Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kritik Semantik Toshihiko Izutsu dalam Kajian Al-Qur’an

Sumber: https://iqipedia.com/

Keberadaan al-Qur’an sebagai kitab suci menjadi entitas yang menarik untuk diselami lebih dalam. Bukan hanya cendekiawan Muslim, sarjana-sarjana non-Muslim pun juga berlomba-lomba dalam meneliti al-Qur’an. Hal ini terbukti dengan diminatinya kajian Islamic Studies di kalangan dunia non-Muslim. Termasuk kajian semantik Al-Qur’an.

Adalah Toshihiko Izutsu, salah satu nama cendekiawan non-Muslim yang memiliki afinitas terhadap makna-makna kata dalam al-Qur’an. Berbeda dengan sarjana-sarjana non-Muslim lain yang acapkali mempertanyakan keotentikan atau mengkritik ‘sumber’ al-Qur’an. Izutsu kiranya adalah sarjana non-Muslim yang –sejauh bacaan penulis– tidak pernah menyinggung aspek believe dari pemeluk Muslim terkait al-Qur’an.

Izutsu bisa dikatakan sebagai nama pertama yang menarik teori semantik ke dalam al-Qur’an. Ketertarikan Izutsu terhadap semantika al-Qur’an membuahkan karya-karya semisal buku berjudul God and Man in the Qur’an yang kemudian pada era-era setelahnya banyak diterjemahkan dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Banyaknya penerjemahan karya fenomenal Izutsu ini dapat diartikan sebagai resepsi komunal Muslim terhadap teori semantik Izutsu.

Bisa dilihat sekarang, ketika kita mengetikkan keyword “Kata (…) dalam Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu” dalam situs semacam Google Scholar, akan muncul berpuluh-puluh atau lebih penelitian yang membahas mengenainya. Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji selanjutnya. Bahwa mengapa kalangan akademisi Muslim begitu menggandrungi metodologi semantik Izutsu ini, sampai-sampai. Nama Izutsu menjadi sesuatu yang ikonik dalam terma semantik al-Qur’an? Maka, mungkin pembicaraan tersebut akan dibahas lain waktu. Karena tulisan singkat ini hendak memancing pembaca untuk berpikir kritis dan memicu diskusi-diskusi selanjutnya tentang terma semantika al-Qur’annya Toshihiko Izutsu.

Kajian Semantik

Sebagaimana diketahui, bahwa semantik adalah salah satu studi linguistik yang secara spesifik menguak makna kata dengan lebih luas. Toshihiko Izutsu merupakan salah satu pakar semantik dari Jepang yang mengkaji secara mendalam mengenai makna-makna kata dalam al-Qur’an. Dalam sejarah semantik, ia bisa dibilang adalah seorang pencetus metodologi baru yang belum pernah dipakai sebelumnya dalam penggalian suatu makna.

Baca Juga  Tingkatan Makna dalam Kajian Al-Quran

Telah dijelaskan olehnya dalam bukunya yang berjudul God and Man in the Qur’an, bahwa visi utamanya terhadap penggalian makna ini adalah untuk menemukan pandangan dunia (weltanschauung) terkait makna suatu kata kunci. Weltanschauung ini bukan hanya menjadi suatu perantara untuk berkomunikasi dan berpikir saja. Akan tetapi menarik makna menjadi lebih jauh lagi pada interpretasi atau pengonsepan dunia (worldview) terkait suatu kata. Dalam pengamatannya, ia menawarkan metode yang harus ditempuh untuk menggali makna kata dalam al-Qur’an. Karena tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menjadi naskah yang terlalu Panjang. Untuk selanjutnya pembaca bisa mencari sendiri mengenai bagaimana metodologi penarikan weltanschauung Izutsu melalui semantik al-Qur’an.

Telah dikatakan di awal, bahwa teori semantika al-Qur’an milik Toshihiko Izutsu ini sangat disambut baik oleh kalangan Muslim. Beberapa universitas Islam di Indonesia yang mengkaji Qur’anic Studies bahkan menjadikan semantik al-Qur’an ini menjadi mata kuliah wajib beserta teori semantik Izutsu sebagai rujukan utamanya. Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, hal yang serupa juga terjadi di wilayah Turki. Selain bahwa buku fenomenal Izutsu juga diterjemahkan di sana, beberapa universitas juga giat melakukan kajian tersendiri dengan menggunakan teori semantik Izutsu ini.

Selanjutnya, yang perlu penulis tekankan adalah, apakah teori ini selanjutnya akan menjadi teori yang paten dalam diskursus semantik al-Qur’an? Mengapa dengan pelbagai resepsi yang dilakukan oleh kalangan Muslim seakan-akan justru menjadikan teori ini menjadi entitas yang anti-kritik dan mengerdilkan teori-teori yang lain?

Kritik Ismail Albayrak terhadap Semantik al-Qur’an Izutsu

Kepekaan terhadap kritik semantik Toshihiko Izutsu ini justru hanya dirasakan oleh segelintir orang. Dalam salah satu penelitian yang berjudul The Reception of Toshihiko Izutsu’s Qur’anic Studies in the Muslim World: With Special Reference to Turkish Qur’anic Scholarship, seorang bernama Ismail Albayrak mengeluhkan mengenai ketidak-kritisan para sarjana Muslim dalam menyikapi hadirnya teori semantik al-Qur’an Izutsu.

Baca Juga  Analisis Makna Wahyu dengan Teori Semantik Toshihiko Izutsu

Ismail mempertanyakan empat hal penting yang dapat memicu kritik terhadap semantik Izutsu, diantaranya, 1) Seberapa valid suatu pembacaan sinkronis konsep-konsep al-Qur’an berdasarkan pendekatan semantiknya? 2) Seberapa sukses penggunaan referensi Izutsu sebagai mekanisme untuk memecahkan kode struktur dalam teks, dimana ada resiko makna sederhana yang dimiliki suatu kata justru menguap? 3) Bagaimana sifat pendekatan eksegetisnya? 4) Dimana umat Islam dapat menempatkan perhatian utama sebagai umat beriman biasa yang berusaha memahami makna Tuhan, atau setidaknya apa yang Tuhan tuntut dari penerima-Nya menurut wahyu Ilahi?

Bagi banyak orang, khususnya orientalis, studi yang berpusat pada teks sangat berarti. Tidak terkecuali Toshihiko, terbukti seperti yang dikatakan oleh Halis Albayrak, bahwa dalam sistem Izutsu, al-Qur’an adalah teks yang pasif. Ia menunggu untuk diterjemahkan atau ditemukan maknanya. Pemahaman ini tentu sangat berbeda dengan pemahaman kalangan Islam yang meletakkan al-Qur’an memiliki prioritas tersendiri di atas keberadaan mereka.

Salah satu yang dikritik oleh Ismail adalah cara kerja periodesasi Qur’anik pada semantik Izutsu, tidak lain karena bahasa masyarakat pasti tidak terpisah dari budayanya. Ismail berkesimpulan bahwa hubungan antara bahasa dan budaya jauh lebih rumit daripada yang dimungkinkan oleh analisis umum Izutsu. Oleh karenanya, identitas budaya dapat ditemukan dalam kelas sosial yang berbeda dan tempat yang berbeda. Izutsu memang membahas perbedaan ini hanya pada kelompok linguistik periode pra-Qur’an, namun tidak membahasnya pada periode Qur’anik.

Pra dan Post Quranik

Tindakan Izutsu yang membedakan takar pembahasan perbedaan pada periode pra-Qur’anik dan Qur’anik mengindikasikan pengabaiannya pada kondisi historis masyarakat pada masa pewahyuan. Sejalan dengan epistemologi tradisi Islam, bahwa penting mempertimbangkan pembacaan penerima wahyu pertama terhadap al-Qur’an. Hubungan mereka dengan al-Qur’an, hingga dalam konteks apa mereka menggunakan al-Qur’an. Tidak hanya mengabaikan, tipe analisis Izutsu juga mengabaikan peran al-Qur’an dalam hubungan sosial secara keseluruhan.

Baca Juga  Tahap Penelitian dengan Kajian Semantik Toshihiko Izutsu

Kritik yang dilayangkan Ismail selanjutnya adalah tidak adanya standardisasi penentuan makna dasar, makna relasional, istilah kunci, kata fokus, sinonim, dan bidang semantik dalam analisis Izutsu. Menurut Ismail, penentuan ini bahkan berada pada takar dimana tidak ada lagi batas kewenangan. Izutsu mengabaikan bahwa penentu sebenarnya dari istilah-istilah yang disebutkan adalah penentu itu sendiri.

Dari yang telah diuraikan, kritik Ismail pada semantik Izutsu menyorot kepada kelemahannya pada periode Qur’anik. Dimana Izutsu dinilai mengabaikan aspek riwayat dan konteks sosial-kemasyarakatan dalam memaknai suatu kata. Selain itu, langkah identifikasi yang masih terbilang abstrak semakin membuktikan bahwa teori semantik Izutsu bukanlah teori linguistik yang final. Terlepas dari itu semua, teori semantik Izutsu tetap menjadi buah pemikiran yang begitu bermanfaat dalam kajian al-Qur’an. Hanya saja, tidak semua kata bisa dikaji melalui pendekatan ini. Wallahu a’lam.

Penyunting: Ahmed Zaranggi