Pengantar: Voorhoeve dan Klaimnya atas Tarjumân Al-Mustafîd
Dalam tulisan P. Voorhoeve, yakni Bayan Tajalli, tertulis pada daftar karya-karya ‘Abd Ar-Raûf As-Singkîlî sebuah nama karya tafsir yang tidak asing lagi bagi sebagian pengkaji, apalagi kalau bukan Tarjumân Al-Mustafîd. Hanya saja, Voorhoeve memberikan keterangan yang seolah mengklaim bahwa karya tersebut merupakan terjemahan Al-Qur’an beserta tafsirnya yang sebagian besar dikerjakan dari Tafsir Al-Baydhâwî.[1]
Uniknya, keterangan tersebut seakan bukanlah tanpa dasar. Tercatat setelahnya, suatu rekomendasi untuk melihat karya seorang orientalis ternama, yaitu Christiaan Snouck Hurgronje. Dugaan kuat bahwa keterangan Voorhoeve tersebut hanya satu di antara banyak pernyataan dan klaim, khususnya para sarjana Eropa yang mengaitkan Tarjumân Al-Mustafîd dengan karya tafsir Al-Baydhâwî, dengan berdasar pada tulisan Snouck Hurgronje tersebut.
Peter Riddell: Pelurus Kesalahpahaman
Datanglah seorang Peter Riddell yang meluruskan kesalahpahaman yang sudah terlanjur itu. Dalam tulisannya yang merupakan work-in-progress report penelitian doktoralnya di Australian National University, yang berjudul The Sources of Abd Al-Ra’ūf’s Tarjumān Al-Mustafīd[2], ia mula-mula menulis bahwa terdapat sejumlah edisi cetak Tarjumân Al-Mustafîd yang telah terbit selama 100 tahun terakhir.
Dan dari setiap edisi cetak tersebut, mengatribusikan karya ‘Abd Ar-Raûf As-Singkîlî dengan karya tafsir berbahasa Arab otoritatif, yaitu Anwâr At-Tanzîl wa Asrâr At-Ta’wîl, yang merupakankarya dari Al-Baydhâwî. Bahkan ada yang mengklaimnya sebagai terjemahan dari tafsir Baydhâwî tersebut. Dan klaim itu telah lama diterima secara umum tidak hanya oleh para sarjana di Eropa, tetapi juga di Makkah, pun Asia Tenggara.
Menguak Akar Kesalahpahaman Karya As-Singkîlî
Bagian yang mengejutkan, tulis Riddell, adalah bahwa tidak satu pun manuskrip yang mengidentifikasi demikian. Menyebarnya klaim yang keliru itu besar kemungkinan bermula dari editor edisi cetak pertama tafsir ini di Istanbul tahun 1884, yang menulis: “Inilah kitab yang bernama Tarjumân Al-Mustafîd bi’1-Jâwî, yang diterjemahkan dengan bahasa Jawi, yang diambil setengah maknanya dari tafsir al-Baydhâwî.”
Ini kemudian memunculkan kesalahpahaman ke permukaan. Adalah Snouck Hurgronje yang diduga kuat mempopulerkannya. Bahwa ia menyimpan salinan edisi Istanbul di perpustakaan pribadinya, di mana ia mewariskannya ke Perpustakaan Universitas Leiden. Dugaan terhadapnya semata-mata bukan tanpa penjelasan. Diketahui bahwa ia memiliki salinan edisi Istanbul tersebut, kemungkinan ia hanya membacanya sekilas, melihat nama Al-Baydhâwî, kemudian menulis dalam karyanya The Achehnese, Vol. 2, berikut:[3]
Another famous work of this same Abdurra’uf is his Malay translation of Baidhawi’s commentary on the Quran…
Yang bermakna: “karya terkenal lainnya dari Abdurra’uf ini adalah terjemahannya dalam bahasa Melayu atas tafsir Al-Qur’an karya Al-Baydhâwi…”. Tulisan yang keliru inilah yang menjadi rujukan populer para sarjana Eropa, seperti D. A. Rinkes dalam Abdoerraoef Van Singkel: Bijdrage tot de kennis van de mystiek op Sumatra en Java dan Voorhoeve tadi dalam Bayan Tajalli. Mereka menjadikan tulisan Snouck sebagai dasar untuk mengaitkan Tarjumân Al-Mustafîd dengan Anwâr At-Tanzîl karya Al-Baydhâwî.
***
Belum lagi versi yang terbit di Kairo, yang menyematkan dirinya sebagai edisi keempat, yang dicetak ulang berkali-kali di Singapura dan Indonesia. Secara eksplisit menulis pada halaman judulnya: At-Tarjamah Al-Jâwiyah li At-Tafsîr Al-Musammâ Anwâr At-Tanzîl wa Asrâr At-Ta’wîl… Al-Baydhâwî.
Lebih-lebih lagi edisi ini memuat sebuah codicil berupa pernyataan yang ditandatangani tiga ulama Melayu di Makkah. Mereka bersaksi telah memeriksa karya tersebut dan setuju bahwa itu adalah terjemahan dari Anwâr At-Tanzîl karya Al-Baydhâwî. “Tanpa tambahan atau pengurangan dan tanpa perubahan atau penggantian”.
Hingga pada akhirnya, beberapa edisi cetak Asia Tenggara benar-benar menghilangkan nama Tarjumân al-Mustafîd di halaman judulnya. Dan menggantinya dengan judul yang secara terang-terangan mengatribusikan karya tersebut pada al-Baydhâwî.
Bantahan Riddell atas Klaim Lama (1): Catatan Penelitian
Setelah menyangkal klaim keliru yang beredar, kemudian Riddell menyaji bukti-bukti yang diambil dari manuskrip yang disimpan dalam koleksi Museum Nasional di Jakarta yang dikatalogkan sebagai ML 116. Sebelum menyampaikan beberapa temuannya, beberapa poin dalam penyajian bukti ia sampaikan.
Pertama, teks Al-Qur’an berbahasa Arab tidak dituliskan. Kedua, terjemahan harfiah yang berbahasa melayu terhadap teks Al-Qur’an diidentifikasi dengan nomor ayat dan ditempatkan dalam tanda kurung.
Ketiga, bagian yang merupakan penjelasan, seperti kata, sinonim, atau frasa penjelas, dianggap tetap sebagai bagian dari unit ayat dan diletakkan di luar tanda kurung. Dan keempat, bagian yang diistilahkan sebagai “faidah” (pericope) atau “kisah” (further comment) disajikan secara terpisah.
Bantahan Riddell atas Klaim Lama (2): Al-Kahfi sebagai Bukti Bagian Pertama
Setelah itu, Riddell menyaji bukti pertama pada bagian Q.S. Al-Kahfi [18]: 83-88 dalam Tarjumân Al-Mustafîd mengenai kisah Dzulqarnain yang oleh beberapa mufasir diidentifikasi sebagai Alexander Agung sebagai contoh. Dan kemudian menyampaikan beberapa analisis dan temuannya.
Pertama, sangat sedikitnya bagian dari Tarjumân Al-Mustafîd yang isinya dapat diatribusikan dengan Tafsir Baydhâwî. Temuan ini sekaligus membantah klaim lama yang menyangkutpautkan tafsir ini dengan Anwâr At-Tanzîl atau mengklaimnya sebagai terjemahan dari tafsir tersebut.
Kedua, pemeriksaan terhadap tafsir-tafsir klasik lainnya tidak ditemukan hasil apapun sampai ia menemukan penjelasan harfiah berbahasa Melayu yang melekat pada setiap ayat, yang dianggap sebagai bagian dari unit-unit ayat, memiliki kecocokan dengan Tafsîr Al-Jalâlayn.
Namun, terdapat pengecualian pada ayat 83 dan 88 di mana terdapat frasa “ya Muhammad” dan “akan Allah” yang kemungkinan ditambahkan oleh ‘Abd Ar-Raûf sendiri. Kemudian yang ketiga, bagian “faidah” yang menyaji penjelasan mengenai asal-usul nama Dzulqarnain secara harfiah diambil dari Baydhâwî.
Dan keempat, dengan analisis itu, sudah cukup untuk menunjukkan bahwa karya Tarjumân Al-Mustafîd ini bersifat komposit. Bukan semata-mata sebagai terjemahan dari satu kitab tafsir, yakni Anwâr At-Tanzîl Al-Baydhâwî.
Al-Kahfi Ayat 77: Bukti Riddell Bagian Kedua
Ditambah lagi dengan pemeriksaan Riddell terhadap manuskrip itu pada bagian Q.S. Al-Kahfi [18]: 77 mengenai kisah Musa dan Khidir. Pada bagian “faidah”, secara eksplisit disebutkan mengacu pada tafsir Al-Khâzin, Lubâb At-Ta’wîl fî Maʻânî At-Tanzîl. Dan faidah ataupun kisah yang mengutip Al-Khâzin, tidak hanya ditemukan pada bagian tersebut saja, tetapi dalam banyak momen pada karya tersebut.
Akhirnya, lagi-lagi Riddell membuktikan bahwa sumber yang digunakan oleh karya ini, semata-mata bukanlah berdasar pada satu sumber saja, apalagi menyatakannya sebagai terjemahan pada satu sumber tertentu. Tetapi setidaknya mengacu kepada tiga sumber klasik, tafsirAl-Jalâlayn, Al-Baydhâwî, serta Al-Khâzin.
Kolofon di Jakarta dan Aceh: Temuan Riddell atas Teka-Teki As-Singkîlî
Temuannya itu menyisakan teka-teki, ia kemudian menyadari solusi yang mulai terungkap dalam kolofon dari dua naskah yang masih ada. Satu disimpan Museum Nasional di Jakarta, sementara yang lain merupakan koleksi pribadi di Aceh. Kolofon-kolofon tersebut setidaknya mengonfirmasi bahwa ‘Abd Ar-Raûf As-Singkîlî adalah penyusun utama tafsir tersebut.
Dan mengonfirmasi adanya peran dari Baba Daud Rumi yang merupakan murid ‘Abd Ar-Raûf. Baba menambahkan beberapa materi, yaitu “segala kisahnya” dan beberapa riwayat qiraat yang mayoritas diambil dari tafsir Al-Khâzin, atas perintah gurunya sendiri.
Alhasil, secara garis besar Riddell menunjukkan bahwa Tarjumân Al-Mustafîd bukanlah terjemahan sebagaimana klaim yang telah menyebar, tetapi sebuah tafsir komposit yang unik.
Referensi
[1] P. Voorhoeve, Bayān Tajallī, alih bahasa oleh Aboe Bakar, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1880), h. 38.
[2] Peter Riddell, “The Sources of Abd Al-Ra’ūf’s Tarjumān Al-Mustafīd”, dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 57, No. 2, Tahun 1984, h. 113-118.
[3] C. Snouck Hurgronje, The Achehnese, Vol. 2, translated by A. W. S. O’Sullivan, (Leyden: E. J. Brill, 1906), h. 17. Lihat juga: Peter Riddell, “The Sources of Abd Al-Ra’ūf’s Tarjumān Al-Mustafīd”, dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, Vol. 57, No. 2, Tahun 1984, h. 114.
Editor: Dzaki Kusumaning SM

























Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.