Praktik keislaman masyarakat Indonesia tercermin dalam perilaku sosial budaya masyarakatnya. Sehingga paham keislaman masyarakat itu sebenarnya dapat diidentifikasi dan bisa dideskripsikan. Namun demikian, memahami sebuah konstruk paham keagamaan tidaklah mudah. Pendefinisian paham suatu kelompok keagamaan juga bukan hal yang gampang dilakukan.
Hingga dewasa ini, dari sisi terminologi belum ada kesepakatan dikalangan ahli dalam mendefiniskan istilah Islam moderat (wasathiyah) sebagai paham keagamaan yang dianut oleh mayoritas muslim Indonesia. Adapun AR.Willaiam Liddle menggunakan istilah muslim subtansialis (Liddle dalam Woodward (ed). 1998.: 285-287). Sementara itu istilah lain juga sering digunakan untuk menyederhakan penyebutan Islam moderat antara lain muslim demokrat, Islam pro demokrasi, Islam Nusantara, dan lainnya. (Islam Radikal dan Moderat, Abdul Jamil Wahab, M.si, hal:193).
Secara etimologi, Islam moderat berasal dari kata bahasa Inggris moderation yang sering ditukarguna dengan kata standard, average (rerata), core (inti) dan non-aligned (non-blok, tidak memihak). Dalam Bahasa Arab, persamaannya adalah kata wasathiyah yang biasa diartikan posisi di tengah, adil, atau baik. Kata washathiyah disebut dalam al-qur’an sebanyak 5 (lima) kali.
Istilah washata ada di dalam al-Qur’an antara lain: “Demikianlah, kami menjadikanmu umat yang seimbang agar kamu menjadi saksi atas bangsa-bangsa, dan rasul menjadi saksi atas dirimu…”.(Qs.Al-Baqarah (2) Ayat 143). Dalam ayat ini, Allah swt menjelaskan bahwa umat Islam adalah ummatan washatan. Istilah washata berarti yang dipilih, yang terbaik, bersikap adil, rendah hati, moderat, istiqomah, mengikuti ajaran Islam, tidak ekstrem baik dalam hal-hal berkaitan dengan duniawi atau akhirat, spiritual atau jasmani tetapi harus seimbang antara kedua ujungnya. Secara lebih terperinci, wasathiyyah berarti sesuatu yang baik dan berada dalam posisi di antara dua ekstrem. (M.Quraish Shihab, 1996, 328).
Al-Qardhawi mengembangkan pandangan Islam moderat dengan menekankan pentingnya pendekatan yang lentur terhadap hukum Islam dan menolak kekakuan penafsiran al-Qur’an. Al-Qardhawi merumuskan karakteristik islam moderat (wasathiyyah) antara lain.
- Memberikan fasilitasi (taysir) dalam pemberian pendapat hukum keagamaan (fatwa) dan kabar gembira (tabsyir) dalam dakwah.
- Kombinasi antara prinsip-prinsip yang dipegang ulama terdahulu (salafiyah) dengan kebutuhan masa kini (tajdid).
- Keseimbangan antara prinsi-prinsip hukum islam yang permanen (al-tsawabit) dengan yang berubah (mutaghayyirat).
- Lebih banyak menggunakan cara dialog (al-hiwar), hidup berdampingan (ta-ayus) dengan kelompok lain, mempraktikkan toleransi (tasamuh) dengan yang berbeda.
- Mengadopsi prinsip musyawarah (al-syura), keadilan (al-‘adalah), kebebasan manusia (hurriyatul syu’ub), dan hak asasi manusia (huquq al-insan).
Lawan kata wasathiyyah adalah tatharruf yang artinya cenderung ke pinggir, ekstrim, dan eksesif. Rasulullah saw telah melarang sikap tatharruf. Beliau menjelaskan akan bahaya sikap berlebih-lebihan dalam berperilaku (akhlak) dan hal itu dapat mengantarkan kepada kebinasaan.
Rasulullah bersabda: “Hai manusia, hindarilah sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah dibinasakan oleh sikap berlebih-lebihan dalam agama”. (HR. Ahmad dan Nasa’i). (Islam Radikal dan Moderat, Abdul Jamil Wahab, Msi, hal 195-196).
Semangat keberagaman yang tinggi telah mendorong sebagian kalangan, terutama kalangan muda, mengambil sikap berlebihan (al-ghuluw) dalam memahami teks-teks keagamaan, terutama yang mendukung perlawanan terhadap hegemoni negara terentu. Sikap ini menurut Yusuf Al-Qardhawi biasanya d iikuti dengan sikap:
- Fanatisme terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan yang berbeda,
- Pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti pandangan tertentu yang biasanya sangat ketat dan keras,
- Su’uzhaan (negatif thingking) terhadap orang lain karena menganggap dirinya yang paling benar,
- Menganggap orang lain yang tidak sepaham sebagai telah kafir sehingga halal darahnya. (hal:197).
Pemikiran Islam di Indonesia umumnya termasuk kategori moderat. Islam moderat sebenarnya sudah lama ada dan menjadi paham keagamaan mayoritas masyarakat indonesia sejak lama. Islam moderat dapat diidentifikasi melalui beberapa hal yaitu. Pertama, kesejarahan masuknya Islam ke bumi nusantara,. Bagaimana Islam yang sejatinya sebuah agama impor yang juga sudah memiliki adat istiadat, kepercayaan, bahkan agama sendiri. Pemahaman keislaman mayoritas muslim di indonesia merupakan konstruk paham keislaman yang telah mengakomodasi dan berakulturasi dengan budaya dan sistem sosial politik lokal.
Kedua, para ulama sepanjang sejarah telah merespon dinamika pemikiran keislaman yang terus berkembang. Pergulatan pemikiran tentang Islam di tanah air itu pada akhirnya memunculkan dialektika. Gagasan-gagasan Islam itu telah direformulasi dan direkonstruksi secara terus menerus, hingga melahirkan konfigurasi Islam yang terus berubah.
Ketiga, para tokoh-tokoh islam telah menghadapi tantangan sosial yang semakin dinamis, mereka terus berupaya membangun masyarakat dengan merespon berbagai modernitas yang terus berkembang. Respon yang dikembangkan para ulama tersebut, tentunya didasari atas kajian yang matang dan komprehensif tentang Islam.
Meski para ulama lahir dan hidup di negeri yang jauh dari pusat Islam di Timur Tengah, namun para ulama kita itu sebagian besar juga pernah mengenyam pendidikan dari luar. Baik dari wilayah Timur Tengah maupun negeri-negeri Eropa. Sehingga mampu mengintepretasikan Islam dalam konteks kekinian. Konsepsi itulah yang kemudian bisa disebut sebagai paham keagamaan Islam moderat.
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa Islam moderat adalah paham dan pemikiran keagamaan yang dimiliki mayoritas muslim Indonesia. Namun karena pemahaman keagamaan yang bersifat dinamis, maka Islam moderat bukanlah sebuah entitas yang final.
Editor: Ananul
Leave a Reply