Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kekuasaan yang Adil, Nyata atau Retorika?

Keadilan
Sumber: istockphoto.com

Prinsip persamaan artinya semua kelompok manusia pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama tanpa harus menghilangkan realita sosial. Dalam filsafat Islam, bentuk negara dan pemerintahan itu tidak mutlak. Kemutlakan justru terletak pada moralitas kemanusiaan yang menjadi basis penyelenggaraan kekuasaan negara, di mana musyawarah, keadilan, persamaan, dan kebebasan berpikir menjadi tiang kekuasaan pemerintahan dan negara (Asy’arie: 2017). Pada kenyataannya sistem penyelenggaraan pemerintahan ditentukan oleh moralitas para pemimpin pemerintahannya di berbagai cabang kekuasaan.

Makna Adil dari Para Ahli Filsuf

Filsuf klasik, Aristoteles, menguraikan makna keadilan dalam beberapa magnum opus-nya yaitu Rhetoric, Politics, dan Nicomachean Ethics. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menempatkan keadilan sebagai keutamaan penting dalam politik. Keadilan menjadi penting karena menuntut kewajiban dan tanggung jawab terhadap yang lain dan menuntut untuk memberikan manfaat bagi pihak lain. Kemudian dalam Rhetoric, Aristoteles menganggap bahwa hukum akan selalu merujuk dan mengabdi pada keadilan (Rusell: 2007).

Bagi Aristoteles bertindak adil berarti melakukan sesuatu demi kebaikan tanpa syarat apapun. Tindakan disebut baik karena memang tindakan atau perbuatan tersebut dalam dirinya sendiri mengandung unsur-unsur kebaikan. Maka orang yang adil adalah orang yang bertindak sesuai dengan hukum yang adil yang dibentuk secara tepat. Dalam konteks kebijakan publik, keadilan sebagai norma moral mendapatkan wujud konkretnya dalam bentuk hukum, sehingga rakyat bisa menilainya sebagai hukum yang baik atau tidak, keputusan yang adil atau tidak (Ujan: 2013).

Menurut kajian filsafat, keadilan terpenuhi apabila tidak ada yang dirugikan dan perlakuan yang sama kepada setiap manusia terhadap segala macam yang telah menjadi haknya. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia. Tanpa hukum, kehidupan manusia akan buas dan liar, yang kuat dia yang berkuasa (Mertokusumo: 2007). Padahal tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya. Hukum sangat erat kaitannya dengan keadilan, bahkan ada yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan.

Baca Juga  Salik: Menempuh Jalan Ruhani dengan Ilmu

Pernyataan di atas bertautan dengan anggapan bahwa hukum merupakan bagian dari usaha manusia dalam menciptakan eksistensi di dunia. Hukum itu melayani tujuan negara dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban, syarat utama dalam mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan. Keadilan selalu mengandung suatu anasir, penghargaan, penilaian, atau pertimbangan, oleh karenanya keadilan kerap dilambangkan dengan neraca.

Prinsip Keadilan dalam Islam

Islam adalah ajaran hidup yang sangat sempurna dalam memberikan jaminan keadilan. Keadilan adalah antitesa dari kezaliman dan kesewenang-wenangan (Muthahhari: 1988). Keadilan adalah tujuan dari segala maksud dalam pemerintahan Islam. Dalam nomokrasi Islam, kekuasaan adalah amanah dan setiap amanah wajib disampaikan kepada mereka yang berhak menerimanya, maka kekuasaan wajib disampaikan kepada mereka yang berhak untuk menerimanya. Penyampaian amanah dalam konteks kekuasaan mengandung implikasi bahwa ada larangan bagi pemegang amanah untuk melakukan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.

Apabila kekuasaan dihubungkan dengan keadilan, mengimplementasikan kekuasaan negara melalui satu pemerintahan yang adil merupakan kewajiban bagi penguasa. Dalam hal nomokrasi Islam, antara kekuasaan dalam pengertian luas (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) dengan keadilan merupakan dua sisi yang tak bisa dipisahkan. Menjalankan kekuasaan harus dilandaskan atas keadilan, karena prinsip keadilan dalam Islam menempati posisi yang begitu dekat dengan ketakwaan.

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, sesungguh Allah Maha Mengetahui dengan apa yang kamu kerjakan” (terjemahan QS. an-Nisa’ ayat 135).

Prinsip keadilan jika dikaitkan dengan nomokrasi Islam, harus dilihat dari fungsi kekuasaan negara. Fungsi itu mencakup tiga kewajiban pokok bagi penyelenggara negara, yang pertama, kewajiban menerapkan kekuasaan negara dengan adil, jujur, dan bijaksana kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali. Semua rakyat harus memperoleh haknya dengan adil tanpa diskriminasi. Kedua, kewajiban menerapkan dan menegakan fungsi kekuasaan kehakiman dengan adil. Ketiga, kewajiban penyelenggaraan negara untuk mewujudkan tujuan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera di bawah naungan ridha Allah (Azhary: 2010).

Baca Juga  Dibalik Kata Dhalal dalam Al-Qur’an: Analisis Semantik Toshihiko Izutsu

Keadilan dalam Islam adalah ketentuan wajib dan elan vital kehidupan sosial dan kemanusiaan. Dalam Islam, keadilan ditegakan atas seluruh warga negara tanpa melihat status, baik itu Muslim ataupun bukan. Ia adalah ketentuan mutlak yang ditetapkan Allah terhadap seluruh umat manusia tanpa pengecualian,

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Ia memberi pengajaran kepadamu supaya kamu dapat mengambil pelajaran” (terjemahan QS. an-Nahl ayat 90).

Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk berlaku adil dalam segala hal, sekalipun merugikan dirinya sendiri. Al-Qur’an menyebut kata adil dalam berbagai macam terma. Pertama disebut kata al-‘adl sebanyak 28 kali. Kemudian disebut kata al-qisth sebanyak 27 kali, dan kata al-mizan disebut sebanyak 23 kali (Marzuki: 2010). Madjid Khadduri mengklasifikasikan keadilan ke dalam beberapa subbagian, yaitu keadilan legal, keadilan sosial, keadilan politik, keadilan teologis, keadilan filosofis, keadilan etis, dan keadilan diantara bangsa-bangsa. Dalam menjelaskan konsep pemikirannya, Khadduri menukil dalil al-Qur’an yang menjadi rujukan Ibnu Taimiyah menulis kitab as-Siyasah as-Syar’iyyah fi Islahi al-Rai’ wa al-Rai’yyah yaitu QS. an-Nisa’ ayat 58-59 (Dery: 2002).

Syariat Berkelindan dengan Agama

Syariat adalah jalan yang membimbing orang-orang untuk melakukan kebaikan dan menghindari keburukan, khususnya dampak kehadiran syariat untuk melindungi kepentingan umum (maslahah). Jadi kemaslahatan akan dapat terwujud jika syariat secara konsekuen benar-benar dilaksanakan. Terpenuhinya kemaslahatan atau kepentingan orang banyak merupakan implementasi dari keadilan substantif.

Sumber-sumber teks agama tidak merinci penjelasan terkait tata cara pemenuhan urusan publik, inilah yang menjadi tugas para ulama untuk memberikan jawaban komprehensif. Ibnu Hazm menyatakan bahwa kehidupan di bumi bukan sekadar untuk bersenang-senang dan bahagia, akan tetapi kerja keras dan penderitaanlah yang akan dialami seorang Mukmin dalam menjalani rangkaian kehidupan sebagai langkah persiapan untuk memasuki kehidupan abadi di akhirat (Saputra: 2012).

Baca Juga  Benarkah Islam Bertentangan Dengan Komunisme?

Apabila keadilan substantif bisa terpenuhi, elemen berikutnya yang akan terwujud adalah keadilan prosedural. Elemen ini sering disebut keadilan formal yang termanifestasikan dalam wujud regulasi dan netralitas penerapan syariat. Tanpa elemen ini, keadilan hanya sebatas wacana akademik di ruang perkuliahan dan sumber referensi di rak-rak buku perpustakaan. Individu akan memperoleh rasa kepuasan apabila hukum diterapkan dengan adil dan holistik.

Baginda Nabi Muhammad SAW menegaskan adanya persamaan mutlak (al-musawah al-muthlaq) dihadapan syariat tanpa membedakan status sosial, jabatan yang diemban, warna kulit, bangsa, atau agamanya (Amin: 2014). Namun konsep persamaan dalam keadilan tidak lantas menutup peluang adanya pengakuan terkait kelebihan dan prestasi yang dimiliki masing-masing individu, karena kelebihan itu sama sekali tidak membuat perlakuan hukum yang berbeda terhadap pelakunya.

Sejatinya harkat dan martabat manusia adalah anugerah dari Allah. Tidak ada kekuatan atau kekuasaan yang dapat merampasnya dengan sewenang-wenang. Oleh karena itu, keadilan dalam hukum mau tak mau menuntut adanya keseimbangan terhadap pelanggaran hukum. Perlu dipahami bahwa keadilan hukum dalam Islam tidak menyamakan hukuman di antara orang kuat dengan orang lemah.

Para fukaha telah bersepakat bahwa para penguasa dan pemimpin tertinggi negara tetap bisa dijatuhi hukuman seperti kebanyakan orang. Jadi sama sekali tidak ada perlakuan yang berbeda dan istimewa terhadap orang-orang yang menjadi pemimpin dengan rakyat jelata. Kedudukan sebagai pejabat atau penguasa, tidak serta merta membuat dirinya terbebas dari jerat hukum (impunitas) jika memang terbukti bersalah.

Editor: An-Najmi Fikri R