Belum lekang ingatan kita soal kasus luapan lumpur lapindo, problem lingkungan yang benar-benar berakibat jatuhnya korban jiwa. Luapan lumpur itu telah menggenangi kawasan seluas 601 Ha, 10.641 KK dan atau kurang lebih 39.700 jiwa mesti kehilangan tempat tinggal, sementara 11.241 bangunan dan 362 Ha sawah raib tenggelam. Tidak saja itu, luapan tersebut jua memutus ruang jalan tol Porong-Gempol yang secara faktual menghubungkan kota Surabaya dan Sidoarjo, malang juga Pasuruan.
Petaka lingkungan di Indonesia bukan saja soal Lapindo. Masih terngiang banjir Bandang yang menimpa 6 kecamatan di Garut Kota, Bayongbong, Karangpawitan, Taraging Kidul, Taragong Kaler juga Banyuresmi yang tergolong kasus banjir terbesar di Kabupater tersebut. Banjir itu telah menyebebkan korban 30 orang meninggal dunia dan 14 orang hilang. Insfrastruktur seperti fasilitas layanan kesekatan tak luput juga disambar bencana.
Kasus lain, yang berkepanjangan menjadi diskusi publik ialah problem kebakaran hutan yang acap melanda Sumatera dan Kalimantan. Secara faktual, bencana ini adalah kesengajaan. Tak tanggung-tanggung akibatnya, bencana itu mengakibatkan rambatan api di kawasan gambut dengan total luas hutan dan lahan terbakar dalam kurun waktu enam tahun terakhir, tercatat sejak tahun 2014 terakhir mencapai 26,612 juta Ha.
Akibatnya tidak saja dirasakan oleh orang Indonesia. asalah itu berdampak serius pula bagi negara-negara tetangga, semisal Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan sekitarannya. Dan dalam dari itu, bencana ini telah membuat ekosistem yang semula seimbang bertukar rusak, musababnya ialah kebakaran hutan.
Kita bertanya mengapa masalah demikian masih saja terjadi, padahal akal manusia telah canggih hebat pula?
Itu memang fakta dan masalahnya. Paradoks memang, daulat Tuhan yang direbut manusia pasca renaisans yang bersejarah itu nyata tak mampu diemban manusia. ereka ceroboh, lalai, dan kecerdasannya tak berjalan senada kebijaksanaan.
Demi itu, sebagai pertimbangan intelektual dan revisi atas pemikiran kita dewasa ini, penulis telah mencatat gagasan Ecosphy Seyyed Hossein Nasr. arangkali bisa menjadi penerang bagi gulita permasalahan kita kini, biar benderang langkah kita di hari depan.
Ecosophy
Ecosophy berangkat dari dua kata. “Eco” yang bermakna rumah tangga, juga “sophy” yang berarti kearifan mengelola hidup sehingga selaras dengan alam sebagai rumah tangga, dalam maknanya yang luas. Dalam wacana pembahasan ekologi, ecosophy dalam hal ini ialah filsafat lingkungan yang berupaya mengintegrasikan pendekatan ekologi sebagai ilmu dengan flsafat demi mencari kerarifan & kebijaksanaan.
Ecosphy dalam hubungannya dengan ekosentrisme memiliki dasar prinsip yang sama. Pertama, bahwa manusia bukan satu-satunya makhluk yang memiliki nilai dan kepentingan. Kedua, bahwa semua makhluk di bumi ini memiliki kedudukan yang sama.
Makna lain dari Ecosophy ialah Ekosufisme, yakni upaya integratif untuk menggabungkan dasar spiritual agama dengan lingkungan. Lainnya, sering ia disebut sebagai sufisme berbasi ekologi. Pokok ajaran ekosufisme ini mencakup pertama, kesadaran lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dari kesadaran spiritual.
Kedua, pada dataran implementatif mengupayakan transformasi dari spiritual consciousness menuju ecological consciousness. Demikian itu biar ada keserasian semesta dan jua keserasian antar pelaku sufi dan Tuhan. Bila terjewanah dalam hidup, maka konsep itu membuahkan cinta antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, juga manusia dengan alam semesta.
Ecosophy Seyyed Hossein Nasr
Desakan untuk menyelesaikan problem besar ekologi memuculkan upaya memadukan dasar keagamaan dan gerakan ekologi abad 21. Tidak saja itu, di tiga dekader terakhir, masyarakat agama mulai mencoba untuk mengembangkan kearifan nila-nilai lingkungan sebagai bentuk konsekuensi imajinatif dari kesadaran spiritualitas individu terhadap lingkungan berdasarkan nilai-nilai primordial yang ada dalam tradisi agama dunia.
Hal ini memungkinkan untuk mengaji peran agama sebagai pelindung planet bumi (guardian of planet earth) serta menjaga alam bagi kelangsungan hidup manusia. Agama sendiri telah memberika “fasilitas” untuk menjembatani manusia dan alam, agama dalam hal ini datang sebagai kekuatan penyadaran dan menjadi “pentilasi” antara manusia dan alam. Seyyed Hossein Nasr dalam wacana ekosofi Islam dan spiritual ekologis telah memperkenalkan relasi spesifik antara Tuhan, manusia dan alam yang Hubungannya (Nasr, 1996).
Hossein Nasr memandang problem ekologi ini sebagai dampak dari kelalaian manusia modern terhadap kebenaran abadi (perennial truth) (Nasr, 2002) . Suatu ruang dimana masyarakat telah mendesakraliasi alam, ia lalu sudah tidak lagi dianggap suci yang pantas untuk dijaga dan atau dirawat. Bkan justru mereka memperlakukan alam seperti pelacur, dimanfaatkan tanpa ada kewajiban untuk menjaga dan merawat (Nasr, 2003).
Nasr Mengingatkan, melanggengnya krisis ekologi adala akibat dari gaya hidup saintisme yang bukan menganggap bahwa ilmu modern ialah salah satu jembatan dan jalan untuk mengenal Tuhan. Melainkan sebagai filsafat yang secara keseluruhan dan totaliter mengurangi semua realitas ke dalam domain fisik dan tidak ingin menerima kemungkinan adanya pandanganpandanggan dunia yang nonsaintis (Nasr, 1968)
Ia juga memandang bahwa krisis lingkungan yang terjad disebabkan oleh penolakan manusia untuk memandang Tuhan sebagai “lingkungan‟ nyata, yang mengelilingi manusia dan memelihara kehidupannya. Kerusakan lingkungan adalah perwujudan dari upaya manusia modern untuk memandang alam sebagai tatanan realitas yang secara ontologis berdiri terpisah dari lingkungan ilahiyah, tanpa berkah pembebasan-Nya lingkunan menjadi sekarat dan mati (Nasr, 1976)
Dalam masalah tersebut, maka tauhid yang berkaitan erat dengan posisi Allah SWT sebagai al-Khalik dan al-Malik yang telah dengan sangat baik menggambarkan paradigma Islam tentang ekologi yang menjadikan tauhid sebagai jantung Islam. Realisasi makna tauhid ini merasuk dalam diri manusia dengan berbuat apapun di alam semesta selama sesuai dengan kehendak Allah SWT, yakni dengan menyatukan berbagai keragaman (multiplicity) dalam bingkai kesatuan (unity).
Tafsir dari tauhid ini sama sekali bukan memenjara manusia dan menutup kebebasannya, sebaliknya kepentingan tauhid adalah kepentingan manusia dan masyarakat itu sendiri, semangat tauhid dalam semangat emansipasi teologis yang sejalan dengan fitrah kekhalifaan manusia di muka bumi. Selanjutnya menurut Nasr, antara al-Quran dan alam semesta memilik kesamaan wujud.
Al-Qur’an dalam hal ini dipandang sebagai wahyu yang diturunkan dengan berbagai simbol tulisan serta kata yang terhimpun, sedang alam adalah wahyu dalam bentuk kosmik. Alam adalah sebuah buku yang berisi wahyu, karenanya kedunya merupakan kitab suci Tuhan (Suwito, 2017). Dengan pijaka argumen seperti ini, tampak Nasr ingin mengatakan bahwa krisis lingkungan yang melanda masyarakat modern adalah bagian lain dari krisis spiritual dan reduksi serta diferensisasi ilmu pengetahuan di Barat.
Menghadapi krisis lingkungan, Nasr memberikan dua tawaran. Pertama, perumusan kembali nilai-nilai kearifan perennial Islam mengenai pola alam sepert konsep mengenai alam, hubungan alam dengan manusia, telaah krisis terhadap ilmu pengetahuan modern serta signifikansi ilmu pengetahuan Islam tradisional tidak saja dipandang sebagai bagian dari pengetahuan Barat, namun juga merupakan bagian integral tradisi intelektual Islam.
Kedua, memperluas kesadaran ajaran syari’ah tentang perlakuan etis kepada lingkungan alam serta memperluas bidang aplikasinya sesuai dengan prinsip syari’ah (Saifullah, 2008) . Kedua agenda tersebut memperlihatkan perlunya untuk mengadakan rekonstruksi perspektif kosmologik, yakni pandangan mengenai tatanan alam semesta. Dalam Islam konsep mengenai alam bersumber dari al-Qur’an sedang menurut al-Qur’an alam semesta merupakan wujud dan atau eksistensi Tuhan dalam kehidupan, atau alam sebagai perwujudan dari Tuhan (Nasr, 1970).
Editor: Rubyanto
Leave a Reply