Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kasus Klaster Tarawih Di Banyumas, Pentingnya Beragama Dengan Ilmu

Beragama dengan ilmu
Sumber: pikiran-rakyat.com

Kamis 29 April 2021, media-media nasional memberitakan tentang adanya kasus klaster tarawih di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sebanyak 55 jamaah shalat tarawih di kabubaten Banyumas dinyatakan positif Covid-19. Klaster tarawih ini berasal dari dua masjid. Kasus ini bermula dari salah satu jamaah yang sakit namun tetap berangkat ke masjid untuk shalat tarawih.

Kasus di atas merefleksikan satu hal penting yaitu tentang keberagamaan sebagian masyarakat Indonesia di tengah menggilanya wabah. Tentu ini menjadi pelajaran penting dan berharga bagi semua komunitas keagamaan tanpa terkecuali. Tentu, semua umat beragama hari ini sangat merindukan beribadah di ruang publik. Apa lagi saat ini umat Islam sedang memasuki bulan suci Ramadhan. Dapat dipahami kerinduan umat Islam untuk shalat berjamaah di masjid sangat-sangat dirindukan. Apa lagi tahun ini adalah Ramadhan kedua di masa pandemi.

Namun demikian, sikap menahan diri, termasuk menahan rindu untuk shalat berjamaah di masjid atau mushala di saat wabah masih meraja lelas sangat penting untuk kembali ditekankan. Saat ini, khususnya di daerah-daerah yang sangat rawan tingkat penularan Covid-19 ibadah di ruang domestik tentu lebih disarankan. Mengingat bahwa beragama seharusnya dapat menjaga jiwa, bukan sebaliknya bergama dapat membahayakan atau mengancam jiwa. Kaidah fikih jelas telah menekankan pentingnya menjaga jiwa (hifdun nasf). Jangan sampai kita mengejar kehalihan individual dengan melalaikan keshalihan sosial. Salah satu indikator keshalihan sosial adalah menjaga keselamat diri dan orang lain. Al-Qur’an telah menegaskan pentingnya menjaga jiwa (Al-Maidah [5]: 32).

Namun sayangnya masih banyak sebagian masyarakat yang berdalih “jangan takut pada Covid-19, takutlah pada Allah”. Inilah yang harus kita diskusikan serius. Persuasi keagamaan semacam ini berpotensi melahirkan cara berpikir fatalis atau dalam sejarah kalam dikenal dengan nama Jabariyah. Secara sederhana, paham Jabariyah mendasarkan keyakinan bahwa mati dan hidup sudah diatur oleh Allah. Sehingga seolah-olah Covid-19 tidak perlu ditakuti dan dijauhi. Paham Jabariyah ini jika keliru digunakan, mendorong sikap tanpa ikhtiar mencegah dan menghindari penyakit berbahaya, termasuk Covid-19.

Baca Juga  Penafsiran Tokoh Tafsir Kontemporer tentang Hukum Poligami

Padahal ada juga pandangan keagamaan dan medis yang mengharuskan seseorang mewaspadai bahaya wabah. Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan otoritas wewenang seperti pemerintah melakukan berbagai macam cara untuk menghentikan penyebaran virus ini. PP Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta beberapa ormas lain melarang pelaksanaan shalat berjamaah di masjid untuk daerah-daerah tertentu yang dipandang sangat berbahaya, termasuk shalat jumat dan tarawih. Namun himbauan ini masih saja dianggap membatasi ekspresi ketaatan beragama.  

Bahkan belum lama ini beredar berita bahwa salah satu takmir masjid menggertak akan membongkar masjidnya sebagai respon kekecewaan atas kebijakan “ibadah di rumah saja”. Beredar pula video singkat nyanyian bangun sahur yang menyindir sepinya masjid dari jamaah shalat: eman-eman temen, teraweh kok dilarang // eman-eman temen, tadarus kok dilarang // Corona diwedini, Gusti Allah diadohi // Romadhon tahun iki, nelongso rasane ati. Tampaknya cara merespon kebijakan beribadah selama pandemi Covid-19 ini kurang tepat. Sebab, praktik beragama haruslah dilandasi dengan ilmu pengetahuan.  

Pentingnya Beragama dengan Ilmu

Jelas banyak kelompok masih salah paham dengan himbauan “ibadah di rumah”. Rekomendasi ini bukan melarang praktik ibadah, melainkan memindahkan pelaksanaan ibadah untuk sementara waktu. Khususnya bagi yang merasa kurang sehat jangan memaksakan diri untuk shalat di masjid. Setelah sehat, atau seletah wabah melandai dan dapat ditangani, barulah kegiatan beribadah di masjid dapat dikondisikan lagi.

Tentu himbauan “ibadah di rumah” tidaklah rumit. Sebab, tujuan utama himbauan ini adalah untuk sesegera mungkin meredam penyebaran wabah. Bukankah “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”. Imam Ghazali mengatakan, “ilmu tanpa amal gila, amal tanpa ilmu sia-sia”. Merebaknya wabah Covid-19 harusnya menyadarkan komunitas beragama bahwa ajaran agama haruslah dipahami secara rasional dan bertanggungjawab.

Baca Juga  Membedakan Kebenaran Al-Qur'an dan Penafsiran Al-Qur'an

Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Imam Az-Zarnuji, ada sebuah sya’ir yang tepat untuk menggambarkan kondisi umat Islam penganut paham Jabariyah ini. Dalam kitab tersebut disebutkan:

فَسَادٌ كَبِيْرٌ عَالِمٌ مُتَهَتِّكٌ#  وَ اَكْبَرُ منْهُ جَاهِلٌ مُتَنَسِّكُ

هُمَا فِتْنَةٌ فِي الْعَالَمِيْنَ عَظِيْمَةٌ # لِمَنْ بِهِمَا فِيْ دِيْنِهِ يَتَمَسَّكُ

Artinya:

Seorang yang ‘alim tetapi masih suka berbuat maksiat atau tidak mengamalkan ilmunya (beribadah) adalah sebuah kerusakan. Namun orang yang bodoh tapi rajin beribadah justru lebih merusak dan berbahaya.

Keduanya (orang alim tapi maksiat atau tidak mengamalkan ilmunya dan orang bodoh yang rajin beribadah) menjadi fitnah yang besar di dunia bagi ummat yang menjadi pengikut keduanya.

Syair di atas menjelaskan bahwa orang yang tanpa ilmu tapi rajin beribadah dapat merusak dan berbahaya. Bahkan bisa menjadi ancaman dan fitnah besar di dunia. Bagaimana tidak merusak dan berbahaya jika gara-gara satu jamaah saja yang positif Covid-19 bisa menulari banyak orang. Bagaimana tidak menjadi fitnah dunia jika gara-gara satu orang yang ngeyel bisa mengancam ribuan nyawa. Perlu digaris bawahi, bahwa bukan shalatnya yang dilarang, namun perkumpulan orang banyak yang dihindari agar virus ini tidak menyebar.

Selama pandemi, pemerintah Arab Saudi membatsasi, bahkan sempat menutup Mekkah dan Madinah. Ulama-ulama pada umumnya sepakat menghimbau “ibadah di rumah saja”. Mereka tentu bukan tanpa sebab dan alasan. Fatwa tersebut dirumuskan dengan mempertimbangkan banyak hal. Proses pembuatan fatwa tidak dilakukan secara sembarangan. Prinsip dasar fatwa “ibadah di rumah saja” adalah untuk melindungi nyawa. Bukankah dalam kaidah fikih telah dikemukakan bahwa dar’u al-mafaasid aula minjalbi al-mashalih: “menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan”. Nabi Muhammad SAW bersabda:

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 4-5: Percaya Kepada Nabi Muhammad

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa tidak boleh berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat.” (HR. Ibnu Majah No. 2331) 

Ukuran Keimanan dan Ketakutan pada Covid

Beriman pada Allah SWT tidak bertentangan sikap waspada dan berhati-hati pada wabah berbahaya. Nabi Muhammad SAW pernah bersembunyi di dalam Gua Tsur selama tiga hari tiga malam untuk menghindari kejaran suku Quraisy. Nabi Musa AS pernah lari dari kejaran Fira’un dan pasukannya. Umar bin Khattab, sahabat Nabi yang dijuluki sebagai asadullah (the lion of the dessert) yang berarti “singa gurun pasir” saja pernah mengurungkan niatnya untuk mengunjungi Syam yang sedang dilanda wabah.

Ada problem besar jika menghubungkan secara tidak tepat antara keimanan pada Allah SWT dan ikhtiar menghindari marabahaya. Keimanan seseorang tidak dapat diukur dengan logika seperti demikian. Dalih “jangan takut pada Covid-19, tapi takutlah pada Allah” seolah-olah menghubungkan dua jenis ketakutan yang berbeda dan tidak saling berkaitan.

Penyunting: M. Bukhari Muslim