Surah Al-Mulk, sebuah surah Makkiyah yang menempati posisi ke-67 dalam mushaf Utsmânî, memiliki makna yang dalam dan keutamaan yang besar dalam tradisi Islam. Terdiri dari 30 ayat dengan 335 kata dan 1313 huruf, surah ini tidak hanya penting dalam pembelajaran Al-Qur’an, tetapi juga dikenal sebagai pelindung dari siksa kubur bagi para pembacanya. Surah ini juga dikenal dengan sebutan seperti Tabârak, al-Wâqiyah, dan al-Munjiyah, serta mengandung pesan spiritual dan edukatif yang mengajak manusia merenungkan hakikat kehidupan dan kematian sebagai ujian dari Allah SWT.
Salah satu ayat utama dalam Surah Al-Mulk adalah ayat kedua yang menegaskan bahwa Allah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara manusia yang paling baik amalnya. Ayat ini tidak hanya menjelaskan makna kehidupan dan kematian secara kosmologis, tetapi juga menyoroti aspek moral dan spiritual dalam menjalani ujian hidup. Refleksi dari ayat ini sangat relevan untuk pembelajaran nilai-nilai hikmah dan pembentukan karakter, khususnya dalam konteks pendidikan dan pengembangan keimanan.
Dalam kajian ini, penafsiran ayat kedua Surah Al-Mulk akan dibahas secara mendalam berdasarkan pendapat mufasir klasik dan kontemporer seperti Al-Qurtubi, Al-Tustari, dan M. Quraish Shihab. Pemahaman mereka memberikan wawasan filosofis, teologis, dan praktis mengenai tujuan penciptaan kehidupan dan kematian serta peran ujian dalam membentuk manusia yang beriman dan beramal saleh.
Fadhillah Surah Al-Mulk
Surah al-Mulk adalah surah ke-67 dalam urutan mushaf Utsmânî. Surah ini termasuk surah Makkiyah dan terdiri dari 30 ayat. Menurut Ibnu ‘Abbâs, surah ini memiliki 335 kata dan 1313 huruf. Berbagai riwayat menyebutkan bahwa surah al-Mulk merupakan surah ke-78 yang diturunkan oleh Allah Swt, turun setelah surah al-Mu’minûn dan sebelum surah al-Hâqqah. Nama lain dari surah ini adalah surah Tabârak yang berarti Maha Suci. Imam Zamakhsyârî dalam tafsir al-Kasysyâf menjelaskan bahwa surah ini juga dikenal dengan nama al-Wâqiyah (yang memelihara) dan al-Munjiyah (yang menyelamatkan), karena surah ini dipercaya mampu menjaga dan menyelamatkan pembacanya dari siksa kubur jika dibaca dengan penuh khusyuk dan tawadhu’. Dalam tafsir al-Munîr karya Syekh Wahbah al-Zuhaili, surah ini juga disebut al-Mujâdilah, karena berperan sebagai pembela pembacanya dari azab kubur.(al-Zuhaili 1991, 5) Dalam riwayat lain, surah ini juga dikenal dengan nama Tabârak al-Mulk.(Yusuf 2023, 19–20)
Kaitan dengan Surah Sebelumnya
Surah ini terkait dengan surah sebelumnya, yang di ayat terakhirnya memberikan perumpamaan dua istri nabi yang kafir (istri Nabi Nuh dan Nabi Luth) meski suaminya beriman. Sebaliknya, ada yang menyebutkan juga dua wanita saleh (Asiyah istri Firaun dan Maryam ibu Nabi Isa) yang tetap beriman di tengah kaum kafir. Keutamaan Surah Al-Mulk juga terdapat dalam sebuah hadis dalam Tafsir Ibnu Katsir.(Al-Badri 1994, 11) Suatu ketika, seorang sahabat Nabi tanpa sadar mendirikan tenda di atas kuburan. Saat seseorang terkubur di situ, para sahabat membaca surah al-Mulk lengkap di dalam tenda itu. Sahabat tersebut kemudian melaporkan hal ini kepada Nabi Muhammad Saw, yang menjawab bahwa surah al-Mulk bisa melindungi dari siksa kubur. Al-Tirmidzi menyebut hadis ini sebagai hadis gharib, artinya memiliki jalur periwayatan yang jarang.(Abul Fidâ‟ „Imaduddîn Ismâ‟îl Ibnu Umar Ibnu Katsîr al-Qurasyî al-Bushrawî (Ibnu dan Katsîr) 2015, 251)
Riwayat Ibnu Mas’ud
Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abdi al-Karîm, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaidillah Abû Tsâbit al Madînî, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Hâzim, dari Suhail Ibnu Abî Shâlih dari Arfajah Ibnu Abdul Wâhid, dari Ashim Ibn Abî al-Nujûd, dari Zarr, dari Abdullah ibnu Mas‟ûd ra, ia berkata, “Barangsiapa membaca تَبٰرَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُۖ (surah al-Mulk) Setiap malam, orang yang membaca surah tersebut akan Allah jaga dari siksa kubur. Rasulullah saw., menyebut surah itu dengan nama al-Mâni’ah, yang berarti penghalang dari siksa kubur. Surah ini termasuk dalam Kitâbullâh. Barangsiapa membacanya setiap malam, ia akan mendapatkan pahala yang berlimpah dan melakukan perbuatan baik. (HR. al-Nasâ‟î di dalam al-Kabîr 6/179 dan al-Hâkim. Al-Hâkim mengatakan bahwa sanad tersebut adalah shahîh).(Abdul Mu‟min ibn Khalaf al-Dimyâtî 2003, 590)
Hikmah Dalam Al-Qur’an Surah Al-Mulk Ayat 2
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْر
Artinya: Yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dia maha perkasa lagi maha pengampun.
Dalam ayat kedua Surah Al-Mulk, Allah menegaskan bahwa kehidupan dan kematian adalah bentuk ujian untuk mengetahui siapa di antara manusia yang paling baik amalnya. Ini menunjukkan bahwa kualitas amal sangat penting, yaitu amal niat yang tulus dan sesuai dengan ajaran agama. Ayat ini menekankan bahwa ujian hidup harus dipandang sebagai kesempatan untuk belajar yang dapat membentuk keteguhan hati, semangat juang, dan keikhlasan, yang semuanya sangat relevan dalam proses pendidikan.
Konsep pendidikan berdasarkan nilai-nilai hikmah dalam ayat ini tercermin dalam usaha membimbing peserta didik agar sadar akan tanggung jawab moral, spiritual, dan sosial mereka. Melalui refleksi, penerapan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari, serta pembentukan karakter yang kuat. Pendekatan ini mendorong siswa untuk selalu berpikir positif, tidak mudah menyerah menghadapi tantangan hidup, dan terus bergantung pada pertolongan Allah dalam setiap usaha dan hasil yang ia peroleh.
Ujian yang diberikan Allah bertujuan untuk memilih siapa yang paling taat dan memiliki kualitas dalam ketaatan. Mereka yang selalu berpegang pada Allah akan lebih mudah memohon perlindungan, pertolongan, dan keselamatan saat menghadapi kesulitan. Sebaliknya, mereka yang menjauh dari ketaatan akan semakin jauh dari petunjuk Allah dan berpotensi tersesat, termasuk mencari bantuan dari pihak selain Allah yang tidak berkuasa untuk menolong.(Ya’cub 2020, 115–32)
Penafsiran Mufassir Klasik dan Kontemporer Dalam Surah Al-Mulk Ayat 2
Dalam menafsirkan ayat kedua dari Surah Al-Mulk, sebagian besar para mufasir membaginya menjadi tiga bagian utama. Penafsiran serupa juga digunakan oleh mufasir yang disebutkan berikut. Bagian pertama mencakup frasa alladzi khalaqa al-mawta wa al-hayata, bagian kedua adalah liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan, dan bagian ketiga berbunyi wa huwa al-‘aziz al-ghafur.
Al-Qurtubi
Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwa dalam potongan ayat alladzi khalaqa al-mawta wa al-hayata terdapat dua masalah. Pendapat pertama menyatakan bahwa makna ayat ini adalah Allah menciptakan makhluk supaya mereka mengalami dua keadaan, yaitu kematian di dunia dan kehidupan di akhirat.(Ahmad bin Abi Bakar Al-qurtubi 2006, 110) Salah satu alasan mengapa kata “kematian” sering disebutkan sebelum “kehidupan” adalah karena sifatnya yang memaksa dan secara fitrah terasa lebih dekat dengan manusia. Hal ini selaras dengan urutan dalam Surah Asy-Syura ayat 49, di mana disebutkan anak perempuan lebih dahulu daripada anak laki-laki. Selain itu, kematian dianggap mendahului kehidupan secara kronologis; setiap makhluk pada awal penciptaannya berada dalam keadaan tidak hidup, seperti tanah atau embrio.(Ahmad bin Abi Bakar Al-qurtubi 2006)
Pengutipan Pendapat Ulama oleh Al-Qurtubi
Al-Qurthubi mengutip pendapat Qatadah bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Allah menghinakan anak Adam melalui kematian, menjadikan dunia sebagai tempat sementara, dan akhirat sebagai tempat pembalasan dan keabadian. Dalam riwayat Abu Darda’, Rasulullah juga menyatakan bahwa jika bukan karena kemiskinan, penyakit, dan kematian, manusia tidak akan tunduk, tiga hal ini umumnya datang ketika seseorang terbaring. Masalah kedua yang dibahas adalah mengapa kematian disebutkan sebelum kehidupan. Secara filosofis dan spiritual, ini karena manusia lebih mudah merenungi kematian yang nyata dan dekat. Urutan ini menyampaikan pesan mendalam tentang tujuan hidup.
Para ulama menjelaskan bahwa kematian bukanlah ketiadaan, melainkan perpindahan ruh ke dimensi lain, sedangkan kehidupan adalah kebalikannya. Al-Qurthubi juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, al-Kilabi, dan Muqatil bahwa kematian dan kehidupan memiliki bentuk jasmani. Kematian digambarkan seperti kambing yang aromanya mematikan, sedangkan kehidupan digambarkan seperti kuda betina yang bisa menghidupkan apa saja yang ia sentuh. Konsep ini terkait kisah Samiri, yang menggunakan jejak kehidupan untuk menghidupkan patung.(Ahmad bin Abi Bakar Al-qurtubi 2006, 111)
Menurut al-Qurthubi, ayat-ayat seperti Surah As-Sajdah ayat 11, Al-Anfal ayat 50, Al-An’am ayat 61, dan Az-Zumar ayat 42 menunjukkan bahwa malaikat hanyalah perantara dalam pencabutan nyawa, sedangkan hakikat kematian sepenuhnya atas kehendak Allah. Ia juga mengutip riwayat dari Ibnu Abbas, Muqatil, dan al-Kilabi yang menggambarkan kematian sebagai seekor kambing yang disembelih di atas shirat pada hari kiamat, namun menegaskan bahwa riwayat ini masih memerlukan dalil sahih untuk dijadikan dasar akidah. Muqatil juga menafsirkan frasa khalaqa al-mawta sebagai tahap awal penciptaan manusia dari embrio hingga menjadi segumpal daging, sedangkan khalaqa al-hayata merujuk pada proses penciptaan kehidupan melalui peniupan ruh ke dalam jasad.(Ahmad bin Abi Bakar Al-qurtubi 2006, 111–12)
Term Ahsanu ‘amalan menurut Al-Qurthubi
Al-Qurthubi menjelaskan bahwa tafsir terhadap ayat liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan merupakan tafsir yang kuat, sebagaimana juga diterangkan dalam Surah Al-Kahfi. Ia mengutip pendapat Al-Suddi yang menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah sebagai ujian untuk mengetahui siapa yang paling sering mengingat kematian, paling siap menghadapinya, serta paling berhati-hati dalam menjalani hidup. Selain itu, riwayat dari Ibnu Umar menyebut bahwa Rasulullah pernah membaca ayat ini dan bersabda bahwa yang dimaksud dengan orang yang amalnya paling baik adalah mereka yang paling menjauhi larangan Allah dan paling cepat dalam menaati perintah-Nya.
Kata liyabluwakum mengandung makna bahwa Allah menguji manusia dengan kematian untuk melihat kesabaran mereka, dan dengan kehidupan untuk menilai sejauh mana mereka bersyukur. Menurut Al-Zujjaj, huruf lam dalam ayat ini menunjukkan tujuan penciptaan kehidupan. Susunan kalimat ini memiliki kesamaan dengan struktur dalam Surah Al-Qalam ayat 40, di mana ayyukum berfungsi sebagai subjek (mubtada’) dan ahsanu sebagai predikat (khabar). Kesimpulannya, ayat ini menegaskan bahwa Allah menguji manusia agar terlihat siapa di antara mereka yang memiliki amal terbaik.(Ahmad bin Abi Bakar Al-qurtubi 2006, 112)
Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ‘wa huwa al-‘Azīz’ menunjukkan sifat ketegasan Allah terhadap orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya, sementara ‘al-Ghafūr’ mencerminkan sifat pengampunan-Nya terhadap orang-orang yang bertaubat kepada-Nya.(Ahmad bin Abi Bakar Al-qurtubi 2006, 113)
Tafsir Al-Tustari Terkait Surah Al-Mulk Ayat ke- 2
Menurut Al-Tustari dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan “kematian” adalah keadaan ketika seseorang melakukan maksiat di dunia, sedangkan “kehidupan” merujuk pada kehidupan akhirat yang dipenuhi dengan ketaatan. Ia menafsirkan firman Allah kepada Nabi Musa dengan menyatakan bahwa makhluk pertama yang mengalami kematian adalah Iblis, karena ia durhaka kepada Allah. Allah pun menyebut orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya sebagai makhluk yang mati.(Abdullah al-Tustari 2004, 282)
Setelah menyampaikan pandangannya, al-Tustari mengutip sebuah riwayat yang menyatakan bahwa para penghuni surga adalah orang-orang yang semasa hidupnya takut akan kematian, sedangkan para penghuni neraka justru menginginkan kematian. Dalam riwayat itu diceritakan bahwa kematian dihadirkan di hadapan para penghuni surga dalam wujud seekor kambing putih. Lalu dikatakan kepada mereka, “Inilah kematian. Saksikanlah apa yang Allah lakukan terhadapnya.” Kematian itu lalu dibaringkan miring dan Allah menyembelihnya. Setelah itu, Allah menghidupkannya kembali dalam bentuk seekor kuda yang berkeliling di surga. Setiap penghuni surga yang melihat kuda tersebut merasa tenteram, meskipun mereka tidak mengetahui bahwa kuda itu sebenarnya adalah perwujudan dari kematian.(Abdullah al-Tustari 2004)
Tern Ahsanu ‘amalan menurut Al-Tustari
Menurut al-Tustari, tafsiran dari potongan ayat liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan adalah bahwa amal yang terbaik adalah amal yang paling terjaga serta dilakukan dengan keikhlasan. Ia menegaskan bahwa suatu perbuatan tidak akan diterima jika hanya baik tetapi tidak ikhlas, begitu pula jika ikhlas namun tidak dilakukan dengan benar.
Setelah menyampaikan penafsiran tersebut, al-Tustari menjelaskan bahwa orang yang ikhlas adalah mereka yang melakukan kebaikan semata-mata karena Allah dengan sepenuh hati. Sementara itu, amal yang benar adalah amal yang sesuai dengan sunnah dan sejalan dengan Al-Qur’an.(Abdullah al-Tustari 2004, 283)
Selain pendapat tersebut, al-Tustari juga menafsirkan ayat Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan sebagai merujuk pada sikap tawakal, ridha, dan kehidupan yang manusia jalani dengan sifat zuhud terhadap dunia. Ia menggambarkan bahwa hal-hal seperti takwa dan lainnya ibarat dua sisi timbangan, sementara tawakal merupakan lidah timbangan itu alat penentu untuk melihat apakah amal seseorang bertambah atau berkurang. Menurut al-Tustari, tawakal berarti melepaskan diri dari ketergantungan kepada hal-hal selain Allah, yakni menjauh dari bersandar kepada makhluk.(Abdullah al-Tustari 2004)
penjelasan Al-Tustari mengenai penggalan ayat wa huwa al-‘azīz al-ghafūr: “Dia adalah Tuhan yang keputusannya tak dapat dikalahkan, yang memiliki kebijaksanaan sempurna dalam mengatur ciptaan-Nya, serta senantiasa mengampuni kekurangan dan kelemahan yang tampak dalam ketaatan hamba-hamba-Nya”.(Abdullah al-Tustari 2004)
M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini tidak secara eksplisit membaginya menjadi tiga bagian seperti dua mufasir sebelumnya, namun secara implisit tetap membaginya dalam bentuk narasi terpadu. Ia memulai dengan menjelaskan bahwa kata mawt (kematian) dan hayat (kehidupan) sering berpasangan dalam Al-Qur’an dan juga terpisah terdapat sebanyak 145 kali. Ulama memahami hidup sebagai kondisi yang memungkinkan sesuatu merasakan, mengetahui, dan bergerak. Mengutip Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi, Shihab menyampaikan bahwa dalam Al-Qur’an, hidup berarti berfungsinya sesuatu sesuai tujuan penciptaannya. Misalnya, tanah yang subur itu hidup karena dapat menumbuhkan tanaman, sedangkan tanah gersang disebut mati. Demikian juga manusia, jika tidak menjalankan fungsi sebagai khalifah dan hamba Allah, ia tidak hidup dalam makna secara spiritual.(Shihab 2002, 196–97)
Menurut M. Quraish Shihab, kematian bukanlah ketiadaan mutlak, melainkan perpindahan manusia dari dunia ini ke alam lain. Pandangan ini merujuk pada makna “menciptakan kematian” dalam Al-Qur’an. Ada juga ulama yang memaknai kematian sebagai ketiadaan karena Allah menciptakan sebab-sebab kematian. Namun, jika kematian kita anggap sebagai ketiadaan, itu hanya dalam konteks dunia, bukan secara keseluruhan. Shihab menekankan bahwa kehidupan dan kematian tersebut secara khusus dalam ayat karena keduanya merupakan bukti nyata kekuasaan Allah. Hanya Allah yang bisa menciptakan hidup, dan tak ada yang bisa menghindari kematian. Kedua hal itu juga merupakan ujian: musibah kematian dan anugerah kehidupan menjadi sarana untuk menguji kesabaran, rasa syukur, dan keimanan manusia.
Kutipan Quraish Shihab dari Mayoritas Ulama
Mengutip mayoritas ulama, Shihab menyampaikan bahwa kematian Allah ciptakan sebagai awal dari proses pembalasan atas perbuatan manusia, dan kehidupan sebagai sarana untuk menguji sikap mereka terhadap nikmat dan cobaan. Sebagian ulama lain juga berpendapat bahwa penciptaan hidup dan mati bertujuan untuk melihat siapa yang paling siap menghadapi kematian dan paling cepat dalam menaati Allah Swt. Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa tujuan penciptaan hidup dan mati adalah agar Allah menguji manusia dengan amal perbuatannya, kemudian Allah memberi balasan sesuai hasil ujian tersebut. Penekanan pada kata “kematian” sebelum “kehidupan” menurutnya menunjukkan pentingnya fase pembalasan. Thaba’thaba’i juga menekankan aspek pembalasan dalam tafsirnya, sedangkan Sayyid Quthub menegaskan bahwa baik kehidupan maupun kematian adalah murni ciptaan Allah Swt.(Shihab 2002, 197)
Menurut Sayyid Quthub, ayat ini bertujuan membentuk kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan dan kematian bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari rencana Allah untuk menguji manusia. Ujian ini bertujuan menyingkap ilmu Allah tentang perilaku manusia dan memastikan mereka layak mendapat balasan atas amal perbuatan mereka. Selain itu, ayat ini ingin menanamkan sikap waspada dan kesadaran penuh terhadap setiap tindakan, baik besar maupun kecil, tersembunyi maupun nyata. Tujuannya agar manusia tidak lalai dan terus berusaha tanpa merasa aman dari pertanggungjawaban.
Penutup ayat
Penutup ayat yang menyebut sifat Allah “Maha Perkasa” dan “Maha Pengampun” memberikan keseimbangan antara rasa takut dan harapan bagi mereka yang taat dan bertobat. Sementara itu, Quraish Shihab menjelaskan bahwa frasa ayyukum ahsanu ‘amalan menunjukkan bahwa hanya Allah yang mengetahui siapa yang paling baik amalnya karena Dia mengetahui seluruh amal manusia secara menyeluruh. Ayat ini tidak menyebutkan siapa yang paling buruk amalnya, karena fokusnya adalah mendorong manusia untuk berlomba dalam kebaikan. Penyebutan sifat Allah al-‘Aziz ditujukan kepada orang yang durhaka sebagai peringatan, sementara al-Ghafur ditujukan kepada mereka yang sadar dan ingin kembali kepada-Nya.(Shihab 2002, 198)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mu‟min ibn Khalaf al-Dimyâtî, Syarafuddîn. 2003. al-Matjar al-Râbih, terj. Farid Abdul Aziz al-Jindi, Ensiklopedia Pahala. Makassar: Pustaka al-Sunnah.
Abdullah al-Tustari, Muhammad Sahal bin. 2004. Tafsir al-Quran al-Adhim. Kairo: Dar al-Haram li Turats.
Abul Fidâ‟ „Imaduddîn Ismâ‟îl Ibnu Umar Ibnu Katsîr al-Qurasyî al-Bushrawî (Ibnu dan Katsîr). 2015. Tafsir Ibnu Katsîr, terj. Arif Rahman Hakim, dkk. Solo: Insan Kamil.
Ahmad bin Abi Bakar Al-qurtubi, Muhammad bin. 2006. al-Jami li Ahkam al-Qur’an juz 21. Beirut: al-Risalah.
Al-Badri, Yusuf. 1994. Surah Tabârak Pendinding dari Siksa Kubur. Surabaya: PT. Bungkul Indah.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran volume 14. Jakarta: Lentera Hati.
Ya’cub, Mihmidaty. 2020. “Peran pendidikan Islam dalam menghadapi ujian Covid 19: studi kritis adanya pendemi Covid 19.” CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman 6 (1): 114–32.
Yusuf, Prof Dr M. Yunan. 2023. Tafsir Juz 19: ‘Ibâdu Ar-Rahmân (Hamba yang Terkasih). Lentera Hati.
Zuhaili, Wahbah al-. 1991. Tafsir Al-Munir. Darul Fikri.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.