Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kedudukan Perempuan dalam Waris: Perspektif Fazlur Rahman dan An-Na’im

Rahman
Sumber: nikmatislam.com

Fazlur Rahman

Beritik tolak atas kegelisahannya akan kejumudan dalam beragama, yang berdampak menjadikan agama sebagai sesuatu yang statis. Fazlur Rahman berpendapat kejumudan beragama itu dikarenakan menganggap al-Quran semata-mata produk ilahiah yang bersifat transendental. Menganggap al-Quran turun pada ruang hampa yang menyebabkan pengikutnya tidak berani berijtihad mencari alternatif pemikiran baru. Oleh karena itu, Rahman mencoba memposisikan al-Quran bukan sekadar sesuatu yang transenden tetapi juga sesuatu yang profan. Al-Quran menurutnya tidak semuanya diturunkan dalam ruang hampa. Melainkan ada juga ayat al-Quran yang diturunkan sebagai respon atas keadaan Rasulullah dan masyarakat Arab pada saat itu.

Karenanya Fazlur Rahman membedakan ayat al-Quran menjadi dua bagian, ayat ethic dan ayat legal. Ayat etik berisikan sesuatu yang universal yang terkandung di dalam suatu ayat, dan tidak lekang oleh waktu dan tempat. Sedangkan ayat legal adalah ayat yang menjadi jawaban atas permasalahan sosio kultural masyarakat Arab pada saat ayat itu turun. Bukan merupakan sesuatu yang universal, melainkan dapat berubah sesuai kondisi sosio kultural di mana ayat itu digunakan. Sehingga yang diutamakan adalah ayat etik, karena ayat etik lebih universal daripada ayat legal.

Abdullah Ahmad An-Na’im

Istilah nasikh dan mansukh biasa dikenal dalam cabang ilmu ‘ulum al-Quran (Ilmu-ilmu al-Quran). Istilah ini merupakan pembahasan tentang ayat al-Qquran yang menghapus (nasikh) dan ayat al-Quran yang terhapus (mansukh). Pemahaman mainstream tentang nasikh dan mansukh adalah jika terdapat dua ayat al-Quran yang kontradiktif satu sama lain, maka ayat yang turun belakangan akan menghapus ketentuan dalam ayat yang turun lebih awal.

 Pemahaman mainstream tentang nasikh-mansukh di atas, erat hubungannya dengan konsep makkiyah-madaniyah. Terdapat beberapa interpretasi mengenai suatu ayat dikategorikan sebagai ayat makkiyah atau ayat madaniyah.

Pertama, dilihat dari waktu turunnya. Ayat makkiyah yaitu ayat yang turun sebelum Rasul Hijrah. Sedangkan madaniyah merupakan ayat al-Quran yang turun setelah Rasulullah hijrah. Maka ayat yang turun setelah penaklukan Mekkah kembali (fathu makkah) termasuk ayat madaniyah kendati ayat itu turun di Kota Mekkah.

Baca Juga  Spirit Kesetaraan dalam Islam: Al-Quran Menyapa Laki-Laki dan Perempuan

Kedua, dilihat dari tempat turunnya. Ayat makkiyah merupakan ayat al-Quran yang turun di Kota Mekkah. Begitu juga ayat madaniyah merupakan ayat Alqruan yang turun di Kota Madinah. Maka jika pemahaman ini diambil, terdapat ayat al-Quran yang tidak termasuk makkiyah atau madaniyah. Karena tidak turun di dua kota itu, melainkan di tempat lain. Seperti turun di Baitul Maqdis ketika peristiwa Isra’ Mi’raj.

Ketiga, dilihat dari sasarannya. Jika ayat tersebut ditujukan untuk penduduk Mekkah maka digolongkan ayat makkiyah. Kemudian jika ditujukan kepada penduduk Madinah maka digolongkan ayat madaniyah. Adapun ayat yang seruannya ya ayyuha annas maka digolongkan ayat makkiyah. Sedangkan ayat yang seruannya ya ayyuha alladzina amanu  maka digolongkan ayat madaniyah. Pemahaman mainstream mengenai nasikh-mansukh seringkali menganggap bahwa ayat madaniyah menghapus (me-nasakh) ayat makkiyah, walaupun ayat makkiyah juga bisa me-nasakh ayat madaniyah. Namun keadaan yang seperti ini jarang sekali.

An-Na’im berbeda dengan pendapat-pendapat di atas. Bagi An-Na’im ayat-ayat makkiyah membawa misi yang fundamental dan universal. Sedangkan ayat madaniyah membawa misi praksis, temporal, dan tidak permanen. Dari situlah ia berkesimpulan bahwa makkiyah (ayat yang sifatnya universal ) dapat me-nasakh madaniyah (ayat yang sifatnya temporal).

Aktualisasi

Ketika berbicara tentang keadilan waris bagi perempuan dan laki-laki. Muncul perdebatan terhadap bagian ahli waris perempuan yang dinilai mendiskriminasi perempuan. Merujuk pada al-Quran surat an-Nisa ayat 11 yamg artinya:

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….”.

Namun di sisi lain terdapat keterangan yang menyatakan perempuan dan laki-laki setara. Yaitu dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya:

Baca Juga  Konsep Keadilan Gender Versi Nur Rofiah

“Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dan juga dalam al-Quran surat an-Nahl ayat 97 yang artinya “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”

Dari tiga ayat di atas (an-Nisa:11, al-Hujurat:13, an-Nahl 97), dua ayat terakhir menunjukan sifatnya yang universal dan filosofis. Karena lafal “inna akramakum ‘inda Allahi atqakum” (al-Hujurat) dan lafal “man ‘amila sholiha min dzakari aw untsa….” (an-Nahl) menunjukan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta hanya dibedakan atas ketakwaannya saja. Sehingga dua ayat ini dapat dikategorikan sebagai ayat ethic dalam perspektif Fazlur Rahman.

Sedangkan ayat pertama (an-Nisa:11) menunjukkan sifatnya yang aplikatif dan parsial, karena ayat tersebut menunjukan bilangan untuk mengatur perkara tertentu saja. Sehingga pengaturan tersebut tidak mutlak harus sama atau bisa juga dilterapkan sesuai kondisi dan waktu. Maka ayat ini dapat digolongkan sebagai ayat yang legal (pengaturan).

Sehingga jika ditarik pada teori nasikh-mansuk An-Na’im, maka dua ayat terkahir (al-Hujurat:13 dan an-Nahl:97) dapat me-nasakh ayat yang pertama (an-Nisa:11).

Editor: M. Bukhari Muslim