Pada masyarakat kita, baik sadar atau tidak, telah terbentang satu pandangan yang buruk atau negatif terhadap kritik. Entah dimulai sejak kapan, tapi itulah gejala yang mengemuka. Kita tidak lagi memandang kritik sebagai kegiatan yang perlu dan niscaya. Melainkan memandangnya sebagai aktivitas nir-manfaat atau sia-sia.
Selain itu kritik juga kerap dipandang sebagai kegiatan nyinyir. Padahal tidak selalu demikian. Namun karena pengaruh beberapa hal, kita cenderung mengadopsi definisi yang negatif. Padahal sejak awal kritik hadir dengan niat dan tujuan yang luhur. Yakni hendak menguraikan mana yang kusut dan perlu diperbaiki dari sesuatu. Jika kita mau berlapang dada, maka seyogianya kita harus berterima kasih pada para pengeritik.
Kritik dalam Islam
Kemudian berpagi-pagi juga harus ditegaskan. Kita hidup dalam alam demokrasi. Karena itu kritik harus dipandang sebagai bagian penting yang tidak boleh dilupakan. Begitupun jika kita merujuk pada ajaran dan spirit yang dibawa oleh Islam. Agama yang dibawa Nabi Muhammad itu tidak pernah mengajarkan kita menjadi diktator atau otoriter. Justru ia hadir dengan pandangan yang terbuka terhadap perbedaan pandangan dan pikiran.
Meskipun kalau kita ingin merujuk beberapa kepingan sejarah Islam, akan ditayangkan beberapa hal yang secara prinsip bertentangan dengan Islam. Misalnya, kita melihat beberapa pemimpin, dengan atas nama Islam juga, malah berperilaku sewenang-wenang. Siapa saja yang pandangan atau pemikirannya berbeda dengan yang dianut negara, maka akan dicap sebagai pembangkang dan pemberontak. Inilah yang terjadi pada beberapa ulama Islam, di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal.
Saat itu negara bermazhab Muktazilah. Dan salah satu pandangan yang mencolok dan menjadi pembeda yang terang antara Muktazilah dengan yang lain, terutama Sunni, adalah pandangannya terhadap Al-Qur’an. Muktazilah cenderung memandang Al-Qur’an sebagai mahluk. Tapi tidak dengan mazhab lain. Sunni menolak keras pandangan tersebut. Ia menentang pandangan Muktazilah yang menyebut Al-Qur’an sebagai mahluk.
Salah satu di antara ulama Sunni yang vokal menyuarakan ketidaksepakatan itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibat dari sikapnya itu, ia harus mengalami kejadian yang tragis dan mengenaskan. Ia disiksa dan dipersekusi. Karena apa? Ia menyuarakan kritik. Sesuatu yang harusnya menjadi hal biasa dalam tradisi pemikiran atau kesarjanaan Islam.
Dalam konteks berbangsa kita hari ini, terlihat kecenderungan serupa. Ada semacam upaya untuk menakut-nakuti mereka yang melayangkan ketidaksepakatannya atas kebijakan pemerintah. Mereka yang berbeda pandangan dengan negara akan dipandang sinis. Selain itu mereka juga akan dipandang sebagai pembuat onar dan mengganggu kedamaian banyak orang.
Bentuk Cinta Terhadap Tanah Air
Bahkan, ada semacam penekanan bahwa mereka yang mengeritik negara adalah mereka yang tidak cinta terhadap negara. Jadi, cinta tanah air telah dikerangkeng dalam makna yang begitu sempit. Secara dangkal ia dipahami sebagai tindakan diam dan berpangku tangan atas seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini mestinya dibenahi. Tidak hanya oleh masyarakat, tapi juga oleh negara itu sendiri.
Negara tidak boleh berdiri di atas pandangan yang menyenangi dan menggemari keseragaman. Justru pola pikirnya mesti dibalik. Kita mesti bersyukur dengan kehadiran para pengeritik. Sebab ternyata di balik diamnya orang-orang, masih terdapat segelintir orang yang mau mencurahkan tenaganya untuk berpikir akan nasib bangsanya.
Jika kita terbiasa menghantui mereka yang mengeritik, maka kita harus siap dengan satu konsekuensi besar. Yakni kita akan terbiasa hidup dalam penyimpangan. Mereka yang terbiasa mengeritik akan menemukan titik jenuhnya. Sehingga mereka sudah enggan dan tidak ingin lagi memberikan masukan dan saran atas masalah yang sedang dihadapi oleh bangsanya. Dan jika ini terjadi, alamat bahaya telah di pelupuk mata.
Pandangan bahwa mereka yang mengeritik adalah mereka yang tidak cinta terhadap tanah air harus segera dibendung. Kritik adalah hal yang lumrah dan biasa. Ia sangat dibutuhkan untuk menghadirkan keseimbangan hidup. Sebab, kita semua hampir mafhum, bahwa mereka yang berkuasa cenderung lupa diri. Sehingga mereka perlu diingatkan. Khususnya oleh intelektual, tokoh agama dan aktivis.
Apalagi dalam Islam, menyampaikan kebenaran adalah bagian dari perintah agama. Allah bahkan menyatakan, bahwa hendak ada sebagian di antara kita kelompok yang menegakkan kebenaran dan menekuk kemungkaran. Ajaran ini dikenal dengan istilah amar ma’ruf dan nahi munkar.
وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِؕ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
“Dan hendaklah ada sebagian di antara kalian suatu kelompok yang menyerukan kepada baikan dan mencegah dari kemungkaran. Merekalah itu orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Mari Melumrahkan Kritik
Selain itu dalam hadis juga ditekankan bahwa “sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kebenaran di depan penguasa.” Jadi menyampaikan kritik, sekali lagi, tidak boleh dipandang sebagai aktivitas negatif. Sebaliknya, ia harus dipandang sebagai keniscayaan, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena tanpa kritik, kekuasaan akan berlaku lalim dan melampaui batas. Dalam bahasa lain, kita akan kehilangan kompas moral dalam berbangsa. Karena telah mendiamkan atau bahkan menjadi bagian dari kelompok yang memproduksi kezaliman.
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply