Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Konsep Dasar Penguatan Moderasi Beragama: Sebuah Refleksi

moderasi beragama
Sumber: cover restra kemenag

Di tengah kekayaan dan keragaman budaya serta agama, Indonesia berdiri sebagai contoh nyata bahwa harmoni antar berbagai kelompok agama dan kepercayaan dapat diwujudkan. Namun, kesatuan ini perlu dijaga dan diperkuat secara terus-menerus melalui upaya konkret dalam bentuk penguatan moderasi beragama. Upaya ini kemudian menjadi salah satu program prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM); melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 dengan Kementerian Agama sebagai leading sector-nya.

Penjagaan terhadap perwujudan harmoni dalam masyarakat yang multi-agama, multi-budaya, dan multi-etnis dibutuhkan dengan mengacu pada perkembangan cara pandang, sikap, dan tindakan beragama masyarakat yang berlebihan (ekstrem) yang mengesampingkan martabat kemanusiaan. Sehingga dibutuhkan tindakan untuk memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat. Cara pandang, sikap dan tindakan beragama yang berlebihan diperparah dengan kemunculan klaim kebenaran subjektif dan pemaksaan atas tafsir agama serta pengaruh beragam kepentingan yang berpotensi memunculkan konflik. Hal ini mendukung berbagai tindakan yang didorong oleh semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan terhadap bangsa dalam bingkai NKRI.

Realitas kebangsaan yang demikian menjadikan kebutuhan untuk memperkuat moderasi beragama dalam konteks keindonesiaan menjadi hal yang urgen untuk merekatkan semangat beragama dengan komitmen berbangsa. Karena pada dasarnya, beragama adalah ber-Indonesia dan ber-Indonesia itu pada hakikatnya adalah beragama. Keyakinan ini mendorong perwujudan kemaslahatan kehidupan beragama dan berbangsa yang harmonis, damai dan toleran sehingga Indonesia maju.

Perlukah Agama Dimoderasi?

Pertanyaan ini mungkin muncul dalam benak setiap orang ketika mendengar kata “moderasi beragama”. Agama, secara fitrah hadir dalam wujud yang paling moderat melalui setiap ajaran-ajarannya. Kita, sebagai umat beragama yang menjadikannya – terkadang – mengimplementasikannya ke dalam wujud yang berlebihan. Kesenjangan esensi ajaran agama yang moderat dengan tindakan yang ekstrim terletak pada mekanisme interpretasi yang digunakan. Padahal, implementasi ajaran secara benar dapat mengantarkan manusia pada tindakan yang moderat sesuai dengan esensi agama.

Baca Juga  Urgensi Wawasan Kebangsaan dan Moderasi Beragama di Tengah Maraknya Intoleransi

Potensi tindakan yang berlebihan dengan melibatkan interpretasi terhadap teks agama menjadi sasaran utama dari rumusan moderasi agama. Dalam peta jalan Moderasi Agama, Kementerian Agama merumuskan moderasi agama sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama – yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum – berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa. Rumusan ini menyasar pada tindakan-tindakan umat beragama yang tidak merepresentasikan nilai-nilai universal agama yang melindungi kemanusiaan dan kemaslahatan bersama.

Dengan demikian, definisi yang dihadirkan untuk moderasi beragama terletak pada aspek luar (externus) dalam beragama, tanpa mempermasalahkan aspek dalamnya (internus). Artinya, selama pemahaman – dalam beragam bentuknya – terhadap agama berada dalam dimensi diri seseorang, keadaan tersebut tidak tercakup dalam definisi tersebut. Akan tetapi, jika pemahaman tersebut diimplementasikan ke dalam tindakan di ruang publik, dalam kehidupan bersama, maka berpotensi untuk menciptakan disharmoni. Dalam konteks ini, terdapat kesinambungan antara persepsi yang dibangun dalam memahami agama dengan tindakan beragama dengan sasaran moderasi beragama terletak pada tindakan-tindakan tersebut.

Dalam konteks ini, kesuksesan moderasi beragama diukur dengan menggunakan empat (4) indikator utama; komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi. Empat indikator ini dilengkapi dengan 5 (lima) prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam moderasi beragama dan membentuk sembilan (9) kata kunci dalam moderasi beragama, yakni; kemanusiaan, kemaslahatan umum, adil, berimbang, taat konstitusi, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi.

Perubahan Tindakan Sebagai Resolusi Konflik Beragama

Tawaran perubahan yang selama ini dilakukan dalam menyelesaikan problem keberagamaan yang tidak tuntas menjadi perhatian utama dalam program penguatan beragama, sehingga persoalan yang sama terus muncul berulang. Penguatan moderasi beragama menawarkan cara pandang berbeda dalam melihat problem beragama. Pernyataan dasarnya adalah apa yang dilihat tidak merepresentasikan kenyataan yang sebenarnya (the map is not the territory).

Baca Juga  Dimensi Esoteris pada Eksistensialisme Seyyed Hossein Nasr

Pernyataan ini menuntut kita untuk tidak melakukan tindakan yang didasarkan pada penarikan kesimpulan yang tergesa-gesa. Tindakan harus muncul dari keyakinan yang terkonfirmasi yang sesuai dengan prinsip ladder of inference. Tindakan untuk melakukan perubahan harus dipahami dengan melibatkan tiga pernyataan utama; apa yang terjadi (what), kenapa terjadi (why), dan bagaimana selanjutnya (how). Pola ini menuntun kita untuk mengidentifikasi bagaimana tindakan moderat dalam berlangsung dan bagaimana tindakan ekstrim terjadi melalui proses U (Otto Scharmer). Identifikasi ini menghasilkan pemahaman bahwa proses tindakan berkaiatan dengan aspek kognitif. Jika terjadi bias dalam wilayah kognisi, maka dimungkinkan terjadi peristiwa yang perlu diwaspadai.

Sturktur kognitif inilah yang menjadi sasaran dalam proses produksi tindakan yang moderat dalam beragama. Pandangan bahwa peristiwa/kejadian yang mengemuka merupakan bentuk faktual dari rangkaian penyebab yang jika tidak diselesaikan, maka kejadian tersebut berpotensi untuk berulang. Logika peristiwa sebagai fenomena gunung es memberikan gambaran cara yang harus dilkukan oleh seseorang untuk membentuk tindakan moderat yang diharapkan. Peran signifikan proses identifikasi peristiwa menjadi proses mendasar untuk mengimplementasikan tindakan masyarakat Islam dalam memproduksi tindakan yang moderat.

Penyunting: Ahmed Zaranggi