Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kedudukan Hadis Daif dalam Muhammadiyah

Hadis daif

Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan. Identitas keagamaan yang telah tersematkan, menjadikannya sebuah wadah bagi masyarakat sebagai referensi dalam praktik beragama. Di antaranya perkara-perkara yang menyangkut akidah, ibadah, dan mu’amalah.

Dalam menjawab problematika keagamaan, Muhammadiyah memiliki HPT (Himpunan Putusan Tarjih), Buku Tanya Jawab Agama dan majalah Suara Muhammadiyah. Lewat ketiganyalah, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid-nya menyebarkan paham keagamaannya.

Manhaj Tarjih Muhammadiyah

Majelis Tarjih dan Tajdid merupakan suatu majelis dalam Muhammadiyah yang secara khusus berfungsi untuk melakukan pengkajian, penafsiran, dan penerapan ajaran agama Islam (Anwar, 2018: 5). Oleh karenanya, Majelis Tarjih dan Tajdid merupakan representasi paham keagamaan Muhammadiyah.

Maka suatu keniscayaan apabila Majelis Tarjih dan Tajdid memiliki suatu pedoman (manhaj) dalam ber-istinbath (menentukan hukum-hukum terkait masalah keagamaan). Dalam hal ini Majelis Tarjih dan Tajdid memiliki Manhaj Tarjih Muhammadiyah di mana di dalamnya merupakan kumpulan dari seperangkat wawasan (atau semangat/perspektif), sumber, pendekatan, dan metode tertentu untuk merespon masalah-masalah sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam (Anwar, 2018: 10). Guna menjadi jalan beragama bagi warga persyarikatan.

Di antara isi dari Manhaj Tarjih Muhammadiyah tersebut yaitu, mengenai sumber ajaran agama, Muhammadiyah tegas untuk berdasar kepada al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah (Anwar, 2018: 20). Sumber kedua yang disebutkan di sini mencakup dua jenis tingkatan hadis, yaitu hadis shahih dan hadis hasan.

Sementara itu, dalam ilmu hadis klasifikasi kualitas hadis Nabi SAW itu terbagi menjadi tiga, yaitu shahih, hasan, dan daif. Lalu ke mana hadis daif di Muhammadiyah? Apakah Muhammadiyah anti hadis daif?

Hadis Daif

Secara kualitas, hadis daif merupakan suatu tingkatan hadis terendah di bawah hadis shahih dan hasan.

Baca Juga  Perhatikan Ini Sebelum Meminta Fatwa Kepada Seseorang

Dilihat dari definisi, menurut Mahmud Thahan dalam kitab Taysir Musthalah al-Hadis, hadis dhaif merupakan hadis yang tidak terkumpul sifat-sifat hadis hasan, disebabkan hilangnya satu syarat atau lebih. Padahal hadis hasan merupakan jenis hadis di bawah hadis shahih, artinya bahwa hadis hasan  bukanlah hadis dengan kualitas terbaik. Maka hadis dhaif ini lebih jauh dari kualitas terbaik suatu hadis. Oleh karenanya, para ulama memasukkannya kepada bagian dari khabar yang tertolak (mardud).

Adapun hukum berhujjah/beramal dengan hadis dhaif, para ulama berbeda pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat:

Pertama, tidak boleh secara mutlak beramal dengan hadis dhaif, baik dalam perkara fadhail a’mal, maupun hukum halal haram. Di antara ulama yang berpendapat demikian yaitu, al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm.

Kedua, boleh secara mutlak mengamalkan hadis dhaif. Pendapat inilah dipegang oleh Abu Dawud, dan Ahmad bin Hambal. Keduanya berpendapat bahwa hadis dhaif masih lebih kuat daripada perkataan seseorang.

Ketiga, boleh mengamalkan hadis daif namun dalam fadhail a’mal dengan syarat tertentu, di antaranya kedaifannya tidak terlalu parah, bernaung/sejalan dengan hadis yang lebih shahih, tidak disandarkan kepada nabi sebagai kehati-hatian (al-Khatib, 2006: 231-232). Pendapat inilah yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dan menjadi pendapat yang banyak diikuti oleh ulama-ulama setelahnya.

Muhammadiyah dan Hadis Daif

Majelis Tarjih dan Tajdid merumuskan beberapa kaidah tentang hadis di dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah yang berjumlah sebelas kaidah. Di antara cakupan dari kaidah-kadah tersebut adalah memuat tentang penggunaan hadis mauquf, hadis mursal, hadis daif, jarh wa ta’dil, hadis mudallas, dan penafsiran sahabat terhadap hadis dalam beristinbath.

Terkait kehujjahan hadis daif, Majelis Tarjih dan Tajdid dalam kaidah-kaidah tersebut menempatkan pada kaidah nomor 7 yang berbunyi, “Hadis-hadis daif yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah apabila banyak jalannya dan padanya terdapat qarinah (petunjuk) yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih”.

Syamsul Anwar kemudian memperjelas kaidah tersebut dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Ia menuturkan, berkenaan dengan masalah hukum syar’iah, hadis daif tidak dapat dijadikan sebagai hujjah (pedoman). Namun ada suatu pengecualian di mana hadis daif ini dapat menjadi hujjah apabila hadis tersebut memenuhi kriteria di antaranya; banyak jalur periwayatannya/saling menguatkan, ada indikasi berasal dari Nabi SAW, tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih, kedaifannya bukan karena rawi yang bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu hadis (Anwar, 2018: 21).

Baca Juga  Muhammadiyah dan Tawaran Tasawuf Berkemajuan

Maka dengan ini dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah berhujjah baik terkait hukum halal haram, maupun fadhail a’mal lebih mengutamakan berdasar pada hadis yang maqbul yaitu hadis shahih dan hasan. Kendati demikian tanpa menafikan hadis daif, Muhammadiyah juga menggunakan kaidah hadis daif yang dapat dijadikan hujjah dalam beramal dengan syarat tertentu sebagaimana yang di jelaskan dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah.