Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin. Kehadirannya membawa perdamaian dan keadilan. Posisinya sebagai agama yang merahmati seluruh alam sekaligus sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya menjadikan Islam istimewa. Tak ada satupun ajarannya kecuali kasih sayang untuk alam semesta raya ini, termasuk laki-laki maupun perempuan.
Saat menelisik kembali sebelum kedatangan Islam, kedudukan perempuan di seluruh dunia dipandang rendah. Perempuan tidak mendapatkan hak apa-apa dan diperlakukan tidak lebih dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tapi juga dapat diwariskan sebagaimana harta benda sehingga bisa saja anak laki-lakinya menikahi ibunya sendiri. Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa bangsa Arab pada masa jahiliah biasa mengubur anak perempuannya.
Kehadiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw membawa perubahan yang cukup mendasar berkaitan dengan harkat dan kedudukan perempuan. Secara perlahan perempuan mendapat tempat yang terhormat, sampai akhirnya berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan terkikis dari akar budayanya.
Perempuan dalam Alquran
Secara normatif Islam memandang sama dan sederajat antara laki-laki dan perempuan. Banyak ayat Alquran yang telah menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama-sama semartabat sebagai manusia, terutama secara spiritual. Begitu pula, banyak hadis yang menunjukkan kesamaan harkat laki-laki dan perempuan.
Dalam pandangan agama Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat. “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadar” (Al-Qamar : 49). Oleh ulama qadar di sini diartikan sebagai “ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi segala sesuatu”, dan itulah kodrat. Dengan demikian laki-laki dan perempuan, sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing.
Namun demikian, Syekh Mahmud Syaltut, Pemimpin tertinggi Al-Azhar pernah mengatakan : “Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan bahwa Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaiana Allah menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemanusiaan”.
Alquran tidak membedakan perempuan dan laki-laki dalam konteks penciptaan dan proses selanjutnya sebagai manusia. Tidak sebagaimana sebagian pandangan kebanyakan orang selama ini (khususnya dalam tradisi Nasrani dan Yahudi) bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki, tapi juga untuk laki-laki. Dalam pandangan Alquran, Allah menciptakan semuanya (laki-laki dan perempuan) adalah “untuk satu tujuan” (Al-Hijr : 85) dan “tidak untuk main-main” (Al-Anbiya’:16). Hal tersebut merupakan salah satu tema utama Alquran.
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Alquran biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, atau kelompok etnis tertentu.
Tak Ada yang Superior
Alquran mengisyaratkan konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan yang ideal dengan memberikan penegasan bahwa prestasi individu, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional tidak mesti dimonopoli oleh satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama untuk berprestasi. Namun dalam realita di masyarakat muslim, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.
Salah satu tujuan Alquran ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Alquran mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Oleh karena itu, Alquran tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, maupun yang berdasarkan jenis kelamin.
Meskipun Alquran menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan, masyarakat muslim pada umumnya tidak menganggap laki-laki dan perempuan setara, terutama dalam konteks perkawinan. Dasar penolakan masyarakat muslim terhadap gagasan kesetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari keyakinan bahwa perempuan lebih rendah dalam asal-usul penciptaan dan dalam kesalehan, serta diciptakan terutama untuk dimanfaatkan oleh laki-laki yang lebih tinggi dari mereka.
Israilliyat Sebagai Faktor Bias
Menurut Nasaruddin Umar, superioritas laki-laki atas perempuan yang meresap dalam tradisi Islam didasarkan pada hadis-hadis israilliyat (penyusupan ide-ide Yahudi dalam muatan hadis) dan juga interpretasi ayat-ayat Alquran. Riwayat Israilliyat ialah cerita-cerita yang bersumber dari agama-agama samawi sebelum Islam, seperti Yahudi dan Nasrani. Cerita-cerita tersebut dimasukkan oleh para mantan pengikut kedua agama itu yang sudah masuk Islam atau mungkin pula melalui upaya penyusupan secara sistematis oleh kalangan penganut agama tersebut. Beberapa kitab tafsir mu’tabar mengintrodusir kisah-kisah Israilliyat, seperti tafsir Thabari, tafsir al-Qurthubi, tafsir Alusi dan sebagainya (1999).
Contoh kisah Israiliyat dalam penafsiran Alquran adalah kisah asal-usul perempuan. Dalam kitab perjanjian lama diceritakan kisah secara umum cenderung dipahami memberikan citra negatif terhadap perempuan, seperti menafsirkan kehadiran perempuan untuk dikesankan bagian dari kebutuhan laki-laki (Al-Baqarah : 20). Perempuan dikesankan sebagai ciptaan kedua dan subordinasi dari laki-laki karena ia diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Al-Baqarah: 21-22). Perempuan ditimpakan kesalahan dalam kisah jatuhnya manusia (Adam dan Hawa) dari surga ke dunia (Ali Imran:12), karenanya perempuan harus lebih banyak menanggung risiko dalam konsep dosa warisan tersebut. Ayat-ayat ini dijelaskan secara panjang lebar dalam Kitab Talmud, suatu kitab yang mengulas ayat-ayat dalam kitab Perjanjian Lama.
Penggunaan kisah-kisah Israiliyat dalam memahami ayat-ayat Alqur’an maupun hadis tidak selamanya negatif. Yahudi dan Nasrani yang kemudian melahirkan kitab Taurat dan Injil adalah berasal dari anak cucu Nabi Ibrahim. Keberadaan kedua agama dan kedua kirab suci itu diakui dalam Al-Qur’an sehingga dipandang sah dan wajar oleh para mufassir. Hanya saja masalahnya adalah sejauh mana keaslian kisah-kisah yang dijadikan rujukan itu. Tapi tidak heran jika kitab-kitab tafsir yang mengintrodusir kisah-kisah Israiliyat ditemukan banyak penafsiran yang memojokkan perempuan.
Pungkasnya bahwa Allah yang berbicara melalui Al-Qur’an bercirikan keadilan dan dinyatakan secara terang bahwa Tuhan tidak akan pernah berbuat zulm (nista, tirani, pemerasan, dan perbuatan yang salah). Oleh karena itu, Al-Qur’an sangat memperhatikan pembebasan manusia, baik laki-laki maupun perempuan dan berbagai macam penindasan dan ketidakadilan.
Leave a Reply