Secara harfiah, penyebutan bulan Ramadan berakar dari kata “al-ramadh”. Ibn Duraid (w. 321 H) dalam kitabnya, Jamharah al Lughah, menjelaskan bahwa kata al-ramadh menunjukkan kondisi panas yang menyengat. Dari akar kata ini, bulan Ramadan kemudian memiliki penamaan yang variatif. Ada yang menyebutnya sebagai bulan ampunan, bulan Al-Qur’an, dan sebagainya. Namun, saya tertarik untuk mengupas penyebutan bulan ini sebagai bulan kemenangan sembari mengaitkannya dengan Al-Qur’an.
Diksi ‘Kemenangan’ di Dalam Al-Qur’an
Dalam bahasa Arab, kata ‘kemenangan’ memiliki banyak penyebutan. Ada fawz, falah, taqaddum, tafawwuq, ghalab, dan sebagainya. Namun, saya hanya menemukan tiga diksi yang menunjukkan arti ‘kemenangan’ di Al-Qur’an, yaitu fawz, falah, dan ghalab.
Dalam Al-Qur’an, kata fawz memiliki empat variasi. Variasi pertama berbentuk fi’il madhi (predikat lampau), yaitu faza yang bermakna ‘telah menang’. Al-Qur’an menyebutkan kata faza sebanyak dua kali, yaitu pada QS Ali Imran [3]: 185 dan QS Al-Ahzab [33]: 71. Variasi kedua berwujud masdar (kata benda), yaitu fawzan yang bermakna ‘kemenangan’. Kita dapat menemukan variasi ini pada tiga ayat, yaitu QS salah satunya adalah QS Al-Fath [48]: 5.
Variasi berbentuk isim fa’il merupakan variasi paling banyak dari kata fawz di dalam Al-Qur’an. Kita dapat menemukan variasi yang bermakna ‘pemenang’ ini pada empat ayat. Di antaranya adalah QS Al-Nur [24]: 52 dan Al-Hasyr [59]: 20.
Dan variasi terakhir adalah diksi fawz dalam bentuk mashdar miim. Pada variasi ini, diksi fawz dapat berwujud mudzakkar (mafaz) ataupun muannats (mafazatun). Kedua wujud ini sama-sama bermakna ‘kemenangan’. QS Ali Imran [3]: 188 dan Al-Zumar [39]: 61 adalah dua ayat yang menggunakan diksi mafazah. Sedangkan QS Al-Naba [78]: 31 adalah satu-satunya ayat yang menggunakan diksi mafaz.
***
Diksi selanjutnya yang menunjukkan makna ‘kemenangan’ adalah falah. Di dalam Al-Qur’an, terdapat empat variasi dari kata falah. Yang pertama adalah aflaha yang bermakna ‘telah memenangkan’ dan merupakan kata kerja transitif (membutuhkan objek). Kita dapat menemukan kata aflaha pada empat ayat, dua di antaranya adalah QS Al-Mu’minun [23]: 1 dan QS Al-A’la [87]: 14.
Variasi kedua dan ketiga sama-sama berwujud fi’il mudhari’, yaitu yuflihu dan tuflihu. Variasi yuflihu menunjukkan subjek maskulin, sedangkan variasi tuflihu menunjukkan subjek feminim, di mana keduanya bermakna ‘sedang dan atau akan memenangkan’. Kata kerja yuflihu berada pada 11 ayat yang berbeda, di antaranya adalah QS Al-An’am [6]: 21. Sedangkan kata kerja tuflihu berada pada 12 ayat yang berbeda, salah satunya adalah QS Al-Baqarah [2]: 189.
Variasi terakhir adalah muflih yang merupakan isim fa’il (subjek) yang bermakna ‘orang yang memenangkan’ atau ‘orang yang beruntung’. Variasi ini adalah variasi terbanyak dari diksi falah, yaitu terdapat pada 13 ayat yang berbeda. Di antaranya adalah QS Al-Baqarah [2]: 5 dan Ali Imran [3]: 104.
Dan diksi terakhir yang menunjukkan makna ‘kemenangan’ di dalam Al-Qur’an adalah ghalab. Al-Qur’an mencantumkan dua variasi dari diksi ini. Variasi pertama bermakna “telah menang” karena menggunakan fi’il madhi. Variasi ini berulang sebanyak 14 kali ayat. Dua di antaranya adalah QS Al-Baqarah [2]: 249 dengan bentuk aktif (ghalaba) dan Al-Rum [30]: 2 dengan bentuk pasif (ghuliba).
Variasi kedua dari diksi ghalab menggunakan bentuk isim fa’il yang menunjukkan makna ‘pemenang’ atau ‘penakluk’. Kata ini beredar pada 13 ayat yang bervariasi. Di antaranya adalah QS Al-Maidah [5]: 23, Al-A’raf [7]: 113, dan Al-Anfal [8]: 48.
Tadabbur Lafal ‘Kemenangan’ pada Al-Qur’an
Dari ayat-ayat di atas, saya menyimpulkan bahwa umat Islam dapat meraih kemenangan sejati dengan beberapa cara. Cara tersebut terbagi menjadi dua jenis, yaitu vertikal dan horizontal. Cara-cara vertikal ialah suatu cara untuk meraih kemenangan yang berkaitan dengan hubungan vertikal manusia kepada Allah ta’ala. Beberapa di antaranya ialah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menjaga salat, berpedoman kepada Al-Qur’an, dan sebagainya.
Cara kedua ialah meraih kemenangan dengan hubungan horizontal kepada sesama manusia. Realisasi dari cara ini dapat berwujud hal-hal yang berkaitan dengan internal diri maupun eksternal. Realisasi kepada internal manusia ialah dengan bersabar, berhijrah kepada kebaikan, menyucikan diri dosa dan maksiat, memiliki rasa takut kepada Allah, serta cara lainnya.
Adapun realisasi kepada sisi eksternal manusia berwujud segala kebaikan sosial. Beberapa di antaranya adalah menunaikan zakat, menjaga kemaluan dan pandangan, memelihara amanah dan janji, amar ma’ruf nahi munkar, dan cara-cara lainnya.
Berbagai cara tersebut pada akhirnya berujung pada sebuah kemenangan asasi, yaitu mendapat rida Allah ta’ala. Rida ini yang di kemudian hari mengantarkan manusia pada kemenangan di hari kiamat kelak, yaitu kekal di surga dan terbebas dari neraka. Setidaknya, terdapat ayat-ayat yang membuktikan hal tersebut. Di antaranya adalah QS Ali Imran [3]: 185, Al-Mukminun [23]: 11, dan Al-Hasyr [59]: 20.
***
Dari pemaparan di atas, saya menyimpulkan bahwa cara-cara tersebut dapat menepis dua persepsi negatif yang terlontar bagi umat Islam. Pertama, adanya anggapan bahwa agama Islam hanya mengajarkan bersifat ritualistik yang mencakup hubungan vertikal manusia kepada Tuhan. Keberadaan konsep zakat dan amar ma’ruf nahi munkar saja dapat membuktikan kepedulian umat Islam kepada sesama manusia.
Cara-cara tadi juga membantah persepsi bahwa kemenangan manusia hanya bersifat materiil. Konsep pendermaan harta dan menjaga pandangan serta kemaluan memang menciptakan kebahagiaan materiil. Namun, kebahagiaan tadi juga dapat berwujud pada hal non-materiil, yaitu rida dari Allah, hati nan bersih, dan lainnya.
Kemenangan dan Ramadan
Lantas, apa hubungan semua ini dengan Ramadan sebagai bulan kemenangan? Sederhananya, bulan ini telah mengakomodasi segenap cara yang sebelumnya saya sebutkan. Cara-cara tersebut sejatinya mengantarkan manusia meraih tujuan asasi dari puasa, yaitu menaklukkan diri manusia secara lahir dan batin dari segala hal buruk. Hal-hal buruk inilah yang akhirnya merendahkan derajat manusia hingga menyamai derajat setan.
Menukil penjelasan dari kitab Risalah fi al-Shiyam karya Abdullah bin Husain al-Masyhur, pada dasarnya manusia berada pada derajat di antara malaikat dan setan. Derajat malaikat di atas karena mereka yang tak pernah bermaksiat, sedangkan derajat setan berada di bawah karena gemar membangkang pada Tuhan.
Tatkala manusia melakukan segala amal baik pada bulan Ramadan, maka derajat manusia menjadi setara bahkan lebih tinggi dari malaikat. Sebabnya, manusia telah menaklukkan hawa nafsunya dan berhasil mempertahankan amal baiknya.
Bulan Ramadan menghendaki manusia untuk menjaga nafsu dan syahwat dari segala yang membatalkan puasa. Namun dalam waktu yang sama, umat Islam senantiasa mengerjakan segenap kebajikan sebagai bentuk kesungguhannya dalam meraih kemenangan hakiki di hidupnya, yaitu meraih rida Allah ta’ala.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.