Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kontroversi Kodifikasi Al-Quran: Dari Usman Hingga Kairo 1924

Sumber: istockphoto.com

Proses kodifikasi Al-Quran adalah perjalanan panjang yang menyentuh aspek teologis, historis, dan politik yang kompleks. Di kalangan umat Islam, Al-Quran diyakini sebagai wahyu ilahi yang disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. 

Namun, proses pengumpulan, penulisan, dan standarisasi teks ini telah memunculkan berbagai kontroversi terkait dengan kemurnian dan otentisitasnya. Pertanyaan tentang kemurnian Al-Quran mencuat, terutama ketika sejarah kodifikasinya ditelusuri dari era khalifah Utsman bin Affan hingga edisi standar Kairo tahun 1924.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji kontroversi kodifikasi Al-Quran dari masa awal Islam hingga proses standarisasi Kairo 1924, dengan menggunakan karya Controversies Over Islamic Origins oleh Mun’im Sirry dan History of the Quran serta Translations of the Qur’an in Europe sebagai referensi utama untuk menyoroti perdebatan ini dari perspektif tradisionalis dan revisionis.

Kodifikasi Pertama oleh Khalifah Utsman bin Affan

Kodifikasi pertama Al-Quran terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan sekitar tahun 650 M. Setelah wafatnya Nabi Muhammad, Al-Quran belum terkumpul dalam bentuk kitab yang utuh, dan wahyu disimpan dalam bentuk hafalan dan tulisan pada material-material seperti kulit dan tulang. 

Menurut History of the Quran, setelah banyak penghafal Al-Quran gugur dalam pertempuran Yamama, Khalifah Abu Bakar, atas saran Umar bin Khattab, memerintahkan pengumpulan wahyu-wahyu ini agar tidak hilang. Zaid bin Tsabit ditunjuk untuk mengumpulkan teks, yang kemudian menjadi dasar bagi mushaf Utsmani.

Namun, pada masa pemerintahan Utsman, muncul perbedaan bacaan Al-Quran di berbagai wilayah Islam, seperti Syam dan Irak. Ini memicu kekhawatiran akan perpecahan di kalangan umat Islam. 

Utsman membentuk komite yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit untuk membuat satu versi standar Al-Quran yang kemudian dikenal sebagai “mushaf Utsmani.” Utsman memerintahkan untuk membakar mushaf lain yang berbeda demi menjaga kesatuan teks di kalangan umat Islam.

Keputusan Utsman untuk membakar mushaf-mushaf yang berbeda menjadi salah satu isu paling kontroversial dalam sejarah kodifikasi Al-Quran. Menurut Mun’im Sirry dalam Controversies Over Islamic Origins, tindakan ini menimbulkan perdebatan karena mungkin ada varian-varian awal yang hilang dalam proses penyelarasan tersebut. 

Baca Juga  Kontekstualisasi Historis Islam: Makkah dan Madinah

Bagi kalangan tradisionalis, tindakan Utsman dianggap sebagai upaya untuk melindungi kemurnian wahyu, sedangkan bagi revisionis, tindakan ini dianggap mungkin menghilangkan keberagaman tradisi yang ada di masa awal Islam.

Penemuan manuskrip awal seperti Manuskrip Sanaa juga mendukung argumen revisionis, karena manuskrip ini menunjukkan variasi linguistik yang mengindikasikan bahwa teks Al-Quran mungkin tidak seragam di masa awal. Hal ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang kemurnian mushaf Utsmani: apakah teks tersebut benar-benar mencakup seluruh wahyu atau sebagian dari variasi awal yang ada?

Manuskrip Awal dan Implikasinya terhadap Kemurnian Al-Quran

Penemuan manuskrip Al-Quran awal, seperti Manuskrip Sanaa dan fragmen Al-Quran Birmingham, memberikan bukti penting mengenai variasi minor dalam teks awal. Menurut History of the Quran, meskipun teks ini sangat mirip dengan versi standar, beberapa perbedaan minor menunjukkan bahwa proses penyalinan dan kodifikasi pada masa awal Islam mungkin tidak sepenuhnya seragam.

Penemuan ini mengindikasikan bahwa meskipun mushaf Utsmani dianggap sebagai versi standar, ada kemungkinan variasi yang eksis dan mencerminkan cara penyampaian wahyu yang beragam. 

Dari sudut pandang tradisionalis, variasi ini dianggap sebagai aspek kecil yang tidak mempengaruhi kemurnian pesan wahyu. Namun, bagi revisionis, hal ini menandakan adanya proses evolusi dalam penyusunan teks Al-Quran yang mungkin memengaruhi persepsi tentang kemurnian teks.

Qira’at dan Perbedaan Bacaan

Setelah kodifikasi Utsmani, muncul tradisi qira’at atau variasi bacaan Al-Quran yang diterima di kalangan umat Islam. Qira’at merujuk pada perbedaan cara membaca teks yang disesuaikan dengan dialek lokal dan variasi linguistik. 

Dalam Translations of the Qur’an in Europe, disebutkan bahwa terdapat sepuluh qira’at utama yang diakui, dengan bacaan Hafs ‘an Asim menjadi yang paling umum digunakan di dunia Islam.

Variasi bacaan ini menunjukkan bahwa meskipun teks Al-Quran telah distandarisasi, masih terdapat perbedaan kecil dalam cara pembacaan. Kalangan tradisionalis menerima variasi ini sebagai bagian dari kekayaan warisan Islam, sedangkan sebagian revisionis mempertanyakan apakah variasi ini mengindikasikan ketidakseragaman awal dalam penyampaian teks.

Baca Juga  Kisah Ikrimah bin Abu Jahal dalam QS. Luqman Ayat 32

Standarisasi Al-Quran di Kairo pada Tahun 1924

Langkah besar dalam standarisasi teks Al-Quran terjadi pada tahun 1924 di Kairo, Mesir, yang dikenal sebagai “edisi Kairo.” Inisiatif ini digagas oleh Raja Fuad I dengan tujuan untuk menyelaraskan bacaan Al-Quran di Mesir dan mencegah kebingungan di kalangan pelajar. 

Edisi Kairo ini didasarkan pada bacaan Hafs ‘an Asim, yang dipilih karena dianggap lebih mudah diakses oleh sebagian besar umat Islam.

Menurut Translations of the Qur’an in Europe, tim ulama yang terlibat dalam proyek ini termasuk Muhammad Ali al-Husayni dan Hanafi Nasif, yang berupaya memastikan teks tersebut mengikuti standar mushaf Utsmani. 

Edisi ini kemudian dibagi menjadi 30 bagian untuk mempermudah pembacaan, dan menetapkan aturan tajwid untuk memperjelas pelafalan. Edisi Kairo ini kemudian menjadi versi paling umum dan diterima di dunia Islam.

Meskipun edisi Kairo dianggap berhasil menyederhanakan dan menyatukan bacaan, langkah ini menimbulkan kontroversi karena pemilihan satu varian qira’at, yakni Hafs ‘an Asim, sebagai standar resmi. Sebagian ulama mempertanyakan keputusan ini karena dianggap mengekang kekayaan qira’at lainnya yang telah diterima selama berabad-abad.

Dari sudut pandang revisionis, edisi Kairo ini dianggap sebagai upaya homogenisasi yang mungkin menghapus keragaman sejarah dalam tradisi teks Al-Quran.

Selain itu, edisi Kairo ini mengabaikan manuskrip-manuskrip kuno yang berpotensi menawarkan perspektif lebih luas terkait variasi dan perkembangan teks Al-Quran. Kritik ini mengarah pada anggapan bahwa standarisasi Kairo mungkin lebih bersifat politis untuk mencapai keseragaman, daripada berfokus pada representasi sejarah yang komprehensif dari teks.

Apakah Al-Quran Masih Murni?

Bagi kalangan tradisionalis, kemurnian Al-Quran didasarkan pada keyakinan teologis bahwa Allah menjaga wahyu ini dari segala bentuk perubahan, sebagaimana yang diungkapkan dalam Surah Al-Hijr:9. Mereka berpendapat bahwa perbedaan kecil dalam qira’at atau variasi linguistik tidak mengurangi kemurnian teks, karena variasi tersebut tidak mengubah pesan inti wahyu.

Baca Juga  Aib Bangsa Eropa: Kemenangan Islam di Perang Mohacs 1526

Sebaliknya, revisionis seperti yang diuraikan dalam Controversies Over Islamic Origins, mempertanyakan kemurnian ini, dengan menyoroti fakta sejarah bahwa proses kodifikasi dan variasi bacaan menunjukkan adanya pengaruh budaya, politik, dan sosial dalam perkembangan teks Al-Quran. 

Bagi mereka, kemurnian Al-Quran lebih merupakan konsep teologis daripada kenyataan historis, yang dapat dipertimbangkan dari berbagai sumber dan varian yang ada.

Dengan demikian, proses kodifikasi Al-Quran, dari masa Khalifah Utsman hingga standarisasi edisi Kairo 1924, menunjukkan adanya dinamika antara upaya menjaga kemurnian teks dan kebutuhan untuk menyederhanakan variasi.

Edisi Kairo memberikan kontribusi penting dalam upaya mencapai standar bacaan yang seragam, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang homogenisasi dan hilangnya keragaman dalam tradisi bacaan.

Perdebatan mengenai kemurnian Al-Quran mencerminkan perbedaan pandangan antara mereka yang menganggap Al-Quran sebagai teks yang sempurna dan mereka yang melihatnya sebagai teks yang berevolusi. 

Dengan menggunakan pandangan dari Controversies Over Islamic Origins, History of the Quran, dan Translations of the Qur’an in Europe, kita dapat memahami bahwa kemurnian Al-Quran bukan hanya perdebatan tekstual, tetapi juga mencakup dimensi historis dan teologis yang kompleks.

Daftar Pustaka

  • Sirry, Mun’im. Controversies Over Islamic Origins: An Introduction to Traditionalism and Revisionism. Newcastle: Cambridge Scholars Publishing, 2021.
  • Wikipedia. History of the Quran. https://en.m.wikipedia.org/wiki/History_of_the_Quran 
  • Hassan Chahdi, “The Cairo Edition (1924)” Qur’ān 12-21. Translations of the Qur’ān in Europe, 12th – 21st centuries. https://quran12-21.org/en/contexts/caire 
  • Wansbrough, John. Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation. New York: Prometheus, 2004.
  • Madigan, Daniel. The Qur’an’s Self-Image: Writing and Authority in Islam’s Scripture. New Jersey: Princeton University Press, 2001.
  • Cook, Michael. The Koran: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press, 2000.

Penyunting: Bukhari