Berbicara mahabah dalam dunia tasawuf, tentu kebanyakan orang akan menyebutkan tokoh sufi perempuan kesohor, yakni Rabi’atul Adawiyah. Seperti sudah jamak diketahui, bahwa dia adalah tokoh pertama yang memopulerkan konsep mahabah di kalangan sufi. Padahal, terdapat tokoh sufi awal yang juga memperkenalkan tentang konsep tersebut, yaitu Dzunnun al-Misri.
Sekilas Tentang Dzunnun Al-Misri
Dzunnun al-Misri merupakan seorang sufi yang hidup di pertengahan abad ke-3 H. Nama lengkapnya adalah Abu al-Faid Sauban bin Ibrahim Dzunnun al-Misri. Ia lahir di Mesir, tepatnya daerah Ikhmim pada tahun 155 H/770 M. Dalam perjalanan hidupnya, ia telah banyak melakukan pengembaraan baik di Mesir, Baghdad, Lebanon, Syiria, bahkan ke negeri Arab untuk menuntut ilmu. Pengembaraannya tersebut, menjadikan dirinya seseorang yang kaya akan pengalaman.
Di antara gurunya yang dapat disebutkan adalah: Ahmad bin Hambal, al-Laits, Imam Malik bin Anas, Ma’ruf al-Karkhi, Sarri al-Saqathi, Bisyr al-Hafi, dan Syaqran al-‘Abd atau Israfil al-Maghribiy. Dari al-Maghribiy, Dzunnun al-Misri belajar serta memperdalam tentang ilmu tasawuf. Kemudian menjadikan ia seorang yang alim dalam bidang ilmu syariat maupun tasawuf.
Pada tahun 214 H/826 M, al-Misri ditangkap karena dianggap tengah membuat bidah (sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw). Kemudian ia dikirim ke kota Baghdad untuk dipenjarakan di sana. Setelah diadili, khalifah memerintahkan agar dia dibebaskan dan dikembalikan ke Kairo. Di kota inilah al-Misri menghembuskan nafas terakhirnya, tepatnya pada tahun 245 H/860 M.
Mahabah Menurut Dzunnun Al-Misri
Dalam dunia tasawuf, Dzunnun al-Misri lebih dikenal sebagai tokoh yang memelopori paham (teori) “makrifat”. Meskipun, istilah makrifat sendiri sudah lama dikenal sebelum al-Misri. Namun pengertiannya versi tasawuf, baru dikenal setelah kemunculannya. Sebab, dia telah memberikan rambu-rambu (tahapan) bagi seorang hamba yang hendak mencapai tingkatan makrifat, yaitu melalui maqamat dan ahwal.
Kendati demikian, Dzunnun al-Misri juga berbicara tentang “mahabah”. Akan tetapi konsep dia berbeda dengan Rabi’atul Adawiyah yang seakan-akan telah melupakan Nabi Muhammad Saw. karena ia tidak mau mengurangi kecintaannya kepada Allah. Al-Misri, memosisikan mahabah (cinta) sejajar antara kecintaan kepada Allah dan Rasulullah Saw. Sebagaimana pernyataannya: “Sebagian dari tanda-tanda cinta kepada Allah adalah dengan mengikuti kekasih-Nya (Nabi Muhammad Saw.), baik di dalam akhlak, perbuatan, perintah maupun sunahnya”. (Ibtihadj Musyarof, Biografi Tokoh Islam, hlm 147)
Pun konsep mahabah Dzunnun al-Misri dibangun atas prinsip dasar tasawuf, yakni: cinta kepada Allah dan utusan-Nya, zuhud terhadap dunia, berpedoman kepada Al-Quran-hadis, dan takut akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan (kemaksiatan).
Seperti ungkapannya: “Engkau cinta apa yang dicintai Allah, engkau benci apa yang dibenci-Nya, engkau memohon Ridha-Nya, engkau tolak sekalian yang akan merintangi engkau menuju Dia. Jangan takut akan kebencian orang yang membenci. Dan jangan mementingkan diri dan melihatnya, karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri sendiri.” (Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, hlm 100)
Dengan demikian, jelaslah bahwa paham al-Misri tentang mahabah terhadap Allah, adalah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, berserah diri sepenuh hati kepada-Nya, dan mengosongkan jiwa dari selain Allah. Itu artinya, seorang hamba harus mengutamakan Allah dari pada kepentingan lainnya, termasuk kepentingan dirinya sendiri.
Tingkatan Dan Keadaan Mahabah
Akan tetapi untuk mencapai puncak mahabah tersebut, menurut al-Misri, seorang hamba haruslah melalui maqamat dan ahwal (al-Taubah, al-Sabr, al-Tawakkal, dan al-Ridha) yang terbilang cukup berat dan panjang. Oleh karenanya, kebanyakan orang jarang bahkan tidak bisa untuk mencapainya; melainkan dia tengah memperoleh rahmat serta karunia dari Allah yang diberikan langsung kepadanya.
Bahkan, al-Misri mengatakan bahwa kebanyakan orang-orang awam akan mengalami kesulitan untuk memahami arti cinta (mahabah) tersebut. Pasalnya, mahabah adalah termasuk pengalaman batiniah yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang khawas (golongan mukmin yang beramal semata-mata karena Allah). Sebagaimana pernyataan dia di dalam syairnya:
Takut lebih pantas bagi orang yang berdosa
Bila ia merasa susah dan sedih
Cinta lebih pantas bagi orang yang takwa
Dan bagi orang yang suci dan bersih.
Demikianlah, konsep mahabah dalam pemikiran tasawuf yang digagas oleh Dzunnun al-Misri. Wallahu A’lam.
Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.