih kesempurnaan tahap demi tahap penuh dengan pengorbanan. Kata qurban dalam bahasa Arab yang berarti dekat atau mendekati memiliki kaitan makna dengan upaya berkorbannya seseorang demi mencapai apa yang dikehendaki oleh Yang Maha memberikan kebaikan. Dirinya sadar, bahwa Tuhan telah memberikan seluruh kebaikan pada makhluknya, tak terkecuali dirinya sebagai insan.

Kebaikan-Nya tidak terhitung. Bahkan tidak akan terhitung. Nafas dan kehidupan yang dijalani tetap menetap pada desain kebaikan tak terhingga. Daya hidup, berfikir, dan merasa yang membalut raga dalam menjalankan amanah di muka bumi menjadi piranti penting dalam menyelami hakikat kehidupan. Daya yang diamanahkan padanya menjadi bukti bahwa al-Khalik menciptakan insan sekaligus memberikan semua piranti dan fasilitas untuk mewujud menjadi hamba dan khalifah-Nya.

Sebagai hamba, ia menyadari bahwa di luar diriya terdapat Dzat Yang Maha Mencipta. Dzat yang pasti wujudnya. Tidak ada wujud  di buana ini tanpa wujud-Nya. Dzat yang pasti mutlak disembah untuk dijadikan objek pengabdian. Dzat yang setiap putaran waktu senantiasa memberikan kebaikan pada makhluk.  Ketundukan dalam mengabdi dilaksanakan sesuai perintah-Nya. Bukan untuk-Nya, tak untuk insan yang berfikir dan menyadari bahwa dirinya tidak ada apa-apa tanpa bantuan dari-Nya. Dirinya dalam menghamba akan menjadi baik, ketika ia menyandarkan penghambaan kepada Dzat yang selalu diminta petunjuk-Nya.

Baca Juga  Fatimah dan Ali: Inspirasi Kisah Cinta dalam Diam

Kehidupan untuk berbuat baik kepada sesama juga kemakmuran bumi yang dipijak tak lepas dari penghambaan.  Pemegang amanah kemakmuran dengan menyemai kebaikan menjadi bukti nyata bahwa manusia menjadi khalifah-Nya. Penghambaan dalam ketundukan dan amanah kemakmuran akan didorong oleh semua proses pengorbanan untuk mendekati-Nya. Harapan yang semula dirinya baik harus terus berbuat baik dan kembali dengan baik. Awal, tengah, dan akhir kehidupannya akan dihiasi pengorbanan dengan berbagai dimensi untuk meraih apa yang menjadi tujuan dari Yang Maha Baik.

Cinta Mendorong Pengorbanan

Banyak ciri bahwa seseorang jatuh cinta. Pikirannya selalu fokus pada yang dicintai mengalahkan objek lain. Seolah tak ada yang penting bahkan dirinya sendiri, selain yang dicintai. Jatuh cinta mengalahkan semuanya. Begitu pula, ketika cinta tertuju pada Yang Maha Baik, tak ada objek lain selain diri-Nya. Dirinya hanya untuk yang dicintai bukan untuk yang lain. Begitu pula cinta pada-Nya, ia akan rela berkorban untuk yang dicintai.

Cinta mendorong insan untuk selalu menyebut yang dicintai. Mulut, bibir, dan lidah basah untuk terus menyebutnya. Nama dan entitas lain hampir tak masuk pada perhatiannya. Diri tersibukan untuk memuji dan mengagungkan yang dicintai. Cinta yang merasuk jiwa menganggap yang lain tak berharga, bahkan hampir tak disebut. Sungguh indah, pengorbanan rasa untuk selalu menyanjung yang dicinta. Cinta menjadikan diri terpapar pada rasa ingin selalu dekat pada-Nya. Sebab, diri-Nya yang membuat batin menjadi tenang ketika disebut dan dipuji.

Kalbu yang dirundung cinta tak ingin yang dicintai murka pada-Nya. Segenap upaya dilakukan untuk terus meraih cintanya. Kalbu, pikiran, dan perilaku diarahkan untuk mencapai cintanya, bukan kemarahannya. Kalbu tak menentu, terkadang perasaan salah muncul, ketika yang dicinta tidak perhatian bahkan murka padanya. Agar objek yang dicintai tidak murka, ia selalu berusaha untuk menjalani kehidupan sesuai dengan kehendaknya. Meraih cinta seiring dengan penguatan jiwa agar tidak dimurkai oleh yang dicintai. Pengorbanan diri untuk meraih cinta-Nya sejatinya mengalahkan perhatian pada yang lain.

Baca Juga  Lafadz Rayb dan Syak: Sebuah Analisa Semantik dalam Al-Qur’an

Salat sebagai bentuk ketundukan pada-Nya dibalut dengan rasa untuk meraih cinta-Nya. Ketika Dia memanggil, yang lain ditinggalkan, rasa rindu pada Yang Maha Baik menggiring jiwa dengan penuh cinta, bukan karena keterpaksaan diri.  Panggilan kepada-Nya lebih dicintai dari panggilan lainnya. Ia terus tergiring rindu untuk meraih cinta-Nya.

Pun berkuban, bukan semata-mata ia dipandang kaya. Yang mendorongnya adalah rasa cinta kepada-Nya dan ingin tetap dicinta-Nya. Menabur kebaikan pada sesama adalah petunjuk untuk mencinta-Nya. Bukan darah dan daging yang sampai kepada-Nya, melainkan ketakwaan dan kerinduan meraih cinta-Nya.

Allah Swt telah memberikan kebaikan yang besar dan banyak pada Nabi yang dicintai, sehingga ia menjadi model bagi kita untuk meraih cinta-Nya. Salat dan kurban sebagai khithab padanya menjadi cermin untuk melakukan upaya seperti Nabi-Nya.

Editor: An-Najmi Fikri R