Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Konsep Perdamaian Perspektif Murtadha Mutahhari dan Hossein Nasr

Murtadha
Sumber: idnjurnal.com

Murtadha Mutahhari

Menurut Murtadha Mutahhari, Islam yang hendak diperjuangkan adalah menentang pemerintahan paganisme. Sebab sistem paganisme tidak akan dapat mengantarkan umat Islam kepada dunia modern. Sikap paganisme dari pemerintah secara duniawi merugikan perkembangan peradaban manusia. Hal itu terkait dengan ketiadaan kedamaian terhadap seseorang. Untuk memperoleh kedamaian, menurut Murtadha, harus melewati kehidupan sesuai dengan hukum Allah.

Jika seseorang tidak dapat merubah kehidupan ke arah yang lebih baik, maka mereka sebenarnya telah menzalimi dirinya sendiri. Sebab Allah telah menciptakan manusia dengan potensi yang luar biasa. Penentu baik buruknya suatu perbuatan seseorang, bergantung sungguh dari kemampuan mereka memaksimalisasikan potensinya masing-masing.

Pemikiran Murtadha Mutahhari mengenai kedamaian relevan dengan pandangannya tentang konsep ketauhidan. Persepsi beliau tentang ketauhidan sangat tinggi. Menurut beliau, istilah tauhid dialokasikan pada dua bentuk. Pertama, tauhid teoritis, yaitu tauhid yang membahas tentang keesaan zat, keesaan sifat, dan keesaan af’al Tuhan. Permasalahan ini berkaitan dengan kepercayan atau keyakinan. Kedua, tauhid praktis, yaitu tauhid yang berhubungan dengan kehidupan manusia praktis. Dengan demikian hubungan tauhid dimaksud di atas adalah seseorang yang sempurna tauhidnya yakni orang yang dapat mengaplikasikan ketauhidannya dalam segala aktivitas yang dilakukannya.

Pemikiran profetiknya yang paling tampak adalah tentang kenabian. Menurut beliau, nabi adalah merupakan makhluk pilihan dari Tuhan. Dalam al-Quran dikatakan bahwa Tuhan memberikan suatu bimbingan kepada makhluknya terutama kepada nabi. Sehubungan dengan Nurcholisch Madjid menyatakan bahwa nabi merupakan utusan Tuhan yang bersifat universa

Antara Kedamaian dan Keimanan

Adapun dalil yang mendukungnya adalah sebagaimana firman Allah dalam Q.S: 6 ayat 69, terjemahannya:

“Sesungguhnya orang orang mukmin, orang orang Yahudi, Shabi’in dan orang-orang Nasrani, siapa saja di antara mereka yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”.

Maksud ayat di atas bahwa kedamaian seeorang akan berkaitan dengan keimanan seseorang meski berlatar belakang agama sosial dan budaya yang berbeda. Sebab persoalan iman merupakan sesuatu yang subyektif dan sangat relatif pada diri seseorang. Sehingga dengan keragaman dan kesubyektifan iman tersebut menjadi amat sulit untuk mendeteksinya bagaimana kedalaman iman sendiri.

Baca Juga  QS. An-Nahl [16]: 43: Haruskah Menjadi Orang yang Kepo?

Oleh karena itu seseorang yang beramal, apakah ia berasal dari Islam, Nasrani, Syabi’in atau Yahudi jika mereka beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka mereka akan mendapat kedamaian di sisi Allah swt. Bagi Mutahhari bahwa kedamaian seseorang yang beramal shaleh bukan karena latar belakang di lihat dari agamanya tetapi keimanan kepada Tuhan. (Hal. 77).

Sayyed Hossein Nashr

Konsep kedamaian dalam Islam secara berurut, Hossein Nasr mengemukakan sebagai berikut;

Pertama, pengakuan atas realitas tertinggi (ultimate reality) yaitu realitas Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Penyayang, Yang Absolut dan Tidak Terbatas. Zat Yang Maha Tinggi sekaligus Maha Kekal, lebih besar dari semua yang dapat dipikirkan dan dibayangkan. Tetapi seperti yang diterangkan al-Qur’an, ia lebih dekat kepada kita daripada urat leher kita sendiri. Ajaran tauhid ini merupakan penegasan terhadap wahyu Tuhan yang diberikan kepada nabi-nabi kaum Yahudi dan Nasrani yang juga dipercaya sebagai nabi oleh kaum muslim. Ia sekaligus menegaskan bahwa terdapat wahyu yang menyatakan Tuhan yang Maha Esa. Ke-esa-an Tuhan bukan hanya inti ajaran setiap agama mereka, melainkan juga merupakan ajaran setiap agama-agama yang benar.

Kedua, pengakuan Muhammad sebagai Rasulullah. Pengakuan kepada Rasulullah bukan sekedar lisan, tetapi bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai ajarannya seperti; mengikuti perkataan, perbuatan dan ketetapan rasul. Pola keyakinan dan pengakuan seperti ini merupakan bagian dari upaya seseorang mencapai tingkat kedamaian. Sebab perbuatan yang dilakukan berdasar aturan yang dicontohkan Rasulullah adalah perbuatan yang berdasar syariat islam sekaligus mulia dan tidak sia-sia.

Ketiga, pengakuan sekaligus pengamalan dari isi al-Qur’an sebagai pedoman sekaligus petunjuk rambu-rambu kehidupan. Pengakuan suci kepada al-qur’an merupakan upaya primordial fitrah manusia untuk mempraktekan nilai-nilainya di dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Untuk meraih kedamaian, seseorang harus mengaktualisasikan nilai-nilai al-qur’an. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah masalah kemanusiaan, kemakhlukan dan kehambaan kepada Allah swt.

Baca Juga  Islam Agama Kosmopolit: Solusi Deradikalisasi Memupuk Sikap

Untuk mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut harus memahami secara serius mulai persoalan aqidah, syariat, muamalah dan akhlak. Memahami dan mengamalkan al- qur’an sesuai dengan tuntunan syariat maka pada subtansinya seseorang telah berada pada posisi selamat. Oleh karena itu kedamaian yang diperolehnya bukan saja kedamaian dunia saja tetapi juga kedamaian akhirat.(hal:78).

Konsep Kedamaian Ideal

Perspektif lain kedamaian menurut Hossein Nasr adalah suatu obyek final yang dituju oleh setiap manusia. Hanya saja yang perlu dilakukan adalah memiliki pintu yang perenins. Pintu ini akan mengantarkan seseorang kepada pemahaman tentang kebenaran yang kekal. Pemahaman ini tidak hanya dimiliki oleh agama tertentu, tapi semua penganut agama. Penganut agama Hindu mengenal istilah santana dharma, dan al-hikmah al-khalidah atau al-hikmah al-laduniyah, pintu kasih dan cinta dalam tradisi Katolik. Dengan pemahaman seperti ini, seseorang memiliki realitas pemikiran yang melewati atau melampaui apa yang dipahami oleh sebagian besar orang. Bahkan dia akan melampaui pemikiran para filosof.

Konsep kedamaian yang ideal adalah kedamaian yang dapat mengantarkan dan menuntun manusia masa kini keluar dari kungkungan ketakpedulian tempat dunia modern menemukan dirinya. Lebih jauh Fritjof Schuon mengatakan, seseorang yang memegang teguh pada konsep kedamaian humanis, akan dapat mengungkapkan suatu kerohanian yang hidup di balik pemikiran-pemikiran dan kata-kata yang diucapkan serta dalam tingkah laku kesehariannya.

Wujud kedamaian dan kedamaian humanis tidak hanya pada batas inter umat bergama, tapi antar umat beragama. Kemudian ini disebut dengan kedamaian horizontal. Untuk mencapai hubungan damai antar umat beragama khususnya Islam dengan Kristen, Schuon mengatakan sangat tergantung kepada masalah bagaimana penerimaan manusia terhadap pesan ilahi guna mewujudkan sikap inklusifisme dalam hidup beragama dan bernegara. Dengan sikap seperti ini, seseorang akan dapat menangkap nilai-nilai kebenaran yang ada pada setiap agama.

Baca Juga  Ibnu Rusyd: Hubungan Akal dan Wahyu

Editor: M. Bukhari Muslim

Fitratul Akbar
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.