Menjadi pemimpin dalam suatu urusan adalah hal yang tidak mudah bagi siapapun pemikulnya. Pasalnya, dalam setiap perkara beban amanat terbesar selalu ditopang oleh pemimpin. Sehingga sukses dan tidaknya suatu urusan sangat dipengaruhi oleh kapasitas pemimpin dalam mengarahkan anggotanya. Al-Qur’an sudah menjelaskan bahwa langit, bumi, dan gunung menolak ketika Allah mencoba menitipkan amanat kepada mereka. Namun ketika amanat ditawarkan kepada manusia (Adam), manusia tersebut berkata “radhitu yaa rabbi” (aku ridha wahai tuhanku). Dari situlah awal kepemimpinan manusia sebagai khalifah di muka bumi di mulai.
Dalam kepribadiannya secara menyeluruh, paling tidak pemimpin harus memiliki beberapa karakter pokok untuk menunjang tupoksinya. Menurut KH. Abdullah Syukri Zarkasyi ada 14 kriteria pemimpin, yaitu; 1. Ikhlas, 2. Dapat dipercaya, 3. Jujur dan terbuka, 4.Tegas, 5. Mau berkorban, 6. Bekerja keras dan sungguh-sungguh, 7. Mempunyai kemampunan berkomunikasi, 8. Menguasai permasalahan dan mampu menyelesaikannya, 9. Membuat jaringan kerja dan memanfaatkannya, 10. Mengambil inisiatif, 11. Berfikir inovatif, 12. Bernyali besar dan berani mengambil resiko, 13. Mua’amalah ma’allah dan ma’annas, 14. Cerdas dalam membaca keadaan dan memberi kebijakan.
Artikel ini tidak akan mengupas dalam ragam karakter pemimpin seperti yang disebutkan diatas sehingga pembahasan akan terlalu panjang. Atau menuliskan dan merincikan sebagiannya saja. Namun penulis akan berusaha menyajikan salah satu faktor hilangnya kriteria pemimpin nomor 2, yaitu “dapat dipercaya”.
Kaburo Maqtan
Secara umum, indikator hilangnya kepercayaan terhadap seseorang (umumnya) dan pemimpin (khususnya) adalah sifat bohong. Sifat tersebut biasanya diartikan sebagai perilaku berkata tidak sesuai pada fakta kenyataan. Selain itu, penulis berpendapat bahwa ada jenis kebohongan versi perbuatan. hal seperti ini telah disebutkan dalam surat ash-shaff ayat 2-3. Dalam dua ayat tersebut Allah menyeru kepada Hamba beriman dengan kalimat tanya bahwa mengapa mereka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan, padahal Allah sangat membenci hal yang seperti itu. Hal seperti itulah yang kemudian banyak dikenal oleh masyarakat sebagai sifat “kaburo maqtan”.
Dalam kehidupan sosial, tidak jarang terjadi fenomena yang penulis anggap sebagai sesuatu yang sangat disayangkan. Fenomena tersebut adalah menolaknya orang yang memiliki kapasitas pemimpin untuk mengatur suatu urusan. Mereka berdalih bahwa dalam kesehariannya, kebijakan yang ia putuskan belum tentu dapat dilaksanakan secara sempurna olehnya. Katakanlah bahwa seorang pemimpin memberikan kebijakan bahwa seluruh lapisan masyarakat yang ia naungi harus melaksanakan sholat dhuha empat rakaat. Namun, pada suatu saat pemimpin tersebut sedang safar sehingga membuatnya tidak dapat melaksanakan sholat dhuha empat rakaat sebagaimana yang ia perintahkan. Lantas apakah perihal tersebut dapat dikategorikan sebagai kaburo maqtan?.
Lafadh kaburo maqtan disebutkan sebanyak 2 kali dalam Alquran. Dalam tafsir Ath- thabari (dalam surat ash shaf ayat 2) menyebutkan bahwa kebencian terbesar Tuhan kalian (Allah) adalah perkataan yang tidak sinkron denga perbuatan. Adapun versi sebab turunnya ayat tersebut berbeda beda yaitu; teguran Allah terhadap kaum mukmin, tumbuhnya pengetahuan tentang keutamaan sebuah amal, pendapat lain dalam tafsir ini juga menyebutkan bahwa ayat ini turun sebab datangnya suatu kaum kepada Rasulullah bahwa mereka telah mengangkat senjata, dan telah memukul lawan. Padahal mereka belum melakukannya. Sedangkan dalam tafsir Ibnu Katsir ayat ini dikaitkan dengan hadis 3 tanda tanda orang munafiq.
Kaburo Maqtan sebagai Penjaga
Dalam teksnya ayat ini menjelaskan bahwa kaburo maqtan adalah hal yang sangat dibenci. Namun hal ini tidak bisa dijadikan alasan seseorang yang memiliki kapasitas untuk menolak mengatur suatu urusan. Berikut merupakan hasil reinterpretasi makna kaburo maqtan” menurut penulis.
- Kaburo maqtan adalah sesuatu yang sangat dibenci dan tidak ada keharaman didalamnya. Hal ini mengindikasi bahwa sifat tersebut sangat sulit untuk dihindari. sehingga tugas seseorang adalah mengupayakan dengan sebaik baiknya agar dalam segala urusan tidak terjadi kaburo maqtan. Atau paling tidak tingkat kaburo maqtan yang dilakukan pemimpin sangatlah rendah.
- Kaburo maqtan akan gugur dan tidak berlaku jika seseorang yang dihadapkan memiliki udzur syar’i
Pada akhir tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa setiap pemimpin boleh jadi memiliki sifat kaburo maqtan, namun yang membedakan adalah tingkatannya. Semakin sedikit kebencian Allah yang dilakukan, semakin besar potensi keberhasilannya. Untuk itu, bagi siapapun yang merasa memiliki kapasitas dalam kepemimpinan, maka terima dan laksanakan amanat dengan baik. Agar tampuk kepemimpinan tidak diisi oleh orang orang yang memiliki kadar kaburo maqtan yang lebih tinggi daripadanya. Jadilah pemimpin agar tahu bagaimana rasanya memimpin. Karena tidak mudah menjadi pemimpin, boleh jadi yang mudah adalah mengkritik pemimpin.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply