Takdir—sebuah kata yang seringkali menjadi renungan dalam kehidupan, bahkan perdebatan antar golongan. Apakah kita benar-benar memiliki kebebasan untuk menentukan arah hidup, ataukah segala sesuatu yang terjadi sudah ditentukan oleh takdir Ilahi? Dalam sejarah Islam, pertanyaan ini bukanlah hal baru. Berabad-abad lamanya, para ulama’ telah mencoba menggali hakikat takdir dari berbagai sudut pandang, dengan hasil yang pastinya beragam. Seperti halnya dua aliran utama yaitu Mu’tazilah dan Sunni (Asy’ariyah), keduanya memiliki pandangan yang sangat menarik, namun berbeda tentang hubungan antara takdir dan kebebasan manusia.
Apakah takdir itu hanya sekedar kehendak Allah yang mutlak, ataukah kita memiliki peran untuk memilih jalan hidup kita? Dengan melihat pemikiran dua tokoh mufasir dari kedua aliran di atas, yaitu Fakhr al-Din al-Razi dan Zamakhsyari. Sehingga, tulisan ini akan mengajak anda melihat bagaimana kedua tokoh tersebut dalam menjelaskan mengenai takdir, dengan berfokus pada satu ayat dalam Al-Qur’an yaitu surah al-Kahf ayat 29.
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْۗ فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْۚ اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلظّٰلِمِيْنَ نَارًاۙ اَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَاۗ وَاِنْ يَّسْتَغِيْثُوْا يُغَاثُوْا بِمَاۤءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِى الْوُجُوْهَۗ بِئْسَ الشَّرَابُۗ وَسَاۤءَتْ مُرْتَفَقًا
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, siapa yang menghendaki (beriman), hendaklah dia beriman dan siapa yang menghendaki (kufur), biarlah dia kufur.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang-orang zalim yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (dengan meminta minum), mereka akan diberi air seperti (cairan) besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) seburuk-buruk minuman dan tempat istirahat yang paling jelek”. (Q.S. Al-Kahf [18]:29)
Takdir Menurut Zamakhsyari
Zamakhsyari ialah seorang ulama terkenal dari aliran Mu’tazilah yang berasal dari Turkistan. Ia hidup pada abad ke-5 Hijriah, lahir pada tahun 467 H dan wafat pada tahun 538 H. Selama hidupnya, Zamakhsyari menghasilkan banyak karya yang berpengaruh, salah satunya adalah tafsir Al-Kasyaf. Karya monumental ini sering dijadikan rujukan utama untuk memahami pemikiran-pemikirannya, dan menjadi acuan dalam pembahasan kali ini.
Untuk memahami pandangan Zamakhsyari tentang takdir, dapat ditelusuri melalui penafsirannya terhadap surah al-Kahf ayat 29. Dalam tafsirnya, Zamakhsyari menjelaskan bahwa kebenaran telah datang dan keraguan pun telah hilang, sehingga yang tersisa hanyalah pilihan manusia itu sendiri, apakah akan memilih jalan keselamatan atau jalan kehancuran.
Ayat ini menggunakan bentuk perintah, namun sesungguhnya bersifat pilihan, karena Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan yang mereka inginkan. Dengan demikian, manusia memiliki tanggung jawab dan keputusan atas kehidupannya, mereka diperintahkan untuk memilih salah satu dari dua jalan tersebut antara keselamatan atau kehancuran.
Takdir Menurut Fakhr al-Din al-Razi
Fakhr al-Din al-Razi adalah salah satu ulama besar yang berasal dari Persia dan menganut teologi ‘Asy’ariyah. Ia dikenal sebagai ilmuwan Muslim yang mendalami berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, filsafat, dan teologi. Lahir pada tahun 554 H dan wafat pada tahun 606 H. Al-Razi meninggalkan banyak karya yang berpengaruh dalam berbagai bidang ilmu. Salah satu karya paling monumental yang menjadi acuan dalam pembahasan ini adalah Tafsir al-Mafatih al-Ghaib, yang juga dikenal dengan nama Al-Tafsir al-Kabir.
Dalam penafsirannya terhadap Surah al-Kahf ayat 29, sebelum mengemukakan pendapatnya, al-Razi terlebih dahulu menyebutkan pandangan Mu’tazilah tentang takdir. Setelah itu, ia menyatakan keyakinannya bahwa Allah adalah sumber segala takdir dan kekuasaan. kehendak yang ada pada diri seorang hamba diciptakan oleh Allah secara langsung dan bersifat daruri (niscaya), yang bertujuan untuk menghasilkan terjadinya suatu perbuatan bagi manusia.
Sehingga, manusia tidak akan menghendaki suatu perbuatan jika dalam hatinya tidak terjadi kehendak yang ditetapkan. Apabila kehendak tersebut telah ditetapkan, maka perbuatan itu akan terjadi, baik manusia menghendakinya atau tidak. Menurut al-Razi, adanya kehendak manusia tidak selalu seiring dengan terjadinya perbuatan. Dan terjadinya suatu perbuatan tidak selalu beriringan dengan kehendak manusia itu sendiri. Oleh karena itu, berdasarkan pandangan ini, manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang hidup sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah Swt.
Dengan demikian, meskipun manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, seperti yang dijelaskan oleh kedua tokoh mufasir ini. Pandangan mereka menunjukkan bahwa takdir Allah tetap mencakup segala sesuatu, termasuk kehendak dan pilihan manusia. Kedua pemikiran ini memberikan gambaran bahwa takdir bukanlah suatu kekuatan yang meniadakan kebebasan manusia. Namun pada saat yang sama, takdir tetap mengarahkan dan mengendalikan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Pada akhirnya, dalam menghadapi takdir, manusia tetap memiliki tanggung jawab moral atas setiap pilihan yang diambil, baik itu pilihan menuju keselamatan atau kehancuran.
Editor: Najmi
Leave a Reply