Kajian terhadap sejarah teks Al-Qur’an telah menjadi perhatian besar dalam studi Islam, baik oleh kalangan Muslim maupun orientalis Barat. Salah satu tokoh yang sangat menonjol dalam kajian ini adalah Arthur Jeffery. Beliau adalah seorang orientalis asal Australia yang meneliti teks Al-Qur’an dari perspektif filologis dan historis.
Arthur Jeffery dan Karyanya: Kritik terhadap Kodifikasi dan Transmisi Al-Qur’an
Dalam karya monumentalnya, Materials for the History of the Text of the Qur’an, Jeffery menyuguhkan pendekatan kritis terhadap kodifikasi dan transmisi teks Al-Qur’an. Karya ini menimbulkan kontroversi, namun juga membuka ruang diskusi ilmiah tentang bagaimana teks suci ini berkembang dalam sejarah awal Islam.
Menurut Jeffery, teks Al-Qur’an yang umat Islam kenal saat ini bukanlah satu-satunya versi yang pernah ada. Ia mengungkapkan bahwa pada masa awal Islam, terdapat berbagai bacaan (baca: qirā’āt) dan versi mushaf yang terdapat di antara para sahabat Nabi. Contohnya ialah Mushaf Ibnu Mas‘ūd, Mushaf Ubay bin Ka’b, dan lainnya. Seluruh mushaf ini tidak semuanya identik dengan Mushaf ‘Utsmān yang kemudian menjadi standard resmi mushaf Al-Qur’an.[1]
Jeffery mengkritisi proses kodifikasi Mushaf ‘Utsmān sebagai suatu proses yang tidak steril dari campur tangan politik dan seleksi sosial terhadap teks-teks yang beredar. Ia mengumpulkan berbagai varian bacaan dan bentuk mushaf yang tidak termasuk dalam versi kanonis. Darinya, ia menyimpulkan bahwa Al-Qur’an mengalami proses redaksional yang kompleks sebelum mencapai bentuk finalnya.
Dalam hal ini, Jeffery membandingkan proses kodifikasi Al-Qur’an dengan sejarah tekstual kitab-kitab suci lainnya, seperti Injil dan Taurat, di mana teks mengalami perjalanan panjang dengan berbagai penambahan dan penyusunan ulang.[2] Salah satu pendekatan Jeffery yang mencolok adalah bahwa ia memandang teks Al-Qur’an sebagai produk dari proses sejarah yang dapat dianalisis secara ilmiah dengan metode kritik tekstual Barat. Beda halnya dengan pandangan Muslim yang memercayai keotentikan dan keutuhan Al-Qur’an sejak awal pewahyuan.
Respons terhadap Pandangan Arthur Jeffery
Pandangan Arthur Jeffery tentu menuai banyak kritik dari kalangan sarjana Muslim. Pasalnya, sebagian menganggap kritik tersebut bertentangan dengan doktrin Islam yang meyakini bahwa Al-Qur’an terjaga secara mutlak dari perubahan.
Namun, kajian Jeffery juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab, ia menyajikan data manuskrip dan bacaan alternatif yang memang pernah ada dan tercatat dalam sumber-sumber klasik Islam sendiri. Contohnya ialah karya-karya Ibn Abī Dāwūd, al-Suyūṭī, dan lainnya.
Bahkan, tokoh-tokoh seperti Ignaz Goldziher dan Theodor Nöldeke, yang juga seangkatan dengan Jeffery, turut memperkuat pandangan bahwa keberagaman bacaan Al-Qur’an pada masa awal adalah fakta sejarah yang perlu ditelaah secara objektif meskipun kesimpulan mereka sering kali berbeda-beda.[3]
Pandangan Arthur Jeffery dan Tantangannya di Era Modern
Di era modern, kajian semacam ini memiliki urgensi tersendiri, terutama dalam rangka memperkuat dialog antara tradisi ilmiah Islam dan Barat. Dalam dunia akademik kontemporer, keterbukaan terhadap pendekatan interdisipliner dalam studi keislaman menjadi semakin penting. Karya-karya seperti milik Arthur Jeffery mengajak kita untuk melihat teks Al-Qur’an bukan hanya sebagai dokumen keagamaan, tetapi juga sebagai artefak historis yang hidup dalam ruang dan waktu tertentu.
Ini bukan berarti menegasikan kesakralannya, melainkan memperluas cara pandang dalam memahami sejarah perkembangan Islam dan teks sucinya. Apalagi dengan berkembangnya teknologi digital dan akses terhadap manuskrip kuno melalui proyek-proyek seperti Corpus Coranicum di Jerman dan Qur’an Manuscript Studies, para sarjana kini dapat membandingkan berbagai manuskrip Al-Qur’an kuno secara langsung. Hal ini juga membuka kembali peluang untuk melihat dinamika sejarah teks yang dulu hanya terkaji secara literer.[4]
Kajian Teks Al-Qur’an: Sebuah Tawaran Solutif di Era Modern
Urgensi kajian sejarah teks Al-Qur’an di era modern juga berkaitan dengan isu radikalisme dan pemahaman tekstual yang sempit terhadap wahyu. Dalam banyak kasus, interpretasi literal terhadap teks Al-Qur’an digunakan oleh kelompok ekstrem sebagai justifikasi atas tindakan kekerasan.
Kajian kritis terhadap sejarah teks dapat membantu mengembangkan pendekatan hermeneutis yang lebih kontekstual. Caranya ialah dengan memahami bahwa teks suci juga lahir dalam konteks sosial-budaya yang kompleks. Dalam hal ini, karya-karya seperti milik Jeffery dapat menjadi semacam pemantik untuk umat Islam sendiri agar menggali lebih dalam tradisi ilmiah internal Islam, seperti ilmu qirā’āt, asbāb al-nuzūl, dan tafsir maṣlahah yang lebih terbuka terhadap perubahan sosial.[5]
Selain itu, dalam dunia pendidikan dan akademik, pendekatan seperti yang Jeffery tawarkan mendorong terbentuknya generasi intelektual Muslim yang lebih kritis dan reflektif. Mereka tidak hanya menerima informasi secara dogmatis, tetapi mampu menilai teks dan ajaran agama dengan kesadaran sejarah dan konteks.
Dengan demikian, Al-Qur’an tidak hanya dimaknai sebagai kitab petunjuk spiritual, tetapi juga sebagai sumber refleksi intelektual yang menuntut pemahaman mendalam dan terus menerus. Di sinilah pentingnya menjadikan kajian sejarah teks Al-Qur’an sebagai bagian dari kurikulum studi Islam kontemporer yang bersifat transdisipliner dan inklusif.
Penutup
Sebagai penutup, meskipun karya Arthur Jeffery sering kali dianggap kontroversial dan bertentangan dengan arus utama pemikiran Islam, namun kontribusinya dalam mengangkat isu-isu penting dalam sejarah teks Al-Qur’an tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia membuka pintu bagi studi-studi lanjutan yang lebih kritis dan historis terhadap teks suci Islam.
Di era modern yang ditandai dengan keterbukaan ilmu pengetahuan dan pluralitas pemikiran, kajian seperti ini menjadi penting untuk membangun fondasi keilmuan Islam yang kuat, dinamis, dan responsif terhadap tantangan zaman.
Editor: Dzaki Kusumaning SM
Referensi
[1] Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an: The Old Codices, (Leiden: E. J. Brill, 1937), hlm. 5–10.
[2] Ibid., hlm. 15–20.
[3] Ignaz Goldziher, Schools of Koranic Commentators, dalam Muslim Studies, terj. S. M. Stern, (New York: SUNY Press, 1971), hlm. 123–145.
[4] Nicolai Sinai, “The Qur’an in Its Historical Context,” dalam The Qur’an in Context, ed. Angelika Neuwirth dkk, (Leiden: Brill, 2010), hlm. 5–11.
[5] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣṣ: Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqāfī al-Arabī, 1990), hlm. 28–35.


























Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.