Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kritis terhadap Pendidikan Hafiz Al-Qur’an

Hafiz Al=Qur'an
Sumber: pinterest.com

Apakah orang yang hafal 30 juz Al-Qur’an dapat disebut seorang ‘hafiz Quran’? Apakah benar menghafal Al-Qur’an pasti menjamin seseorang masuk surga seperti yang tertulis dalam hadis?

Bloom’s Taxonomy dan Fenomena Penghafal Al-Qur’an

Pendidikan tahfiz Al-Qur’an menjamur di Indonesia selama beberapa tahun kebelakang dan menghasilkan produk-produk penghafal Al-Qur’an. Masyarakat umum mengenalnya sebagai ‘Hafiz Quran’. Namun, apakah benar seseorang yang berhasil menghafal 30 juz dapat kita sebut sebagai seorang hafiz?

Apabila melihat teori tujuan pendidikan pada Bloom’s Taxonomy, maka menghafal adalah langkah paling awal untuk belajar.[1] Sebelum memahami suatu kata saat membaca, seorang anak harus menghafal huruf perhuruf lalu merangkainya menjadi sebuah kata. Kemudian, si anak akan mengulanginya hingga dia dapat membaca. Hal ini menunjukan bahwa menghafal adalah langkah awal dalam belajar.

Lalu, bagaimana dengan penghafal Al-Qur’an? Apakah cukup dengan menghafal 30 juz lalu bisa gelar hafiz otomatis terpampang padanya dan mendapat jaminan masuk surga?

Makna Hafiz Al-Qur’an yang Sesungguhnya

Kata Hafiz berakar dari bahasa Arab حَفَظَ, artinya menjaga. Makna menjaga di sini sebetulnya bukan hanya menjaga teks Al-Qur’an dengan cara menghafalnya seperti pemahaman masyarakat pada umumnya. Namun, implementasi dari makna dan nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an terhadap gerakan sosial adalah hakikat menjaga Al-Qur’an yang sesungguhnya.

Narasi di atas dapat membantah predikat hafiz sebagaimana yang tertanam di benak masyarakat umum saat ini. Pasalnya, menghafal tidak sepenuhnya benar, karena itu merupakan proses awal dari tujuan belajar, bukan makna hakiki dari menjaga Al-Qur’an.

Membumikan Al-Qur’an

Dalam rangka menjaga Al-Qur’an, seorang hafiz harus membumikan ajaran tersebut dengan menjadikan dalil teks Al-Qur’an sebagai sumber untuk membuat sebuah gerakan. Implementasi dari membumikan Al-Qur’an bisa dilakukan secara kolektif, sebagaimana Muhammadiyah dengan teologi Al-Ma’unnya mampu mendirikan berbagai macam instansi pendidikan, rumah sakit, dan layanan sosial-keagamaan lainnya.

Baca Juga  Manfaat Tafsir Ilmi bagi Penguatan Pendidikan Keimanan

Beberapa tokoh juga turut mengimplementasikan hal serupa, seperti Gus Dur atau Buya Syafii. Nurcholish Madjid pun juga populer dengan paradigma Islam Rahmatan Lil Alamin yang diambil dari Q.S Al-Anbiya’ 107. Paradigma ini kemudian menghasilkan gerakan pluralisme beragama sehingga manusia bisa saling rukun dan bijaksana menghadapi perbedaan.[2]

Hal ini yang disebut oleh penulis sebagai hafiz Al-Qur’an (penjaga Al-Qur’an) yang sesungguhnya, yaitu manusia yang menjaga makna Al-Qur’an dengan menjadikannya sebagai paradigma lalu membumikannya, bukan sekedar menghafal lalu tiba-tiba mendapat jaminan masuk surga.

Poinnya adalah hafiz Al-Qur’an bukanlah sekedar menjaga kemurnian teks saja. Namun, ia juga harus mengiringinya dengan menjaga makna dan isi yang terkandung di dalamnya. Caranya ialah dengan menjadikannya sebuah gerakan sosial untuk dibumikan. Itulah makna menjaga Al-Qur’an yang sesungguhnya.

Jaminan Surga bagi Hafiz Al-Qur’an dan Tafsir yang Kering

Dengan paradigma di atas, hadis-hadis tentang penghafal Al-Qur’an yang mendapat jaminan masuk surga lebih masuk akal dan bisa diterima. Sebab, menjaga Al-Qur’an bukan sekedar menjaga kemurnian teksnya. Namun juga berarti menganalisis dan mengontekstualisasikannya dengan kondisi sosial agar relevan dengan zaman. Dan yang tak boleh terlupa ialah berusaha mengamalkannya.

Apabila mengacu pada Bloom’s Taxonomy, orang seperti ini sudah sampai pada dua-tiga tingkat di atas penghafal Al-Qur’an. Hal ini menjadi penting karena Al-Qur’an mengalami tantangan sosial baru di zaman sekarang. Karenanya, penting untuk melakukan penafsiran baru yang lebih kontekstual agar ayat-ayat Al-Qur’an lebih hidup di tengah masyarakat yang disruptif.

Kontekstualisasi Al-Qur’an adalah upaya untuk menghidupkan kembali ayat-ayat Allah dengan tafsir yang lebih segar, inklusif, dan solutif. Kajian yang dilakukan oleh umat Islam pada umumnya menggunakan tafsir-tafsir klasik yang mungkin sudah tidak sesuai dengan kondisi sosial kekinian. Maka, sebagaimana ulama klasik menafsirkan Al-Qur’an maupun hadis dengan kondisi sosialnya, kita pun perlu melakukan penafsiran terhadap teks dengan realitas sosial saat ini agar tafsir tidak terasa kering.[3]

Baca Juga  Amtsal Sebagai Nilai Pendidikan dalam Al-Qur’an

Masukan bagi Instansi Pendidikan Al-Qur’an

Dengan keadaan semacam ini, diharapkan agar instansi-instansi pendidikan penghafal Al-Qur’an mulai meng-upgrade kurikulum pendidikannya. Tujuannya, agar tidak mencetak penghafal yang pandai menjadi imam salat karena hafalannya yang banyak. Namun, ia juga menjadi imam atau pionir dalam transformasi pendidikan, sosial, dan keagamaan.[4]

Termasuk pada perguruan tinggi yang memberikan beasiswa bagi para hafiz. Mereka perlu melakukan peningkatan mutu penerima program beasiswa agar tidak hanya melihat banyak hafalan saja. Namun, mereka juga perlu memperhatikan kualitas pemahaman sang hafiz dan beserta karya nyatanya.

Selain itu, pengelolaan para hafiz Al-Qur’an di lingkungan universitas perlu diarahkan untuk menjawab wacana masa depan Indonesia. Bagaimana caranya agar para hafiz lebih progresif dalam berfikir dan bertindak. Bukan sekedar menghafal, tetapi mampu membumikan Al-Qur’an.

Editor: Dzaki Kusumaning SM


Referensi

[1] Bloom, Benjamin S., Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, (New York: Longmans Green, 1956), h. 18-20.

[2] Maarif Institute, Kumpulan Pemikiran Buya Syafii Maarif tentang Islam, Kebangsaan, dan Keadilan Sosial, (Yogyakarta: Maarif Institute, 2020), h. 25-30.

[3] Arkoun, Mohammed, The Unthought in Contemporary Islamic Thought, (London: Saqi Books, 2006), h. 101-110.

[4] Lestari, Rina, dkk., Integrasi Nilai-Nilai Sosial dalam Kurikulum Tahfidzul Qur’an, dalam Jurnal Pendidikan Agama Islam, (Bandar Lampung: UIN Raden Intan, Vol. 7 No. 2, 2020), h. 110-122.