Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Ketika Perempuan Menggugat Agamanya: Pemikiran Mohsen Kadivar

Kadivar
Gambar: Kadivar.com

Digempur dari berbagai arah, perjuangan untuk memberikan perempuan hak-hak yang mereka harus dapatkan tidak selalu berjalan mudah. Terjal dan penuh onak duri. Dari tradisi dan budaya, mereka sering dihadapkan pada aturan-aturan yang membelenggu. Begitupun dengan agama. Gerak mereka selalu berada dalam bayang-bayang penafsiran yang coba menghadang langkah.

Demi mengimbangi penafsiran itu, hadirlah beberapa pemikir Islam yang coba memberikan penafsiran yang lebih fresh dan sesuai dengan semangat zaman. Di sana terdapat nama-nama raksasa pemikir Islam seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Amina Wadud, Asma Barlas dan lainnya. Namun salah satu pemikir yang jarang dibahas namanya adalah Mohsen Kadivar, seorang cendekiawan dan reformis Islam dari Iran. Padahal jika melihat karyanya, ia memiliki pemikiran dan perhatian yang cukup besar pada dilema dan tantangan perempuan Islam di zaman sekarang.

Tulisan ini karenanya akan berusaha mengantarkan pembaca untuk mengenal lebih dekat Mohsen Kadivar dan pemikirannya, khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Tidak kalah dengan pemikir Islam lain, pemikiran Kadivar tentang perempuan cukup berani dan komprehensif. Ia memberikan kritik teoritis atas paradigma yang berkembang dan mengajukan satu ijtihad baru agar umat Islam lebih siap menghadapi tantangan dunia modern.

Sekilas tentang Mohsen Kadivar 

Setelah berbagai polemik yang dihadapinya, ia harus keluar dari negerinya sendiri (Iran) pada tahun 2008 dan hijrah serta menjadi profesor riset studi Islam di Duke University, Carolina Utara. Ia lahir di Fasa, daerah yang berada di posisi sebelah Tenggara Shiraz tahun 1959. Kadivar pada awalnya terdidik secara tradisional di Hawzeh-ye Elmiyyeh-ye Qom. Ia dididik oleh guru-guru yang beken. Pada tahun 1984, dirinya resmi didapuk sebagai agamawan setelah dikenakan sorban (pengakuan secara simbolis karena telah selesai mengikuti kuliah keagamaan dasar) oleh ulama konservatif dan ahli tafsir Al-Qur’an, Abdollah Javadi Amoli.  

Tak berhenti di situ, ia kemudian mendalami ushul fikih secara serius di bawah asuhan grand ayatullah Mirza Jawad Tabrizi, Seyyed Kazem Husseini Ha’ari, dan Seyyed Mahmoud Hashemi Shahroudi. Guru yang disebut terakhir kemudian menjadi Ketua Kehakiman Iran sejak 1999 sampai 2009. Di Iran, ia sering ditahbis sebagai salah satu mentor Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei. Namun, sebagaimana dicatat sejarah, mentor dan guru yang berpengaruh besar pada perkembangan pola pikir Kadivar adalah grand ayatullah Syeikh Hossein Ali Montazeri. Padanya Kadivar belajar selama satu dekade. Montazeri bukanlah sosok main-main. Setelah wafatnya Ayatullah Khomeini, ia sempat ditunjuk sebagai pengganti sementara setelah kemudian menjadi kritikus paling lantang terhadap Republik Islam Iran. 

Kadivar termasuk cendekiawan muslim Iran yang sangat produktif. Ia banyak menyumbangkan karya-karya penting demi pengembangan wacana Islam yang lebih fresh dan kompatibel dengan zaman. Di antaranya Theses on the State in Shi’ite Jurisprudence (Nazariya-ha-ye Dawlat dar Fiqh-e Shi‘a), Governance by Guardianship (Hokumat-e Wela’i), The Book of Intellect (Daftar-e Aql: Madjmou’eh Maqalat-e Falsafi va Kalami), Human Rights And Reformist Islam (Haqq al-Nas: Islam va Hoquq-e Basha) dan Blasphemy and Apostasy in Islam: Debates in Shi’a Jurisprudence (Mujāzāt-e Irtidād va Azādi-ye Mazhab). 

Islam Agama Keadilan

Sebagai intelektual Iran dan bermazhab Syi’ah, pandangan Kadivar terhadap perempuan cukup dipengaruhi oleh konteks kehidupan Iran dan doktrin-doktrin Syi’ah, salah satunya soal keadilan. Ia menegaskan bahwa Syi’ah termasuk kelompok Islam yang memberi penegasan dan perhatian penuh pada al-adillah al-ilahi (keadilan ilahi).

Baca Juga  Pengaruh Gender Islam Terhadap Pemberdayaan Perempuan

Sebagai kelompok yang menaruh perhatian pada keadilan, ia mempertanyakan letak keadilan itu ketika dihadapkan pada perempuan? Mengapa keadilan seolah tiba-tiba hilang. Apalagi berbeda dengan Asy’ari yang menganggap akal manusia terlalu lemah untuk mengerti keadilan dan karena itu sepenuhnya berpasrah pada Tuhan dan Nabi, maka dalam Syi’ah manusia dianggap punya kemampuan untuk itu. Manusia dinilai mampu memahami keadilan itu sendiri, bahkan tanpa agama. Manusia menerima agama karena ajarannya dinilai bersifat adil (Human Right and Reformist Islam, 2021, h. 275). 

Jadi keadilan itu ditentukan bukan oleh siapa yang menyampaikan, melainkan oleh diri sendirinya. Ini merupakan suatu keharusan dan mesti menjadi kepercayaan umat Islam. Bahwa sesuatu yang tidak adil bukan merupakan dari Tuhan. Hal inilah kemudian menjadi dasar Kadivar mempertanyakan di manakah keadilan itu hari ini untuk perempuan? Kita mengaku membawa ajaran-ajaran agama, tapi dengan ajaran itu kita malah berlaku tidak adil terhadap perempuan. 

Atas dasar itu ia kemudian menggugat hal-hal yang dianggap syariat, tapi bersifat tidak adil. Menurutnya salah satu tolak ukur untuk menilai apakah suatu ajaran itu relevan dan bisa diikuti adalah harus adil. Jika tak adil, maka ia tidak bisa dimasukkan dalam ajaran agama. Hal ini kemudian memperkuat pandangan-pandangan cendekiawan muslim kontemporer yang lain. Bahwa salah satu asas dari agama Islam ialah keadilan. Karena itu penafsiran-penafsiran terhadap perempuan harus dirumuskan secara adil dan sejalan dengan kemajuan zaman. Keadilan adalah sesuatu yang diakses untuk semua. Tidak hanya untuk laki-laki, tapi juga bagi perempuan. Dan ini sesuatu yang belum menjadi kesadaran penuh di kalangan umat Islam. 

Keluar dari Cengkraman Islam Tradisional

Ada beberapa masalah yang akan dihadapi jika berbicara tentang hak perempuan dalam Islam. Yakni bahwa tidak semua orang percaya ada masalah dalam hak-hak perempuan. Mereka mengatakan bahwa teks Al-Qur’an dan hadis jelas. Di dalamnya telah diatur bagaimana sebaiknya perempuan menjalankan lakon kehidupannya. Menurut Kadivar, jika kita betul-betul serius ingin memperjuangkan hak perempuan dan kesetaraan baginya, maka tak boleh tidak, kita mesti keluar dari paradigma yang disebutnya sebagai Islam tradisional. Ia melihat kekacauan yang menimpa nasib perempuan hari ini juga diakibatkan oleh bangunan fikih dan teks kitab kuci yang disalahpahami. Lebih jauh, ia bahkan meminta umat Islam untuk menerima ushul fikih secara kritis. Sebab, tegasnya, kita tak akan mengalami perubahan apa-apa jika tidak punya keberanian memeriksa kembali ushul fikih yang lama. 

Baca Juga  Perjalanan Rohaniah Manusia: Tafsir QS. An-Nas [114]: 1-3

Selain itu, ia juga memberi tiga kriteria yang menjadi ciri khas dari hukum-hukum syariah. Pertama, hukum-hukum itu dianggap masuk akal oleh norma masyarakat saat itu. Jadi ia diterima bukan hanya karena disampaikan oleh Nabi, tapi mereka menganggap itu sebagai sesuatu yang baik. Kedua, ia memiliki daya fungsional yang kuat. Seperti kondisi perempuan pada zaman Jahiliyah dan zaman setelah Islam datang. Kita akan mendapat perbedaan yang cukup mencolok. Ketiga, suatu hukum harus mencirikan keadilan. Karena itu jika sesuatu dianggap tak adil, maka ia tak termasuk dari hukum Tuhan. (H. 277)

Kritik Mohsen Kadivar atas Wacana tentang Perempuan

Atas dasar pemikiran di atas, Kadivar kemudian mengajukan gugatannya terhadap beberapa penafsiran Al-Qur’an yang dianggap merugikan perempuan dan tidak membuatnya setara dengan laki-laki. Ia berangkat dari premis dasar bahwa setiap hukum Tuhan harus mencerminkan keadilan. Seperti contoh dalam masalah perceraian. Berbeda dengan laki-laki yang punya hak talak, perempuan tidak. Begitupun dalam hal kesaksian. Hukum syariat dianggap masih cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Sebab satu kesaksian laki-laki baru dianggap setara jika dihadapkan dengan dua kesaksian perempuan. 

Ia melihat bahwa perempuan-perempuan hari ini menghadapi masalah hukum yang cukup serius. Khususnya yang berkaitan dengan syariat. Dalam pandangannya, umat Islam masih terjebak pada paradigma lama. Yakni menganggap cara memuliakan perempuan adalah dengan mencengkramnya dan mengurungnya dalam rumah. Mereka jatuh pada cara memuliakan yang salah. Atas alasan itulah hak-hak wanita dalam Islam memerlukan penyegaran dan pembaharuan. Yakni dengan mengedepankan penafsiran Al-Qur’an yang bertumpu pada rasionalitas dan keadilan. 

Namun di satu sisi perempuan-perempuan menghadapi ketegangan yang cukup serius. Yakni tarik-menarik antara iman dan kenyamanan. Di satu sisi aturan-aturan mengenai perempuan yang diskriminatif dianggap syariat dan aturan Tuhan, karena itu menentangnya sama dengan menentang hukum Tuhan. Di sisi lain jika menggunakan akalnya, ia akan gelisah dan merasa tidak nyaman dengan aturan-aturan yang ada mengenai perempuan. 

Menurut Kadivar dilema semacam ini adalah wajar. Ketika seseorang mencoba menguji doktrin-doktrin yang pernah diterimanya, maka yang harus dilakukan bukan menakuti-nakutinya, melainkan membuka ruang diskusi. Seseorang, tulis Kadivar, “one can be a believer but at the same time look at some of these rulings with doubt” (seseorang bisa menjadi orang yang beriman tapi di saat yang bersamaan juga meragukan hal-hal tertentu dalam agamanya). Ia mencontohkan dengan kisah Ibrahim yang pernah meminta Tuhan untuk menghidupkan orang mati (H. 284). Allah bertanya, “Apakah kamu tidak beriman?”. Ibrahim menjawab, “Aku beriman,, tapi agar hatiku menjadi tenang.” (Q.S. 2: 226)

Baca Juga  Analisis Makna Wahyu dengan Teori Semantik Toshihiko Izutsu
***

Kendati begitu Kadivar melihat bahwa masalah terhadap hak-hak perempuan tidak hanya milik agama dan peradaban tertentu, melainkan seluruh kebudayaan lama. Hampir setiap kebudayaan lama hadir dengan pandangan yang mengunggulkan laki-laki atas perempuan. Entah karena kekuatan fisiknya, ataupun kemampuannya dalam mencari penghidupan dan ekonomi. Hari ini konteksnya berbeda. Syarat-syarat itu sudah tak berlaku. Karena kini perempuan juga sudah mulai terlibat dalam pencarian nafkah. 

Sebagai agama, Islam sangat menjunjung kesetaraan dan persamaan hak. Ketika ajaran sebelum Islam cenderung mengagungkan satu ras atas ras yang lain, Islam datang dengan pesan tegas. “Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, atau non-Arab atas Arab, tidak juga orang berkulit putih atas orang berkulit hitam, atau sebaliknya, kecuali dalam ketakwaan.” Hal inilah yang membuat agama yang dibawa Muhammad lekas diterima oleh masyarakat. Ia hadir dengan semangat keadilan dan kesetaraan. Inilah yang membuat Bilal dari Habasyah, Salman dari Persia dan Suhaib dari Romawi bisa bergerak pada jalan dan tujuan yang sama. Sebab Islam benar-benar menghapus diskriminasi berdasarkan ras dan warna kulit. (H. 282)

***

Al-Qur’an dengan seluruh ayat yang dikandungnya tidak pernah menyatakan akan melakukan diskriminasi. Sebaliknya, justru memberikan penghargaan yang sama terhadap amal perbuatan manusia, baik perempuan ataupun laki-laki. “Aku tidak akan menyia-nyiakan amal perbuatan siapa pun di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan; satu sama lain setara dalam pahala (Q.S. 3:195). Bahkan jika melihat surah al-Ahzab (33:35), posisi perempuan ditaruh sejajar dengan laki-laki. Dalam ayat ini tidak ada narasi bahwa akal perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Sebaliknya, ia digambarkan sebagai manusia utuh dan memiliki tanggung jawab sendiri.

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatan, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah — Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Dengan demikian, atas seluruh usahanya, Kadivar ingin mengajak umat Islam untuk memberi perhatian penuh pada pemenuhan hak-hak perempuan sembari kembali menegaskan bahwa Islam agama keadilan. Tanpa memerhatikan aspek ini, Islam akan kehilangan relevansinya. Karena itu penafsiran-penafsiran baru dan gugatan terhadap paradigma lama harus digerakkan. Karena, seperti yang ia tekankan, kita tak akan mendapat apa-apa tanpa perubahan yang mendasar terhadap epistemologi Islam, khususnya yang berkaitan dengan ushul fikih. 

Alumni Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Jakarta, Mahasiswa Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta dan Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI), Bendahara Umum DPD IMM DKI Jakarta 2024-2026.