Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kesadaran Moral dalam Keluarga: Analisis QS. At-Tahrim Ayat 6

Moral
Sumber: pinterest.com

Pendahuluan

Al-Qur’an, sebagai petunjuk hidup bagi umat Islam, tidak hanya mengandung dimensi teologis dan ibadah ritual semata, tetapi juga menjadi sumber nilai-nilai etis yang membentuk fondasi kehidupan sosial, budaya, dan keluarga. Di tengah arus modernisasi yang terus menggempur stabilitas nilai dan tatanan moral masyarakat, semakin tampak urgensi untuk menafsirkan ulang pesan-pesan Qur’ani secara kontekstual dan aplikatif.

Keluarga, sebagai unit sosial terkecil, memegang peran strategis dalam proses transmisi nilai dan pembentukan karakter. Sehingga tidak mengherankan apabila Al-Qur’an memberi perhatian besar terhadap pembinaan keluarga yang berlandaskan iman dan takwa.

Salah satu ayat yang merepresentasikan seruan moral dan spiritual yang sangat kuat dalam konteks ini adalah Q.S. At-Tahrim ayat 6. Ayat ini secara eksplisit memerintahkan orang-orang beriman untuk menjaga diri dan keluarga mereka dari api neraka. Suatu perintah yang pada hakikatnya tidak hanya bersifat simbolik-religius, tetapi juga sarat dengan makna transformatif.

Melalui pendekatan Ma‘na Cum Maghza, yang menekankan pentingnya penggalian makna literal, relevansi mendalam, dan pesan kontekstual, ayat ini menghadirkan dimensi moral yang menyasar pada penguatan pendidikan spiritual, penanaman nilai etis, dan pembentukan karakter dalam lingkup keluarga.

Dengan demikian, artikel ini berupaya menggali kedalaman makna Q.S. At-Tahrim ayat 6 dengan lensa hermeneutika aksi. Tujuannya ialah untuk menghadirkan pesan-pesan moral yang terkandung di dalam ayat ini secara segar dan kontekstual dalam kehidupan keumatan dewasa ini. Harapannya, pembacaan ini mampu menjembatani antara teks wahyu dan realitas sosial kontemporer. Sehingga, nilai-nilai Qur’ani tetap hidup, dinamis, dan membumi di tengah tantangan zaman.

Makna Tekstual (Ma‘na): Kewajiban Spiritual dan Tanggung Jawab Sosial

Ayat Q.S. At-Tahrim [66]:6 berbunyi:

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim [66]:6)

Baca Juga  Penghayatan Etis terhadap Konsep Ujian dalam Al-Qur’an 

Secara leksikal, kata kerja (peliharalah) berasal dari akar kata waqā–yaqī–wiqāyah yang berarti melindungi atau menjaga dari sesuatu yang membahayakan (Al-Rāghib al-Aṣfahānī, al-Mufradāt, 2001). Ayat ini menunjukkan bahwa perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari siksa neraka adalah bentuk komitmen spiritual seorang Muslim terhadap keselamatan moral kolektif.

Menurut tafsir klasik, seperti karya al-Ṭabarī dan Ibn Kathīr, tanggung jawab tersebut dimaknai sebagai kewajiban mengajarkan nilai-nilai tauhid, memerintahkan shalat, dan menegakkan amar makruf nahi munkar dalam ruang lingkup keluarga. Al-Ṭabarī menegaskan bahwa kata “keluarga” dalam ayat ini mencakup semua anggota rumah tangga yang berada di bawah tanggung jawab seorang mukmin (al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, Jilid 28).

Dimensi Maghza: Keluarga sebagai Basis Etika dan Pendidikan Karakter

Pendekatan Ma‘na Cum Maghza yang dikembangkan oleh M. Sahiron Syamsudin menawarkan kerangka penafsiran yang tidak hanya fokus pada aspek gramatikal-linguistik. Pendekatan ini juga memerhatikan dimensi filosofis, sosiologis, dan psikologis yang tersirat di balik teks suci (Shihab, 2007). Dalam konteks ini, ayat tersebut dapat dimaknai sebagai ajakan kepada setiap individu beriman untuk membangun ketahanan moral dalam lingkup keluarga.

Keluarga, dalam perspektif Islam, merupakan institusi pendidikan pertama dan utama yang membentuk kepribadian anak (Abuddin Nata, 2010). Maka, menjaga keluarga dari api neraka tidak sebatas menghindari perbuatan dosa. Namun, ia juga membentuk struktur kehidupan keluarga yang berbasis pada nilai-nilai keadilan, kasih sayang, tanggung jawab, dan komitmen terhadap ajaran agama. Nilai-nilai ini harus terwujud dalam pola asuh, komunikasi antar anggota keluarga, serta pembiasaan amal saleh dalam keseharian.

Simbol Neraka dan Malaikat Penjaga: Keseriusan Ancaman dan Makna Transendental

Penyebutan neraka sebagai entitas yang bahan bakarnya terdiri atas manusia dan batu, serta dijaga oleh malaikat yang keras dan tidak membangkang perintah Allah, adalah simbol tegas tentang akibat dari kelalaian terhadap amanah moral dalam keluarga. Bukan untuk menakut-nakuti semata. Deskripsi ini bertujuan untuk menggugah kesadaran spiritual bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab besar yang tidak dapat diabaikan.

Baca Juga  Polemik KB: Telaah Pemikiran Misbah Musthafa dan AA Engineer

Dalam tafsir kontemporer, aspek ini sering kali dipahami sebagai bentuk pengingat bahwa pendidikan moral bukan hanya kewajiban institusional negara atau sekolah, melainkan dimulai dari keluarga sebagai lingkungan terdekat yang paling menentukan (Umar, 1999).

Aplikasi Sosial: Urgensi Pendidikan Keluarga di Era Krisis Moral

Relevansi ayat ini menjadi semakin kuat dalam konteks era modern yang lekat akan degradasi nilai, pergeseran peran orang tua, dan tantangan digital yang menggerus kontrol moral dalam rumah tangga. Oleh karena itu, Q.S. At-Tahrim [66]:6 perlu menjadi basis etika bagi pembangunan pendidikan keluarga yang berakar pada nilai-nilai Qur’ani.

Tindakan konkret dalam membangun ketahanan moral keluarga antara lain:

1)      Membangun komunikasi spiritual antara orang tua dan anak.

2)      Menjadikan rumah sebagai tempat ibadah, belajar, dan berbagi kasih.

3)      Mengedepankan keteladanan dalam bertindak.

4)      Menyediakan waktu untuk pendidikan agama yang konsisten dan aplikatif.

Penutup

Ayat Q.S. At-Tahrim [66]:6 adalah panggilan transenden bagi setiap individu beriman. Tidak hanya untuk menjaga keselamatan diri secara ritual, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral, spiritual, dan etis dalam keluarganya. Dengan menggunakan pendekatan Ma‘na Cum Maghza, ayat ini menyingkap kedalaman pesan yang bersifat transformatif dan kontekstual. Ia tidak hanya relevan untuk kehidupan religius, tetapi juga bagi pembangunan masyarakat yang berakar pada keluarga yang kuat dan sehat secara moral.

Daftar Pustaka

Al-Rāghib al-Aṣfahānī. al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Qalam, 2001.

Al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarīr. Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl Āy al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Ma‘ārif, t.t.

Ibn Kathīr, Ismā‘īl ibn ‘Umar. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Riyadh: Dār Ṭayyibah, 2000.

Nata, Abuddin. Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.

Baca Juga  Tuhan Itu Nyata (2): Sains Itu Terbatas!

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2007.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 1999.

Editor: Dzaki Kusumaning SM