Kepemimpinan dan negara merupakan bagian integral dari agama Islam. Nabi Muhammad saw adalah role model pemimpin masyarakat Madinah dengan sebuah tatanan sosial tertentu. Peran tersebut merupakan salah satu unsur dari fungsi kenabian.
Ibnu Taymiyah menjelaskan dalam Siyasah asy-Syar’iyah, ada dua jalan yang buruk; yaitu agama tanpa mementingkan kekuasaan, dan jalan kekuasaan (termasuk kekayaan) tanpa agama. Hal tersebut dapat dilihat dari surah al-Fatihah, ada jalan maghdhub dan yang dhalin. Pada umumnya, tafsir yang popular seperti al-Jalalain, al-Qur’thubi, dan Ibnu Katsir menafsirkan al-maghdhub sebagai orang yang dimurkai dan al-dhalin artinya sesat. Jalan orang-orang yang dimurkai (al-maghdhub) adalah Nasrani dan jalan orang-orang sesat (al-dhalin) ialah Yahudi.
Kepemimpinan Agama
Kaitannya dari penjelasan Ibnu Taymiyah, agama Nasrani dan Yahudi memisahkan kekuasaan dan agama. Nasrani dapat membentuk religion community namun bukan kepemimpinan negara, doktrin yang sampai kepada mereka adalah “Berikan hak kaisar kepada kaisar, dan berikanlah hak paus kepada paus”. Kaisar merupakan representasi kepemimpinan negara dan paus merupakan kepemimpinan agama.
Di sisi lain, Yahudi sukses membangun pemerintahan negara yang mendunia, yang telah mensyiarkan oknum atau unsur Yahudi menguasai panggung politik, ruang ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.
Kitab al-Fataawa al-Kubra telah mendokumentasi pemikiran Ibnu Taymiyah yang begitu reivalis dalam hal kepemimpinan kenegaraan. Berperang melawan Dinasti Mongol ketika itu adalah wajib sebagaimana dijelaskan Al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Fatwa ini dikeluarkan dalam kondisi ketika kaum muslimin ditindas oleh Dinasti Mongol. Selanjutnya Ibnu Taymiyah menjelaskan pemerintah yang tidak menegakkan syariat Islam, meskipun dia seorang muslim, maka boleh untuk diberontak.
Ibnu Taymiyah menyebutkan ada satu jalan yang harus diambil kaum muslimin di luar al-maghdhub dan al-dhalin, yaitu ash-shirathal al-mustaqim. Jika di atas tadi Nasrani membentuk hegemoni agama tanpa nation state dan Yahudi menguasai kepemimpinan negara tanpa agama, maka umat Islam harus mengambil keseluruhan alias tidak sekuler.
Ibnu Taymiyah merupakan salah satu tokoh pemikir politik islam pada zaman klasik yang mempunyai pendirian yang keras dan teguh berpijak pada ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh Allah. Sehingga dalam konteks ini Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa menegakkan negara sebagai tugas suci yang dituntut agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Kendati demikian, ia pernah mengatakan “enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim itu masih lebih baik ketimbang semalam tanpa kepemimipinan”. Pernyataan seperti ini sebenarnya bermakna bahwa Ibnu Taymiyah menganggap urgensi keberadaan lembaga pemerintahan.
Bagi Ibnu Taymiyah, seandainya dibedakan antara seorang pemimpin dan syarat-syarat yang harus dimilikinya, maka eksistensi lembaga pemerintahan adalah yang paling utama. Apalagi bila kekosongan lembaga pemerintahan tersebut diambil-alih oleh bangsa dari luar yang mengabaikan prinsip-prinsip syari’at. Karenanya, lebih baik hidup di bawah kepemimpinan seorang yang zalim ketimbang tidak ada kepemimpinan sama sekali.
Soal sekularisasi, pernyataan Nurcholish Madjid paling kontroversi adalah “Islam Yes; Partai Islam, No” yang menyebabkan polemik berlarut-larut hingga saat ini. Partai Islam bukanlah hal yang esensial lagi dan sama sekali tidak berhubungan dengan esensi keislaman. Itulah makna “sekularisasi”, yaitu mengembalikan mana yang sakral, sebagai sakral, dan yang profan, sebagai profan. Politik Islam dengan cita-cita mendirikan negara Islam yang tadinya dianggap “sakral”, yaitu merupakan bagian dari perjuangan Islam, sekarang didesakralisasi.
Kamal Hasan dalam buku Muslim Intellectual Responsses to “New Orde” Modernization in Indonesia (1982), menilai bahwa persoalan faktual di balik perdebatan modernisasi sebelum tahun 1970-an bukanlah masalah-masalah substantif dan pragmatis yang menyangkut proses modernisasi itu. Namun lebih pada soal orientasi ideologis dari kaum elite modern Islam.
Artinya, berbicara mengenai perjuangan memperoleh hegemoni religio-politik, yang waktu itu elite Islam di Indonesia dalam masa kebingungan politik karena kurang dilibatkan dalam pemerintahan. Pada keadaan inilah partai Islam tidak berfungsi dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam dan orientasi yang masih kaku soal “negara Islam”.
Meskipun kepemimpinan dan negara adalah bagian dari ajaran Islam yang begitu komperhensif, simbol keislaman bukanlah harga mati dalam sebuah hegemoni kenegaraan. Soal pemimpin yang tidak menegakkan syariat Islam, Allah swt berfirman dalam surah al-Ma’idah: 44; wa mal lam yahkum bima anzalallahu fa ula ika humul-kafirun –Barang siapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir—kalimat man berarti perseorangan atau siapapun, bukan lembaga pemerintahan.
Kepemimpinan di suatu negara yang mampu melahirkan (output) kesejahterahan tanpa pandang golongan, mencapai visi baldatun toyyibatun wa robbun ghofur, artinya telah menyandang golongan al-imam al-adl yang berittiba’ kepada kepemimpinan Nabi Muhammad saw.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.