Memasuki bulan dzulhijah, banyak kaum muslimin dan juga non muslim yang menyelenggarakan kurban sebagai ibadah yang berdimensi ilahi dan sosial. Idul adha menjadi momentum untuk mensucikan diri dari sifat tamak dan bakhil untuk berbagi, juga menanamkan keikhlasan berkurban pada hatinya. Hal yang paling di ingat oleh kebanyakan kaum muslim saat memasuki bulan Dzulhijah terutama kurban ialah kisah Nabi Ibrahim yang menyembelih putranya atas perintah Tuhan. Kisah tersebut juga menarik perhatian filsuf dan teolog asal Denmark yaitu Soren Aabye Kierkegaard yang menyebut Nabi Ibrahim sebagai pahlawan Iman. Ia menyingkap kebijaksanaan Nabi Ibrahim yang mengalami dilematis atas perintah Tuhan untuk menyembelih putranya.
Keputusan Dilematis
Dalam karyanya “Fear and Trembling”, tindakan Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya dihadirkan oleh Kierkegaard. Bagaimana Allah menguji Nabi Ibrahim dan bagaimana ia bertahan dalam ujian itu dan bagaimana ia mempertahankan imannya yang bertentangan dengan harapannya, yaitu menerima putranya kembali. Sewaktu Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan anaknya, Allah memerintahkan sesuatu yang tidak masuk akal; padahal, Allah sendirilah yang berjanji melalui anaknya, Nabi Ibrahim akan memiliki keturunan yang jumlahnya tak terbilang. Permasalahan yang diajukannnya ialah bagaimana memahami perintah suci Allah yang kelihatannya bertentangan dengan etika yang diterima secara universal.
Tegangan antara perintah Tuhan dengan etika yang berlaku ditengah masyarakat menjadi problematik terutama bagi para penganut kepercayaan pada Tuhan. Karena keduanya dipandang sebagai otoritas yang sahih dalam mengatur kehidupan manusia. Dalam hal ini, apakah seorang yang beriman harus mendahulukan perintah Tuhan di atas norma masyarakat atau sebaliknya; mengabaikan perintah Tuhan yang bertentangan dengan etika yang diterima secara umum, atau apakah ada jalan lain untuk memahami pertentangan tersebut?
Bijaksana Mengambil Keputusan Dilematis
Nabi Ibrahim begitu mencintai keluarganya, namun rasa cintanya terhadap keluarganya tidak melebihi cintanya kepada Tuhannya. Ia menjadi luhur melalui pengabdiannya dengan mengharapkan Yang Abadi. Nabi Ibrahim percaya pada dirinya sendiri dan pada kekuatannya mengorbankan segalanya, tetapi kepercayaan kepada Tuhan lebih besar dari semuanya. Melalui dorongan imannya, Nabi Ibrahim meninggalkan kebijaksanaan duniawinya dan membawa imannya sebab ia sendiri merupakan kekasih Tuhan, pilihan Tuhan, dan manusia yang disenangi Tuhan.
Dalam pergumulan itu, menunjukkan bagaimana Nabi Ibrahim harus berhadapan dengan tuntutan ‘etika universal’ yang sifatnya eksternal dengan tuntutan ‘iman’yang bersifat internal. Nabi Ibrahim disebut berhasil mengatasi masalah dari kepentingan itu melaluui ‘penundaan teologis’ etika. Dalam hal ini, Kierkegaard melihat bahwa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim bukan berarti meninggalkan tuntutan ‘universal’ atas dirinya melainkan secara terus-menerus ‘memelihara’ itu melalui kebatiniahan didalam keyakinan pada ‘Yang Absolut’; bahwa ‘Yang Absolut’ yang di Imani dan di internalisasi oleh Nabi Ibrahim ke dalam kebatiniahan tidak akan membuat dirinya ‘mencederai’ tuntunan etika universal.
***
Murray Rae berpendapat bahwa “hidup didalam ranah religius tidak menuntut individu abai dengan tuntutan etika, melainkan tuntutan etika tersebut menjadi relatif. Allah adalah satu-satunya Yang Absolut, sehingga hanya perintah Allah saja yang dapat mengklaim kesetiaan absolut individu”. Berhadapan dengan kemutlakan Allah, etika universal yang menjadi kewajiban yang harus dipenuhi menjadi ‘relatif’, sehingga penundaan teleologis etika menjadi mungkin. Sedangkan menurut Brian Stiltner, bagi Kierkegaard, yang absolut itu lebih tinggi tingkatannya daripada prinsip universal, sehingga manusia wajib mendahulukan yang absolut daripada prinsip universal.
Hal itu pun menunjukkan bukti bagaimana besarnya cinta Nabi Ibrahim kepada Tuhannya. Sangat sulit jika kita berada di posisi Nabi Ibrahim yang sudah begitu lama menantikan keinginan untuk memiliki putra. Seketika putra yang diinginkan tersebut sudah lahir di dunia, Tuhan langsung memberitahukan melalui mimpi untuk menyembelih putranya. Nabi Ibrahim lebih memilih perintah Tuhannya daripada mengikuti prinsip etika universal yang menyalahi segala tindakan yang dapat mencederai jiwa manusia. Kebijaksanaan yang didapat dari Nabi Ibrahim ialah ia berani mengambil keputusan yang berdasarkan perintah Tuhan; dibandingkan aturan prinsip yang dibuat oleh manusia. Sebab, kebenaran iman diyakini memiliki derajat subjetif paling tinggi dan sebagai pahlawan iman membuktikan bahwa; apa-apa yang datang dari Tuhan pastilah yang terbaik, dan itu sudah dibuktikan oleh Nabi Ibrahim.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply