Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kreatif Menulis dan Menulis Kreatif

Bani Isra'il

Judul tulisan ini seolah permainan kata semata. Seperti halnya ungkapan kreatif belajar dan belajar kreatif; belajar terus dan terus belajar; membaca terus dan terus membaca; menulis terus dan terus menulis; terang terus dan terus terang. Beti, maksudnya beda tipis. Capek deh! 

Kreatif artinya memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; pekerjaan yang menghedaki kecerdasan dan imaginasi. Kreatif bermakna inovatif, inventif, dan produktif. Orang yang kreatif memiliki daya cipta dan kemampuan untuk menciptakan, cerdas, imaginatif, inovatif, dan inventif, serta produktif.

Menulis adalah proses kreatif. Setiap penulis niscaya kreatif menulis, produktif menulis, dan terus menulis. Menulis tiada henti. Tak ada hari tanpa menulis walau sebaris, baik di kertas, komputer, laptop, maupun handphone. Sebagaimana pidato, tulisan dari tangan akan sampai ke mata, tulisan dari hati sampai ke hati. Penulis yang berhenti menulis lazim disebut mantan penulis.

Setiap penulis niscaya menulis secara kreatif. Menulis apa saja, karena apa saja bisa ditulis. Penulis tidak pernah kehabisan bahan untuk ditulis. Seperti dalang, tidak kehabisan lakon. Apa saja yang dirasakan, dilihat, didengar, dan dilakukan penulis layak ditulis, karena tak ada sesuatu yang hampa di dunia. Bahkan, ketika ia tidak punya ide pun patut dituliskan.

Orang yang belajar menulis adalah seperti bayi belajar berjalan. Siapa saja yang belajar menulis pasti bisa, walaupun mula-mula merasa sulit. All beginnings are difficult. Pepatah mengatakan, “Alah bisa karena biasa.” Tidak ada bayi yang tak bisa berjalan gara-gara putus asa belajar berjalan. Siapa yang putus asa dalam belajar menulis ia kalah mental dari bayi.

Menulis adalah mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran. Supaya tulisan lancar, maka hindari memikirkan apa yang di dalam pikiran. Salah satu langkah praktis menulis ialah menuliskan apa yang ada dalam pikiran tanpa tergoda untuk membaca ulang apa yang telah ditulis, hingga tulisan itu selesai.

Menulis Harus Punya Bahan

Menulis ibarat memasak, syarat mutlaknya ada yang hendak diolah dan dimasak. Semakin banyak bahan masakan, semakin bervariasi masakannya. Semakin berpengalaman orang memasak, semakin beragam masakannya. Seperti halnya memasak, penulis tidak lagi terpaku oleh mood, kapan, dan di mana ia berada. Salah seorang sahabat bercerita bahwa beberapa bukunya, di antaranya best seller, semua ditulis dengan handphone, termasuk saat menunggu sang istri berbelanja. 

Baca Juga  Meneladani Hari Santri: Menginspirasi Siswa Madrasah Ibtidaiyah Menuju Kematangan Beragama dan Ilmu

Singkong, selain dapat direbus, juga dapat digoreng. Selesai direbus dan diberi ragi menjadi tape. Makanan ini dapat pula diparut dan dikukus menjadi lemet, atau diparut dan dibentuk bulat-bulat serta diisi gula dan digoreng menjadi cemplon. Singkong dijemur menjadi gaplek dan ditumbuk serta dikukus menjadi thiwul. Singkong dapat pula diolah menjadi lanting, lempeng, patholo (rengginan), dan slondok. Itulah kreativitas mengolah ketela pohon.

Tulisan dapat dikategorikan dalam ragam fiksi dan nonfiksi, ilmiah dan nonilmiah atau populer, akademik dan nonakademik, serius dan nonserius; esai, puisi, pantun, meme, dan advertensi atau promosi. Fiksi dapat berbentuk kisah nyata dan kisah rekaan. Kisah fiktif pun tidak tentu kalah berbobot dan bermakna daripada kisah nyata, tergantung tema, pesan, dan kepiawaian penulis mengolahnya.

Pengalaman menulis cerpen, mestinya tidak jauh berbeda dari menulis esai, puisi, dan lirik lagu. Sebelum sebuah karya selesai, telah muncul ide yang baru, karena otak manusia memiliki jaringan sel-sel yang demikian luar biasa. Hal ini sejalan dengan triadik dialektika Hegel: tesis, antitesis, sintesis. Di mana ada aksi di sana ada reaksi, kecuali ketika kehidupan telah terhenti. 

Tentang Pengalaman Menulis

Pengalaman menulis adalah unik dan tak ada duanya, sebagaimana pengalaman mandi di sungai. Tak seorang pun pernah mandi dua kali di sungai yang sama. Tempatnya boleh jadi sama, tetapi air yang membasuhnya pasti berbeda. Demikian pula ketika seseorang menggoreskan pena dan menekan huruf-huruf di keyboard komputer, laptop maupun handphone mengenai tema yang sama.

Pak Harto pernah berpesan, “Kita harus berani mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah.” Saya menulis sejumlah meme di grup WA. Meme-meme ini sebagian besar merupakan kesimpulan dari diskusi, perdebatan, dan pro-kontra tentang isu tertentu. Di antara meme-meme yang dimaksud adalah berikut.

Baca Juga  Bukuku Menginspirasiku: Sebuah Catatan

“Jika 100 juta muslim Indonesia berpendapat Ahok tidak menista Al-Quran, saya tetap pada pendirian saya, bahwa Ahok telah menista Al-Quran.” (15 November 2016). Meme ini respons atas pro-kontra tentang pernyataan Ahok, setelah saya menyimak video ujaran Ahok unggahan Buniyani puluhan kali, terutama setelah Buya A. Syafii Maarif menulis Resonansi, “Ahok Tidak Menista Agama” di Republika pada bulan yang sama.

“Mengapa mereka diam tentang Reformasi yang dimanipulasi, demokrasi dan desentralisasi yang direduksi, UU KPK yang dikebiri, dan Omnibus Law yang nirtransparasi, serta rencana pindah Ibu Kota yang sarat misi?” (28 Maret 2020).

Meme-meme yang pernah saya share di sejumlah grup WhatsApp dibukukan, Mosaik Meme Muhammad Chirzin (Yogyakarta: Masa-Kini, 2019) dengan endorsement Prof. Dr. M. Din Syamsuddin selaku Intelektual Muslim Indonesia berikut.

“Meme adalah ide, satire, dan kadang kala humor. Pesan meme adalah perbaikan, maka meme positif  adalah “taushiyah” dan bentuk amar makruf nahyi mungkar. Profesor Muhammad Chirzin rajin membuat meme, bertolak dari kegusarannya terhadap situasi kehidupan bangsa. Sebagai pakar tafsir Al-Quran, meme-memenya adalah bentuk tafsir situasi dan mencoba memberi solusi. Mungkin ada yang bersetuju dan tidak bersetuju, tapi himpunan meme ini penting, perlu, dan menarik dibaca.”

Proses Menulis Kreatif

Saya juga mengolah sejumlah obrolan di GWA menjadi tulisan. Salah satunya adalah sebagai berikut.   

Kosakata Membaca dalam Al-Quran

Di dalam al-Quran terdapat tiga kosakata kunci tentang membaca, yakni qira`ah, tilawah, dan tertil. Kata qira’ah dan derivasinya terulang puluhan kali, dan dalam bentuk kata kerja terulang 17 kali, antara lain berikut.

Apabila engkau membaca Al-Qur’an, Kami adakan suatu dinding yang tidak terlihat antara engkau dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, dan Kami jadikan hati mereka tertutup dan telinga mereka tersumbat, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila engkau menyebut Tuhanmu saja dalam Al-Qur’an, mereka berpaling ke belakang melarikan diri (karena benci). (QS 17:45-46)

Baca Juga  Konsep Ahlul Quran, Siapakah Keluarga Allah?

Apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat. (QS 7:204)

Kata tilawah dalam konteks Kitab dan Al-Quran antara lain termaktub dalam ayat berikut.

Katakanlah, “Jika Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak pula memberitahukannya kepadamu.” Aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelum turun Al-Qur’an. Apakah kamu tidak mengerti? (QS 10:16) 

Bacalah Kitab Al-Qur’an yang telah diwahyukan kepadamu dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan ketahuilah, mengingat Allah dengan salat itu lebih besar keutamaannya dari ibadah yang lain. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 29:45)

Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS 2:129)

Menulis Untuk Mengabadi

Kosakata tertil dan derivasinya terulang sebagai berikut.                             

Orang-orang kafir berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?” Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar). (QS 25:32)

Wahai orang yang berselimut, bangunlah untuk salat pada malam hari, kecuali sebagian kecil, yaitu separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari seperdua itu, dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. (QS 73:4)

Saya menulis buku Fenomena Al-Quran: Diskusi Pemikiran Ulil Absar-Abdalla, Luthfi Assyaukani dan Abdul Moqsith Ghozali tentang Metodologi Studi Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018). Buku ini saya tulis sebagai respons terhadap buku mereka Metodologi Studi Al-Quran yang diterbitkan oleh Gramedia beberapa waktu sebelumnya. Prof. Dr. H. A. Syafii Maarif berkenan memberikan kata pengantar untuk buku saya ini.

Seno Gumira Ajidharma berpesan tentang menulis, “Dari seribu tulisan seseorang, pasti ada salah satu yang terbaik.”

Tulisan yang berisi akan abadi walau penulisnya telah mati. Menulis untuk mengada, mengabdi, dan mengabadi. Jadi, mari menulis lagi, lagi, dan lagi.

Penyunting: M. Bukhari Muslim