Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kerinduan Eksistensial Kepada Sang Nabi

Kepada Sang Nabi
Sumber: www.freepik.com

Ada rentetan kata yang menjadi gambaran sikap umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW yaitu: memuji, memuja, menghormati, mencinta dan merindu. Pertanyaan yang layak diajukan adalah: Mengapa sikap seperti itu muncul?

Nabi Muhammad SAW kondang dengan akhlak mulianya. Itulah yang paling utama mengapa beliau dipuji, dipuja, dihormati, dicinta, dan dirindu. Selain itu, menyusul hal-hal lain seperti: kepercayaan bahwa beliau makhluk pertama yang tercipta, hingga konsep insan kamil. Kerinduan kepada Sang Nabi bukan semata kerinduan emosional, tetapi lebih utama adalah kerinduan eksistensial.

Mari kita simak yang pertama dan utama, yaitu akhlak Sang Nabi. Di dalam tradisi Islam—terlepas dari benar atau salah—ada kecintaan yang teramat sangat kepada Nabi Muhammad SAW yang bahkan “malampaui” cinta kepada Allah SWT. Kita sering mendengar gelombang protes yang maha dahsyat saat Sang Nabi dihina, tetapi jarang ada gelombang protes yang serupa ketika ada penghinaan kepada Tuhan orang Islam.

Penghinaan kepada Sang Nabi itu sendiri sering terjadi di Barat (Kristen) akibat dua hal: pertama, di dalam alam bawah sadar orang Barat ada kekesalan yang berusia berabad-abad terhadap Sang Nabi akibat perkembangan Islam pernah menggedor kekuasaan besar di Barat. Meskipun kemudian Islam terusir dari Barat, kekesalan itu sudah terlanjur menancap.

Sebab kedua adalah orang Barat tidak memahami bagaimana Sang Nabi begitu dicintai di dalam tradisi Islam karena mereka tidak memiliki tradisi dan juga perasaan serupa. Barat memiliki Tuhan Yesus yang mereka sembah tetapi kecintaan umat Islam kepada Sang Nabi berada pada dimensi berbeda. Contoh sederhana adalah gambar fisik Sang Nabi tabu ditampakkan.

Bahkan dalam beberapa tempat, nama Muhammad pun tidak boleh ditampakkan. Di dalam tradisi Islam, ada anjuran untuk memberi nama Muhammad atau varian nama Muhammad (Thaha, Yasin, dan lain-lain) kepada anak laki-laki dalam sebuah keluarga. Namun sering terjadi beberapa tradisi memberi nama seperti Mehmet di Turki atau Mihammad atau Mahammad di Maroko, bukan Muhammad.

Baca Juga  Mengenal Nabi Muhammad di Dalam Al-Qur'an

Itu dilakukan sebagai penghormatan kepada Sang Nabi karena sesungguhnya hanya Sang Nabi yang berhak bernama Muhammad, sedangkan jika yang lain hendak memakainya, maka harus diubah sedemikian rupa karena jika tidak, itu adalah semacam ketidaksopanan. Gambar Sang Nabi pun harus dilihat dalam kerangka demikian; ketidaksopanan.

Mukjizat Unik Sang Nabi

Mengapa tidak boleh tidak sopan kepada Sang Nabi? Jawabannya karena Sang Nabi adalah makhuk paling sopan di jagat raya. Al-Qur’an memujinya dengan keagungan akhlak dalam QS. Al-Qalam/68: 4. Di sinilah beda antara Nabi Muhammad SAW dengan para nabi lainnya. Ketika mukjzat para nabi adalah untuk menaklukkan, sebagaimana tongkat Nabi Musa AS yang berubah jadi ular dan memakani ular-ular kecil bikinan para tukang sihir, mukjizat Nabi Muhammad SAW adalah mukjizat yang mencerdaskan karena isinya adalah bacaan yang membangun peradaban. Pun dengan akhlak mulia Sang Nabi. Akhlak mulia menaklukkan dengan cara berbeda karena yang ditaklukkan tidak merasa kalah.

Kembali kepada perbedaan dimensi cinta kepada Sang Nabi di dalam tradisi Islam dengan penghormatan tradisi Kristen kepada Tuhan Yesus. Sang Nabi dan Tuhan Yesus sama-sama juru selamat karena Sang Nabi diyakini bisa memberi syafa’at atau penebusan kesalahan. Tuhan Yesus terlalu transenden, sedangkan Sang Nabi sangat imanen. Tuhan Yesus jauh di luar jangkauan karena hidupnya adalah hidup Ketuhanan sehingga tidak mudah manusia untuk mengikutinya. Kalaupun ada, tidak jamak. Sedangkan kehidupan Sang Nabi lebih berada di dalam jangkauan dan bisa dicontoh setiap prilakunya hingga pada hal-hal yang sekecil-kecilnya; bahkan bagaimana Sang Nabi di kamar kecil.

Kehidupan Sang Nabi ibarat kartu yang sudah terpampang, tidak ada lagi rahasia. Dan hidupnya Sang Nabi adalah hidup manusia kebanyakan; seperti beristri, memiliki anak dan kehilangan anak, bercanda, bersedih, mengunjungi pasar, mengaku salah, terluka akibat perang, kelaparan, berbagi tunggangan dengan pembantunya, dicemburui dan mencemburui istrinya, berbeda pendapat dengan sahabat, tertawa lepas, menambal sendiri bajunya yang koyak, menyambung sendalnya yang putus, mengalami sakit, dan seterusnya.

Baca Juga  Ali Al-Shabuni: Pakar Tafsir dalam Bidang Hukum Islam

Sang Nabi yang Manusiawi

Semua yang disebutkan di atas itulah yang menimbulkan cinta, yaitu karena hampir-hampir tidak ada jarak antara Sang Nabi dengan umatnya. Bukankah cinta mudah hadir karena banyaknya persamaan dan kedekatan jarak daripada rumitnya perbedaan dan jauhnya strata?

Setiap Muslim bisa mengidentifikasi diri sebagai mengikuti Sang Nabi dengan cara mereka masing-masing. Ada yang mengikutinya secara fisik seperti cara berpakaian, cara berjenggot, dan lain-lain. Ada juga yang mengikuti Sang Nabi secara non fisik seperti sifat-sifatnya, perlakuannya kepada orang lain, dan seterusnya. Hal yang sama tentu saja tidak jamak dalam tradisi Barat dengan Tuhan Yesus-nya.

Itulah yang tidak dipahami oleh tradisi Barat sehingga berulang kali melakukan perbuatan yang menyakiti perasaan umat Islam. Itu pula yang menjelaskan mengapa ada jutaan bait syair pujian yang pernah diciptakan dan akan terus lahir untuk memuji, memuja, mencinta, menumpahkan kerinduan kepada Sang Nabi.

Pemujaan terhadap Sang Nabi disebabkan juga oleh hal lain yaitu keyakinan bahwa Sang Nabi lah makhluk pertama yang tercipta di alam raya. Ini adalah konsep yang rumit, tetapi sederhananya begini. Allah SWT adalah Pencipta dan alam raya ini adalah ciptaan-Nya. Allah SWT tidak menciptakan alam raya tanpa tujuan dan tujuannya adalah untuk manusia. Ibarat seorang petani jeruk, maka yang terbayang-bayang di benak seorang petani jeruk adalah buah-buah jeruk, bukan pohon jeruk, bukan pupuk, bukan tanah yang subur, atau bukan alat bajak dan kerbau bajaknya.

Alam raya ini ibarat pohon jeruk, pupuk, tanah yang subur, atau alat bajak dan kerbau bajaknya, sedangkan manusia ibarat buah jeruknya. Jika Allah SWT diumpamakan petani jeruk tadi, maka yang “terbayang-bayang” bagi Allah SWT hanyalah manusia, sedangkan alam raya ini hanyalah perantara bagi terwujudnya manusia/jeruk. Dan di antara seluruh manusia, yang paling utama yang menjadi tujuan utama penciptaan alam raya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Karena itu, bisa dikatakan bahwa yang “terbayang-bayang” sejak awal oleh Allah SWT dalam menciptakan alam raya ini adalah Nabi Muhammad SAW, bukan yang lainnya.

Baca Juga  Teladan Moderasi dari Nabi Muhammad

Konsep di atas kemudian melahirkan sebuah konsep lain yaitu Insan Kamil, atau manusia paripurna. Sang Nabi lah manusia paripurna itu. Kita semua hanya berupaya menjadi tiruan buram dari Insan Kamil dan tidak mungkin menjadi Insan Kamil itu sendiri. Dalam peniruan itulah kita mengikuti Nabi Muhammad SAW dari segala aspek kehidupannya semampu kita.

Ketika Sang Nabi digambarkan di dalam Al-Qur’an sebagai rahmah bagi seluruh alam raya (QS. Al-Anbiya/21: 107), maka rahmah di situ bukan hanya bisa dimaknai sebagai Sang Nabi menyayangi seluruh alam raya, tetapi juga bahwa keberadaan alam raya bergantung kepada rahmah Sang Nabi. Tanpa rahmah Sang Nabi, alam raya ini tidak pernah ada. Dengan demikian, bukankah wajar jika umat Islam merindukan Sang Nabi?

Editor: Ananul Nahari