كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ ( اٰل عمران : ١١٠)
Artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali ‘Imran: 110)
Ayat ini mengandung suatu dorongan kepada kaum mukminin agar tetap memelihara sifat-sifat utama. Yakni mengajak kebaikan serta mencegah kemunkaran, dan senantiasa beriman kepada Allah. Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum Muslimin pada masa Nabi dan sudah menjadi darah daging dalam diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya.
Dalam waktu yang singkat mereka dapat menjadikan seluruh tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan Islam. Hidup aman dan tentram. Padahal mereka sebelumnya adalah umat yang berpecah-belah selalu berada dalam suasana kacau dan saling berperang antara sesama mereka. Hal tersebut dikarenakan keteguhan iman dan kepatuhan mereka dalam menjalankan ajaran agama. Serta ketabahan, dan keuletan mereka menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran.
Iman yang mendalam di hati mereka selalu mendorong untuk berjihad dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimana tersebut dalam firman Allah.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat [49]:15).
***
Jadi, ada dua syarat untuk menjadi umat yang terbaik di dunia. Seperti yang dijelaskan dalam ayat ini, yakni memiliki iman yang kuat, dapat menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran (berdakwah). Maka setiap umat yang memiliki kedua sifat ini pasti umat itu jaya dan mulia dalam hidupnya. Tapi, jika umat tidak memperdulikan hal tersebut, maka umat itu akan menyesali hidupnya.
Salah satu kisah yang terkait dengan amar ma’ruf nahi munkar dalam kehidupan Nabi Muhammad adalah kisah tentang “Aisyah dan Si Penghasut.” Kisah ini menceritakan bagaimana Nabi Muhammad mengajarkan umatnya untuk mencegah perbuatan munkar (kejahatan) dan mempromosikan perbuatan ma’ruf (kebaikan). Dalam kisah ini, Aisyah, istri Nabi Muhammad, melihat seorang laki-laki yang sering mengunjungi rumahnya, namun sikapnya tampak mencurigakan.
Aisyah merasa ada yang tidak beres dan melaporkan hal ini kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad kemudian mengadakan penyelidikan dan menemukan bahwa laki-laki tersebut adalah penghasut yang berniat jahat. Nabi Muhammad kemudian berbicara kepada laki-laki tersebut dengan lemah lembut. Lalu memberinya nasihat, dan mengingatkannya tentang pentingnya hidup berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat.
Laki-laki tersebut menyadari kesalahannya dan bertobat atas niat buruknya. Nabi Muhammad juga menggunakan momen ini untuk mengajarkan umatnya tentang pentingnya mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam Islam, konsep amar ma’ruf nahi munkar mengacu pada kewajiban umat Muslim untuk mempromosikan kebaikan dan mencegah kejahatan.
Umat Muslim diajak untuk bertindak dengan bijaksana, memberikan nasehat yang baik, dan menghindari konflik dalam prosesnya. Nabi Muhammad sendiri adalah contoh teladan dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar (berdakwah) melalui perilaku dan nasihatnya kepada umatnya.
***
Kisah ini menunjukkan betapa pentingnya peran umat Muslim dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, umat Muslim diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang penuh dengan kebaikan, keadilan, dan keberkahan.
Kesimpulan korelasi penafsiran kewajiban berdakwah dalam surat Ali ‘Imran adalah menjelaskan bahwa umat ini pantas disebut umat terbaik karena diberikan kesempatan untuk melaksanakan kewajiban berdakwah walaupun sebelumnya tidak diberikan kewajiban tersebut, dan kewajiban tersebut lebih ditekankan lagi seandainya sebelumnya sudah diharuskan.
Imam Jalaludin al-Mahalli dan as-Suyuthi dalam tafsirnya menegaskan bahwa yang dimaksud dengan umat terbaik ini adalah umat Nabi Muhammad yang tampil atau ditampilkan untuk memaknai lafadz ukhrijat yang secara makna asli diartikan sebagai “dikeluarkan”. Umat tersebut ditunjukkan kepada manusia untuk menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kepada yang mungkar serta beriman kepada Allah Ta’ala. Lanjutan redaksinya adalah tentang keadaan para ahli kitab yang berpotensi juga menjadi umat terbaik, seandainya mau beriman kepada Allah. Walaupun sebagain ada yang beriman dan sebagian tidak beriman.
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply