Jannah dalam bahasa Arab bisa dimaknai surga, bisa juga kebun. Lafaz ashab al jannah, masyhurnya bermakna penghuni surga. Sebab hampir seluruhnya lafaz tersebut yang terdapat di dalam alquran bermakna penghuni surga sebagai lawan dari ashab an-nar (penghuni neraka). Menariknya, ada lafaz ashabul jannah yang tidak dimaknai para penghuni surga. Satu-satunya makna yang berbeda tersebut terdapat dalam surah al-Qalam, yang dimaknai para pemilik kebun.
Kisah Ashab Al-Jannah
Dalam surat al-Qalam ayat 17-33, diceritakan mengenai kisah para pemilik kebun tersebut. Alkisah, ada seorang pemilik kebun yang dermawan. Setiap panen, ia selalu memberi tahu para fakir miskin untuk datang ke kebunnya dan langsung memberikan hak-hak mereka dari hasil panen itu. Kedermawanannya membuat kebunnya tumbuh subur dan berkembang.
Singkat cerita, sang pemilik kebun meninggal dunia, dan mewariskan kebun itu pada anak-anaknya. Namun, suatu ketika saat kebun mereka hendak panen, budaya sang ayah ada yang mereka hilangkan. Sala satu anaknya yang ingin mempertahankan budaya sang ayah untuk bersedekah setiap kali musim panen ditolak habis-habisan oleh saudara-saudaranya.
Mereka pun sepakat untuk tidak memberi tahu para fakir miskin dan berbesar hati dengan hasil panen mereka yang akan segera mereka petik dan sepenuhnya milik mereka. Demi agar tidak diketahui fakir miskin, mereka berencana untuk berangkat ke kebun sebelum orang-orang bangun demi niat mereka yang tidak akan menyisakan sedikit pun untuk fakir miskin.
Di pagi buta mereka sampai ke kebun. Namun mereka kaget ketika mendapati kebun yang hancur. Mereka pun memperhatikan lokasi kebun itu, yang pada akhirnya memang inilah kebun mereka. Kemarin hari bayangan mereka begitu indah, mereka akan memetik hasil panen. Namun, rencana itu harus gugur karena rusaknya kebun-kebun mereka.
Rasa tidak percaya bercampur dengan kecewa, bencana telah membabat habis kebun mereka hingga tak ada sedikitpun hasil dari kebun itu yang tersisa. Pada akhirnya, mereka pun menyesalinya.
Bahaya Niat Buruk dan Sifat Kikir
Dalam At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur, kisah ini menjadi dalil bahwa orang yang berniat buruk, telah tercatat sebagai dosa, baik rencananya berhasil maupun tidak. Persis seperti kisah pemilik kebun di ayat ini, mereka berencana menghalangi orang miskin namun tidak kesampaian karena rencana mereka gagal. Allah telah lebih dulu mengirimkan azab sebelum mereka mewujudkan niatnya. Intinya bahwa meskipun sikap pelit mereka belum dikerjakan dan baru sekadar azam, ternyata Allah Ta’ala telah turunkan azab. (At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur, 29/82).
Kisah ini juga merupakan dalil bahwa seseorang yang tidak mensyukuri nikmat maka akan dicabut oleh Allah. Seorang ulama berkata :
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النِّعَمَ فَقَدْ تَعَرَّضَ لِزَوَالِهَا، وَمَنْ شَكَرَهَا فَقَدْ قَيَّدَهَا بِعِقَالِهَا
“Barang siapa tidak mensyukuri nikmat berarti dia telah menjadikan nikmat tersebut terancam untuk hilang, dan barangsiapa mensyukurinya berarti dia mengikatnya dengan ikatannya”. (At-Tahrir Wa At Tanwir Li Ibnu ‘Asyur, 29/85).
Tak hanya itu, kisah ashab al jannah juga sebagai dalil bahwa jika ada seseorang yang memiliki harta yang telah mencapai nishab dan sebentar lagi tiba haulnya, namun dia kemudian mengeluarkan sebagiannya agar berkurang dari nishab dan agar tidak berzakat, maka dia telah berdosa. (At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur, 29/89).
Itulah bahaya memiliki niat yang buruk meski tidak terlaksana, serta bahaya sifat kikir karena telah menghalang-halangi hak fakir miskin sehingga mereka pun terkena azab.
Peringatan untuk Kafir Quraisy
Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya mengutip riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibn Juraij, bahwasanya Abu Jahal pada peristiwa perang Badar pernah berkata agar Nabi Muhammad dan para pengikutnya ditangkap dan diikat di bukit, dan tidak perlu dibunuh dulu. Hal ini menggambarkan keyakinan Abu Jahal bahwa mereka akan memenangkan peperangan tersebut. Namun rupanya mereka kalah hingga turunlah surat al-Qalam ayat 17-33.
Keterangan di atas juga dikuatkan oleh as-Suyuthi bahwa ayat ini mengindikasikan persamaan antara para pemilik kebun dan sebagian pembesar musyrikin Mekkah yang amat sangat yakin dengan rencana dan keberhasilan mereka. (Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, 4/30).
Lebih jelas lagi dalam tafsir al-Qurthubi diterangkan, sisi kemiripan Ashab al-Jannah dengan orang-orang kafir Quraisy adalah sama-sama diberi kenikmatan oleh Allah namun tidak mensyukurinya, adapun orang-orang kafir Quraisy juga diberi kenikmatan dengan diutusnya Nabi Muhammad saw namun mereka juga tidak mensyukurinya.
Di antara kenikmatan yang diberikan kepada orang-orang kafir quraisy adalah mereka diberi kenikmatan keamanan di kota Mekkah; mereka dimudahkan dalam perdagangan; mereka diberi kenikmatan sebagai pengurus ka’bah; dan kenikmatan terakhir adalah Allah sempurnakan dengan diutusnya seorang Nabi dari kalangan mereka. Akan tetapi dengan semua ini mereka tidak bersyukur. Maka sebagaimana Ashab a-Jannah yang tidak bersyukur dikirimkan teguran oleh Allah, demikian pula orang-orang quraisy dikirimkan teguran karena tidak bersyukur. (Tafsir Al-Qurthubi, 18/239).
Penyesalan Ashab Al-Jannah
Penyesalan mereka dikemukakan para mufassir seperti as-Sa’di dan al-Qurthubi. Bahkan ada yang mengatakan bahwa berkat penyesalan mereka hari itu juga Allah tumbuhkan kebun yang lebih baik daripada kebun yang Allah hancurkan karena mereka kembali kepada Allah (Tafsir Al-Qurthubi, 18/245).
Hikmah dari penyesalan di kisah ini bahwa ketika seseorang berbuat dosa, kemudian sadar dan menyesal serta kembali kepada Allah, maka Allah akan memberikan ganti dengan yang lebih baik sebagaimana yang dialami ashab al-jannah, kebun mereka pun Allah ganti dengan yang lebih baik. Wallah a’lam.
Penyunting: Ahmed Zaranggi
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.