Pada tahun 2023 KOMNAS Perempuan mencatat terdapat kasus sebanyak 339.782 tentang kekerasan perempuan. Dengan rincian 2.098 kasus ranah personal dan 2978 kasus dalam ranah publik. Dari data tersebut bentuk patriarki dan diskriminasi sangat tinggi dialami perempuan. Sehingga wajar feminisme dengan tegas menginginkan kesetaraan gender, penghapusan diskriminasi dan patriarki.
Tidak cukup itu. Tuduhan feminisme juga mengarah kepada agama yang dinilai melanggengkan supremasi budaya patriarki melalui pemahaman ayat-ayat yang misoginis. Sehingga hal ini mengundang kritik dari Amina Wadud dalam bukunya Qur’an and Women, ia menjelaskan bahwa segala bentuk penafsiran yang misoginis ini diakibatkan oleh penulis gender laki-laki yang meniadakan pengalaman Perempuan. (Wadud, 2006: 194)
Maka tidak heran dalam bukunya Margot Badran yang berjudul Feminisme in Islam Secular and Religius Convergences ia menjelaskan bahwa feminisme dan Islam sudah lama dianggap tidak ada oleh sebagian besar masyarakat Barat. Karena feminisme dan Islam adalah dua hal yang bersebrangan. Menurut masyarakat Barat kaum muslim tidak bisa menghasilkan feminisme, begitu juga Islam tidak mengizinkan hal itu. (Badran, 2009: 243)
Sehingga kedatangan feminisme menuai pro dan kontra dalam masyarakat. Karena sebagian mereka ada yang menerima sepenuhnya. Namun terdapat masyarakat yang menolak gerakan tersebut seperti para tokoh dan pengamat agama, religius fundamentalis, dan muslim sekuler. (Badran, 2009: 244)
Salah satu tokoh yang perlu disorot adalah Zainab Al-Ghazali. Ia memberikan konsep penawaran kesetaraan gender yang berasaskan Islam. Maka penulis memahami pentingnya pemahaman kesetaraan gender yang diinginkan oleh perempuan dalam perspektif Zainab Al-Ghazali dalam tafsir Nazarat fi Kitabillah.
Profil Zainah Al-Ghazali
Zainab Al-Ghazali al-Jabili lahir pada tanggal 2 januari 1917 atau 8 Rabiul Awal 1335 H. di Mayeet Ghumar Al-Daqiliyah, daerah Buhairah. Ayahnya bernama Muhammad Al-Ghazali Al-Jalibi seorang ulama Al-Azhar. Ia masih mempunyai silsilah keturunan Umar bin Khattab. Sedangkan ibunya keturunan dari Hasan bin Ali. (Muhammad, 2006: 306)
Sejak kecil Zainab adalah anak haus akan ilmu sehingga kehidupannya selalu mengutamakan pendidikan dan aktif dalam masyarakat. Tidak heran ketika umur delapan belas tahun ia memutuskan masuk dalam organisasi Egyptian Feminist Union (EFU) yang dipimpin oleh Huda Sya’rawi Pada tahun 1923. (Philip, 1978: 290)
Tepat setelah dua tahun ia aktif dalam organisasi tersebut, Zainab memutuskan keluar dari organisasi EFU karena mendapat kecaman dan nasehat dari ulama Al-Azhar yakni Syekh Muhammad Al-Najjar. Setelah itu ia memutuskan untuk membuat organisasi sendiri organisasi yaitu Al-Markaz Al-‘Amm li as-Sayyidat al-Muslimat atau yang lebih sering dikenal dengan nama Jamaah Muslimat. (Mursi, 2007: 466)
Bergabung dengan Ikhwanul Muslimin
Kehadiran Jamaah Muslimat disambut baik oleh masyarakat Mesir yang merindukan ajaran Islam pasca kehadiran budaya Barat. Hingga pada tahun 1941 Zainab bertemu dengan Hasan Al-Banna dan mengajaknya untuk bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Bak gayung bersambut kedua organisasi ini berjalan beriringan dalam upaya menciptakan masyarakat yang berasaskan Islam dan membentuk negara Islam di Mesir. (Mursi, 2007: 467)
Pada tahun 1954, Ikhwanul Muslimin mendapat pertentangan dari kalangan pemerintahan karena dinilai makar. Hingga desakan pemerintah semakin terasa ketika keluarga mereka mendapat intimidasi oleh pemerintah. Nasser bahkan memasukkan sejumlah tokoh yang tidak disukainya hingga puncaknya pada tahun 1964 pemerintahan membubarkan dan menyita harta mereka. Serta menangkap para pemimpinnya termasuk Zainab Al-Ghazali untuk dijebloskan ke dalam penjara.
Kesetaraan Gender Perspektif Zainab Al-Ghazali
Semasa di penjara Zainab menulis kitab tafsir Nazarat fi Kitabillah. Hal ini dilakukan karena ia merasa prihatin dengan keadaan masyarakat Mesir yang dalam keadaan kacau dan krisis agama. Sehingga tafsir Nazarat fi Kitabillah sebagai rujukan dan pandangan dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang terjadi.
Permasalahan yang sedang viral ketika itu adalah usaha kaum feminisme dalam penyetaraan gender. Bagi Zainab kesetaraan sudah terlihat dalam penjelasan Al-Quran surat An-Nisa 4:1
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (An-Nisa 4:1)
Dalam penjelasan Zainab Al-Ghazali dalam tafsir Nazarat fi Kitabillah menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah jiwa yang satu. Artinya dari satu jiwa tersebut menjadi laki-laki dan Perempuan dan keduanya akan saling melengkapi, Sehingga hal ini menjadi setara dan Allah tidak pernah memberikan klasifikasi spesial untuk laki-laki ataupun untuk perempuan. Karena yang dinilai hanya ketakwaannya saja. Berikut penjelasan langsung dalam kitab Nazarat fi Kitabillah:
“Sejatinya laki-laki dan perempuan keduanya merupakan satu jiwa. Separuhnya adalah laki-laki dan separuh lainnya adalah perempuan. Artinya, kehidupan salah satu dari mereka tanpa pasangannya adalah kehidupan yang tidak lengkap, dan Allah Ta’ala ingin memperkaya penduduk bumi dengan kehidupan dan eksistensi. Maka Allah menyebarkan di muka bumi gelombang besar manusia baik laki-laki maupun perempuan yang bermula dari Adam dan Hawa, dengan demikian terjadilah pergerakan makhluk Allah untuk menumbuhkembangkan bumi. (Al-Ghazali, 1998: 287)
Tugas Laki-laki dan Perempuan
Zainab menjelaskan lebih rinci bentuk tugas pokok masing-masing dari laki-laki dan perempuan. Yakni tugas perempuan berada di rumah untuk merawat keluarganya dan anak-anaknya supaya menjadi pemimpin Islam di masa depan. Sedangkan laki-laki bertugas memberikan nafkah dan menjadi pemimpin yang baik dalam keluarga.
Tentunya semua tugas ini akan dimintai pertanggung jawaban untuk keduanya. Tanggung jawab tersebut tidak berkurang karena status gender mereka. Serta tugas pokok keduanya tentu sesuai dengan perintah agama dan tidak melebihi batas kemampuan dari keduanya. Berikut penjelasan langsung dalam kitabnya:
“Baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemanusiaan, maupun dalam prinsip pahala dan hukuman, namun syari’ah telah mengatur dan memberikan pesan untuk laki-laki dan perempuan juga. Pesan laki-laki itu di luar rumah. Karena perempuan itu ditugaskan sesuatu yang lebih penting (urgen), atau setidaknya tidak kalah urgen dari apa yang ditugaskan kepada laki-laki.
Perempuan itu diamanatkan sesuai sabda Nabi: perempuan itu pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan anak-anaknya juga dan bertanggung jawab atas mereka. Dan tanggung jawabnya perempuan yakni membuat laki-laki menjadi mandiri, dengan membesarkannya, merawatnya, menjaganya, dan mengembangkannya sejak kecil hingga dewasa serta siap menghadapi permasalahan kehidupan yang luar biasa” (Al-Ghozali, 1989: 59)
Zainab Al-Ghazali Mengkritik Konsep Kesetaraan Feminisme
Dari penjelasan Zainab dapat dipahami bahwa sejatinya Zainab tidak menerima segala bentuk kesetaraan gender yang diusung oleh kaum feminisme. Baginya Islam sudah memberikan formasi yang pas untuk kehidupan laki-laki maupun Perempuan, dan juga memberikan keadilan yang sudah terkonsep dalam Al-Quran ataupun Hadist.
Inilah bentuk ideal menurut Zainab Al-Ghazali karena Perempuan yang berusaha mendapatkan kesetaraan gender sejatinya ia menyiksa kehidupannya dengan beban ganda yang ia emban yaitu merawat keluarga dan aktif dalam ranah public untuk bekerja.
Adanya kajian ini memberikan pemahaman kepada perempuan bahwa memperjuangkan kesetaraan gender tidak berati memperjuangkan keadilan bagi perempuan karena keadilan tidak selalu penyamarataan. Kehadiran Zainab Al-Ghazali memberikan sumbangsih dalam corak feminisme Islam. Sehingga laki-laki dan perempuan tahu peran ideal yang harus mereka lakukan sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Kesimpulan
Zainab Al-Ghazali adalah tokoh Mufassir pertama yang menulis tafsir Nazarat fi Kitabillah. Ia menjawab isu-isu yang berkembang di Masyarakat terkait usaha Feminisme dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Bagi Zainab kesetaraan gender itu harus merujuk kepada Islam yang sudah memberikan konsep yang jelas dengan memberikan tugas pokok masing-masing laki-laki dan perempuan secara proposional dengan catatan saling menghormati dan menghargai antara laki-laki dan perempuan.
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply