Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kitab Firasat: Keilmuan Islam yang Bersumber dari Penalaran Murni

Firasat
Sumber: Dok. Pribadi

Rabu, 25 Maret 2015, K.H. Moqsith Ghazali pernah menjadi panelis dalam forum Sekolah ICRP Megawati Institute, mengulas tradisi seksual dalam Islam dengan tema “Teks Erotis dalam Agama-agama”, bersama Dr. Saraswati Dewi Putri, dosen filsafat Universitas Indonesia.

Membicarakan seksualitas, demikian Kiai Moqsith, begitu tabu di kalangan umat Islam. Sebab sumber utama ajaran Islam, yakni al-Quran dan hadis tidak pernah membahas masalah seksualitas begitu detail. Islam sangat konsisten dengan penjagaan wibawa, kehormatan, dan kesucian ajarannya. Maka, pedoman melakukan reproduksi dibingkai dalam bahasa-bahasa kiasan, simbolik, dan bersastra. Bukan dalam bahasa langsung yang receh.

Petunjuk tentang cara melakukan reproduksi secara halus dan indah ditunjukkan oleh Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 223: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”. Kiai Moqsith menerangkan, intinya adab hubungan seksual dalam Islam adalah bercocok tanam di tempat terjadinya pembuahan. Tidak diperbolehkan di lahan yang tandus, yaitu tempat-tempat yang tidak memungkinkan terjadinya reproduksi.

Itu terlalu umum, secara eksplisit tentang melakukan hubungan seksual dalam Islam dituliskan oleh ulama tertentu. Oleh sebab itu Kiai Moqsith mengajukan tiga kitab karangan ulama yang berbicara tentang pedoman teknis persenggamaan dalam Islam–Kiai Moqsith sendiri ragu jika itu disebut “dalam Islam”, sebab di pembahasan di dalamnya tidak merujuk kepada al-Quran dan sunnah.

Ketiga kitab itu adalah Al-Raudh al-‘Athir fi Nuzhat al-Khatir yang ditulis oleh Muhammad an-Nafzawi, seorang ulama terkemuka Tunisia abad 16; kitab I`anatuth Thalibin, karya besar seorang ulama terkemuka Makkah abad ke-14 Hijriah (abad ke-19 Masehi), Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi as-Syafi’i yang masyhur dengan julukan al-Bakri, kitab ini digunakan di pesantren-pesantren, dan; kitab Al Ibda fi Funulil Jinsi wal Jima karya mufassir besar al-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.

Penalaran Subjektif

Misalnya dalam kitab I’anatuth Thalibin, kata Kiai Moqsith, makruh hukumnya memilih istri yang sangat cantik. Sebab akan banyak mengundang perhatian kaum lelaki. Sementara kemakruhan yang dimaksud tak ada dalilnya di dalam al-Quran dan hadis. Demikian juga wanita harus lebih rendah dari empat hal dari lelaki, yakni dalam usia, tinggi badan, kekayaannya, dan keturunannya. Adapun perempuan harus lebih tinggi dari laki-laki pada empat hal, yaitu kemolekan, adab atau kesopanan, akhlaknya, dan kemampuan membentengi dirinya.

Baca Juga  Tuhan Itu Nyata (3): Beberapa Kekeliruan Dawkins

Menurut Kiai Moqsith, pendapat itu hanya berangkat dari selera subjektif kemudian diteoretisasi seolah-olah mewakili selera kebanyakan kaum lelaki. Jadi, tidak melulu harus sepenuhnya bersandar pada al-Quran dan Hadis, keilmuan dalam Islam juga adalah hasil penalaran murni dari para ulama.

Soal kitab yang punya gaya serupa (penalaran murni), Imam Fakhruddin ar-Razi, ulama tafsir yang masyhur itu, juga telah menulis satu kitab yang penjelasan di dalamnya bukan bersumber dari dalil al-Quran dan Hadis, melainkan dari proses akali melalui pengamatan secara kontemplatif, bermodalkan ketajaman indra dan akal. Adalah Kitab Firasat, bukan tentang erotika dan seksualitas, melainkan ilmu membaca kepribadian orang dari bentuk tubuhnya.

Musthafa Asyur, sebagai pemeriksa (pen-tahqiq) kitab itu memberikan komentar bahwa firasat bukanlah kemusyrikan. Firasat adalah cahaya Allah yang diletakkan di dalam hati hamba-Nya, dengan cahaya itu hamba dapat membedakan mana yang benar dan mana yang bathil (hal. 11 – 12).

Ilmu Firasat

Firasat memang diterangkan secara implisit di dalam al-Quran di beberapa ayat: (1) tanda kekuasaan Allah–bagi orang yang memahami tanda-tanda (Q.S. Al-Hijr [15]: 75); (2) manusia mengenal orang lain dari ciri-cirinya (Q.S. Al-Baqarah [2]: 273); (3) watak manusia dikenal dari nada bicaranya (Q.S. Muhammad [40]: 37).

Namun, bagaimana cara membaca dan mengenali tanda-tanda itu tidak terjelaskan secara eksplisit. Di sinilah bukti kecerdasan ar-Razi dalam menyusun petunjuk tentang sifat dan karakter manusia, yaitu mengenali tanda-tandanya melalui bentuk tubuh. Inilah yang kemudian disebutnya sebagai firasat.

Bagi ar-Razi, firasat ada dua jenis. Pertama, firasat yang tiba-tiba saja muncul dalam diri seseorang tanpa melalui proses kontemplasi terhadap tanda-tanda fisik orang lain. Kedua, firasat tentang perilaku tersembunyi yang muncul dari hasil pembacaan tanda-tanda fisik dari manusia lainnya (lihat hal. 50-52). Ar-Razi mengenyampingkan jenis pertama. Hal itu menurutnya identik dengan mistisisme. Ia memilih jenis yang kedua untuk dikupas di dalam kitabnya, yaitu firasat yang muncul dari proses pengamatan ilmiah dan rasional.

Baca Juga  Pesantren Sebagai Role Model Kerukunan: Belajar dari Pesantren Bali Bina Insani

Kemudian tipe manusia secara umum dibagi atas empat macam: sanguinis, phlegmatis, koleris, dan Melankolis. Pembagian ini didasarkan pada salah satu cairan yang dominan dalam diri manusia: darah pada sanguinis, lendir pada phlegmatis, empedu kuning pada koleris, dan empedu hitam pada melankolis.

Istilah-istilah itu akrab kita jumpai di dunia psikologi. Bisa dikata, ar-Razi memberi sumbangan dalam dunia psikologi berupa kajian teknis namun mendalam tentang kepribadian manusia, yang diuraikan secara mendetail berasal dari keempat tipe umum tadi.

Tetapi patut diduga, ide ar-Razi mengenai pembahasan ini terinspirasi dari Claudius Galen. Ia seorang filsuf sekaligus dokter yang hidup pada tahun 129-200 Masehi, orang yang pertama kali memunculkan keempat istilah yang telah disebutkan–sanguinis, phlegmatis, koleris, dan melankolis.

Kitab Firasat Imam Ar-Razi

Kitab Firasat, terdiri dari tiga bab yang sebenarnya kurang sistematis sebab melompat-lompat. Teknik memahami sifat dan karakter dari bentuk tubuh terulang di ketiga bab itu, namun dengan porsi yang berbeda-beda. Bab ketiga lebih panjang soal itu. Namun kalau dilihat secara umum, sumber sifat dan karakter dari tanda-tanda yang ada pada manusia melalui bentuk tubuhnya disebabkan dua hal, yaitu berdasarkan pada hormon yang ada pada anggota tubuh, dan berdasarkan pada kemiripan bentuknya pada makhluk atau binatang lain.

Misalnya tatkala membaca sifat dan karakter dari bentuk kepala, kecerdasan atau kebodohan manusia dominan ditimbulkan oleh hormon dalam otak. Model kepala yang ideal bagi ar-Razi adalah kepala peang, yaitu menonjol bagian depan dan belakangnya. Baginya, itu menandakan kecerdasan, sebab tersedia ruang bagi hormon di depan dan di belakang. (hal. 117 dst.)

Contoh karakter dari organ yang memiliki kesamaan dengan binatang: menurut ar-Razi, orang yang memiliki mata sejernih minuman menandakan bahwa ia orang bodoh. Dasar dari kesimpulan itu adalah kesamaan bentuk mata dengan yang dimiliki oleh domba (hal. 167). Sedang contoh dari kesamaan dengan jenis lain: “Orang yang lehernya tipis (kurus) adalah orang yang lemah. Petunjuk ini diambil berdasarkan bentuk leher perempuan.” (hal. 183)

Baca Juga  Mengenal Tafsir Al-Jilani yang Bercorak Isyari

Kiai Moqsith mungkin juga akan menyebut ini sebagai teoretisasi selera pribadi. Sebab agaknya penentuan sifat-sifat ideal oleh ar-Razi amat berbau subjektif. Ia memilih tipe tertentu sebagai yang ideal dan menyudutkan tipe yang lain. Penganut teori kritis yang menyerang psikologisme juga akan mengejek pandangan ini sebagai “mitos” (ala Roland Barthes). Apa yang disusun oleh al-Razi perlu diuji kembali secara ilmiah.

Akurasi Pembacaan

Tetapi, sesungguhnya ar-Razi seakan memberi garansi akurasi pembacaan sifat dan karakter manusia dengan cara mempertajam firasat. Ia tak lupa menyelipkan cerita tentang Aqlimun si ahli hikmah (hal. 92 – 94) yang membaca kepribadian seorang raja (yang sebelumnya dirahasiakan) dengan tepat. Ia mengungkapkan sifat asli sang raja yang selama ini disembunyikan, dan sang raja membenarkan.

Betapapun ilmu firasat adalah hasil dari ketajaman pengetahuan dan bukan hasil dari hasil penggalian al-Quran dan Hadis, ia sangat dibutuhkan. Terutama bagi kalangan pendidik yang kesehariannya berhadapan dengan manusia. Firasat memang berbeda dari ilmu membaca garis tangan (primbon), tetapi ia setara dengan pembacaan tanda-tanda alam lainnya, misalnya tanda hujan, bencana, ataupun kadar tanah. Firasat, akan halnya ilmu-ilmu lain, sangat dibutuhkan oleh manusia.

*

Judul Buku: Kitab Firasat: Ilmu Membaca Sifat dan Karakter Orang dari Bentuk Tubuhnya

Judul Asli: Al-Firasah: Daliluka ila Ma’rifah Akhlak an-Nas wa Thaba’ihim wa Ka’annahum Kitabun Maftuh

Penulis: Imam Fakhruddin ar-Razi

Penerjemah: Fuad Syaifuddin Nur

Penerbit: Turos Pustaka

Tahun: Cet. IV, April 2018

ISBN: 978-602-1583-64-7 (PDF)

Penyunting: M. Bukhari Muslim