Komunikasi merupakan hal yang terikat dengan kita. Kehidupan kita tidak bisa dilepaskan darinya. Karena setiap manusia adalah mahluk yang berkomunikasi. Watzlawick mengatakan, “We cannot not communicate!”. Kita tidak dapat menghindari komunikasi. Bahkan ketika kita diam, kita sebenarnya juga sedang berkomunikasi. Sebab komunikasi tidak terbatas pada hal-hal yang verbal dan tersampaikan.
Seorang kekasih yang sedang marah, dan ingin menghindari berkomunikasi dengan pasangannya, biasanya mengggunakan beberapa cara. Kadang berterus terang dengan mengatakan kepada pasangannya bahwa ia sedang tak ingin berbicara dengannya. Atau juga yang paling sering adalah dengan cara menghilang dan diam membatu ketika bertemu. Nah, terlepas dari cara apapun yang dipilihnya, ia hakikatnya tetap berkomunikasi.
Melihat komunikasi yang begitu akrab dan erat dengan kehidupan manusia, sangat tidak heran jika al-Quran kemudian memberikan tuntunan-tuntunan yang harus dijadikan pegangan manusia dalam melakukan komunikasi. Sebab al-Quran tahu persis bahwa berkomunikasi bukanlah hal yang boleh dilakukan dengan sembarang.
Komunikasi yang dilakukan secara serampangan akan memberikan akibat yang fatal, baik secara individual ataupun sosial. Secara individual ia akan mengakibatkan frustasi, alienasi, dan beberapa penyakit jiwa lainnya. Sedangkan secara sosial, ia akan menimbulkan hambatan bagi masyarakat untuk saling pengertian, kerja sama, toleransi dan membatasi pelaksanaan norma-norma sosial.
Al-Quran dan Komunikasi
Kaidah-kaidah komunikasi dalam al-Quran yang akan dijelaskan di sini adalah buah pemikiran dari Dr. Jalaluddin Rakhmat (atau yang akrab dengan panggilan Kang Jalal), cendekiawan muslim yang juga ahli ilmu komunikasi.
Prof. Dr. Komarudin Hidayat (mantan Rektor UIN Jakarta) pernah berujar bahwa al-Quran adalah kitab yang terbuka bagi setiap disiplin ilmu. Ia bahkan mengajak dan mengundang seluruh ahli dengan disiplin ilmu yang dimilikinya untuk membaca dan meneliti kandungan-kandungannya.
Seorang dokter ketika membaca al-Quran, maka ia akan peka dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan kedokteran. Seorang psikolog ketika membaca al-Quran, maka ia akan peka terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan psikologi. Begitu pun dengan politisi. Ketika membaca al-Quran, ia akan peka dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan politik. Inilah saya kira yang juga dialami oleh Kang Jalal. Ia dengan latar belakangnya sebagai ahli ilmu komunikasi berhasil menguak ayat-ayat al-Quran yang memiliki keterkaitan dengan komunikasi.
Kang Jalal mengemukakan bahwa al-Quran memiliki perhatian yang lebih terhadap komunikasi. Al-Quran bahkan menyebut komunikasi sebagai fitrah manusia. Hal ini dapat kita lihat pada surah ar-Rahman ayat 1 sampai dengan 4:
(Tuhan) yang Maha Pemurah
Yang telah mengajarkan al-Quran
Dia menciptakan manusia
Mengajarkannya al-Bayan
Dalam kitab tafsirnya, Fath al-Qadir, Asy-Syaukani mengartikan al-Bayan sebagai kemampuan berbicara. Dan untuk mengetahui bagaimana tuntunan-tuntunan atau kaidah-kaidah berkomunikasi yang diajarkan al-Quran, kata Kang Jalal, terlebih dulu kita harus melihat beberapa kata kunci (key-concept) yang dipergunakan al-Quran tentang komunikasi.
Pada hasil penelusuran Kang Jalal, selain al-Bayan, setidaknya ada berapa kata yang juga merupakan kata kunci komunikasi dalam al-Quran, yakni al-Qawl. Ada 6 jenis kata al-Qawl yang sering digunakan oleh al-Quran dalam konteks perintah. Dari 6 jenis kata itulah kita akan melihat bagaimana kaidah-kaidah komunikasi yang ditawarkan oleh al-Quran. Enam kata itu adalah: qawlan sadidan (Q.S. 4:9) qawlan balighan (Q.S. 4: 63), qawlan masyuran (Q.S. 17: 28), qawlan layyinan (Q.S. 20: 44), qawlan kariman (Q.S. 17: 23), dan qawlan ma’rufan (Q.S. 4: 5).
Namun di sini tidak semua kaidah di atas akan diterangkan. Kita hanya akan mengulas dua kaidah: qawlan sadidan dan qawlan balighan. Mengapa hanya dua? Karena menurut anggapan saya kedua kaidah itu sudah mewakili empat kaidah yang lain.
Kaidah Qawlan Sadidan
Apa itu qawlan sadidan? Qawlan sadidan adalah perkataan yang benar, jujur, lurus, tidak bohong dan tidak berbelit-belit. Kaidah komunisasi pertama yang dikehendaki oleh al-Quran adalah berkata benar. Bagaimana menakar suatu perkataan itu benar atau tidak? Kang Jalal memberikan beberapa rule (cara).
Ia menegaskan bahwa sebagai seorang muslim, tentu tolak ukur benar tidaknya perkataaan seseorang dinilai dari kesesuaiannya dengan al-Quran, sunnah nabi dan ilmu. Al-Quran menyinggung dengan sangat keras orang-orang yang di dalam bediskusi tidak menjadikan al-Quran, petunjuk dan ilmu sebagai rujukannya:
Di antara manusia ada yang berdebat tentang Allah tanpa ilmu, pentunjuk dan kitab yang menerangi (Q.S. 31: 20).
Selain memerintahkan kepada manusia untuk berkata benar, al-Quran di sisi juga melarang tindakan menutupi kebenaran. Bagaimana ciri-ciri orang yang menyembunyikan kebenaran dengan komunikasi? Pertama, ciri orang yang menutupi kebenaran adalah menggunakan kata-kata yang abstrak, ambigu dan menghasilkan penafsiran yang sangat berlainan.
Contoh: ketika seseorang tidak tahan dikritik, dan ia tidak ingin mengakuinya, maka ia buatlah pernyataaan, “Saya sangat menghargai kritik, tetapi kritik itu harus disampaikan dengan cara yang berakhlak dan bertanggung jawab.” Kata “berakhlak” dan “bertanggung jawab” adalah kata abstrak yang sengaja dihadirkan untuk menghindari kritik.
Kedua, menutupi kebenaran dengan menciptakan istilah yang diberikan makna lain. Dalam bahasa yang lebih canggih, hal yang demikian disebut sebagai eufemisme atau pemutarbalikan makna. Contohnya adalah kita sering menggunakan istilah “kupu-kupu malam” untuk menyebut wanita yang melacurkan dirinya.
Kaidah Qawlan Balighan
Al-Quran mengatakan, “Berkatalah kepada mereka dengan qawlan balighan”. Apa itu qawlan balighan? “Baligh” memiliki arti sampai, mengenai sasaran atau mencapai tujuan. Kata qawl, bila disandingkan dengan kata “baligh”, maka ia berarti fasih, jelas maknanya, terang dan tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki. Dengan pengertian yang begitu, menurut Kang Jalal, kaidah qawlan balighan dalam bahasa yang lebih populer dapat kita terjemahkan sebagai komunikasi yang efektif.
Pola komunikasi yang efektif telah dicontohkan al-Quran melalui ayat-ayatnya dan telah dipraktikkan Nabi lewat sabda-sabdanya. Baik al-Quran ataupun Nabi, dalam banyak kesempatan, selalu sebisa mungkin menggunakan kata-kata atau kalimat yang jelas, padat, dan sekaligus sarat makna. Al-Quran dan Nabi hanya baru menggunakan kalimat yang panjang terhadap hal-hal yang memang membutuhkan penjelasan mendetail.
Kang Jalal memberikan dua paramater untuk menentukan apakah suatu komunikasi itu efektif atau tidak. Parameter yang juga ia ambil pijakannya dari al-Quran. Pertama, al-Quran menyebut suatu komunikasi dapat disebut efektif jika seorang komunikator dalam berkomunikasi menggunakan bahasa yang menyesuaikan kadar intelektual audiensnya. Rasul memerintahkan, “kallimhum biqadri ‘uqulihim (berbicaralah dengan mereka sesuai kemampuan akalnya.”. Al-Quran mengingatkan, “Tidak kami utus seorang Rasul kecuali ia harus menjelaskan dengan bahasa kaumnya.”
Kedua, qawlan balighan baru akan terjadi bila komunikator menggugah hati dan otak jamaahnya secara bersamaan. Tidak hanya mengguah hati, namun juga otak. Begitu sebaliknya. Pola yang semacam ini juga telah dicontohkan oleh al-Quran dan Nabi. Al-Quran lumayan sering mengajak pembacanya untuk berpikir dan pada yang sama juga menyentuh emosionalnya dengan nasehat-nasehatnya. Kang Jalal memerintahkan kita untuk melihat surat an-Naml 60-64 sebagai contoh.
Rasulullah pun demikian. Tidak sedikit dialog-dialog Nabi bersama sahabat-sahabatnya yang memperlihatkan pada kita bagaimana Rasulullah selalu mengajak sahabatnya untuk berpikir. Misal, ketika Nabi membacakan ayat al-Quran yang menyatakan bahwa lebarnya surga itu seluas bumi dan langit, seorang sabahat bertanya: “Kalau begitu, di manakah letaknya neraka?”. Nabi menjawab: “Bila malam datang, di manakah letaknya siang? Bukankah malam meliputi langit dan bumi?!”
Kaidah qawlan balighan yang dipraktikkan al-Quran dan Nabi di atas sekaligus menjadi kritik bagi kalangan muballigh saat ini yang di dalam ceramah-ceramahnya lebih banyak menitikberatkan pada membakar emosi jamaah ketimbang mengajak mereka berpikir dan melatih nalar kritis mereka.
Kajian-kajian yang bercorak kritis dan rasional kurang digelorakan. Malah, seperti yang jamak saya perhatikan di lapangan, kajian-kajian kritis terhadap agama malah berakhir dengan cibiran, hujatan dan persekusi. Akhirnya, meminjam bahasa Kang Jalal, pada masyarakat kita mantiq sudah berubah menjadi menthok!.
























Leave a Reply