Islam merupakan agama yang kompleks lagi sederhana. Kompleksnya Islam merangkul segala aspek kehidupan dunia dan akhirat dari perkara terkecil hingga terbesar. Kesederhanaan Islam berupa serangkaian pedoman hidup yang sedemikian rupa sederhana tanpa dipersulit. Allah Swt. meyakinkan hamba-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi:
…يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ…
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al-Baqarah [2] : 185)
Dalam shalat berjamaah, makmum shalat dengan mengikuti gerakan imam. Imam sebagai pemimpin shalat berjama’ah tidak boleh didahului oleh makmum. Adapun dalam beberapa kesempatan, makmum kewalahan dalam mengikuti gerakan imam, entah ini disebabkan imamnya terlalu cepat atau malah terlalu lambat. Atau juga bacaan yang kurang fasih dan lain sebagainya.
Cara Sholat Berjamaah
Umat Muslim yang sudah baligh, berakal sehat, dan paham bacaan serta rukun shalat dapat menjadi imam shalat. Imam laki-laki dalam setiap kesempatan pada umumnya, imam perempuan apabila shalat berjamaahnya khusus untuk perempuan. Walaupun sudah memenuhi syarat menjadi imam, belum tentu ahli menjadi imam shalat. Seorang imam juga layaknya mampu mengatur saf shalat, membaca bacaan shalat dengan fasih, tuma’ninah, dan satu hal yang kerap diabaikan yaitu mampu mengondisikan keadaan makmumnya.
Dalam beberapa hadits telah disebutkan bagaimana imam selayaknya mengondisikan shalat berjamaah terhadap keadaan makmumnya. Dalam Shahih Bukhari-Muslim terdapat setidaknya lima hadits terkait perkara ini. Dua di antara hadits tersebut yakni sebagai berikut:
حَدِيْثُ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ إِنِّيْ وَاللَّهِ لأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مِنْ أَجْلِ فُلَانٍ مِمَّا يُطِيْلُ بِنَا فِيْهَا قَالَ: فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطُّ أَشَدَّ غَضَبًا فِيْ مَوْعِظَةٍ مِنْهُ يَوْمَئِذٍ ثُمَّ قَالَ: يأَيُّهَا النَّاسُ إنَّ مِنْكُمْ مُنْفَرِّيْنَ فَأَيُّكُمْ مَا صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيُوْجِزْ فَإِنَّ فِيْهِمُ الْكَبِيْرَ وَالضَّعِيْفَ وَذَا الْحَاجَةِ (أخرجه البخاري في: ٩٣ كتاب الأحكام: ١٣ باب هل يقضي الحاكم أو يفتي وهو غضبان)
“Abu Mas’ud Al-Ansharia berkata: “Ada seseorang datang kepada Nabi , dan berkata: “Ya Rasulullah, demi Allah aku terpaksa mundur berjama’ah subuh karena si Fulan (imamnya) sangat panjang bacaannya.” Abu Mas’ud melanjutkan: “Belum pernah aku melihat Nabi n dalam nasihatnya marah seperti waktu itu, kemudian bersabda: “Hai manusia, di antara kalian ada orang yang menimbulkan keresahan, maka siapa yang mengimami orang lain harus menyingkat, sebab di antara makmum itu ada yang tua, yang lemah, dan yang sedang ada kepentingan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari pada Kitab ke-93, Kitab Ahkam bab ke-13, bab bolehkah seorang hakim memutuskan atau memberi fatwa dalam keadaan marah).
حَدِيثُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ إِمَامٍ قَطُّ أَخَفَّ صَلَاةً وَلَا أَتَمَّ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنْ كَانَ لَيَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَيُخَفِّفُ مَخَافَةَ أَنْ تُفْتَنَ أُمُّهُ (أخرجه البخاري في: ١٠ كتاب الأذان: ٦٥ باب من أخفف الصلاة عند بكاء الصبي)
“Anas bin Malik a berkata: “Tidak pernah aku shalat di belakang imam yang lebih ringan dan lebih sempurna dari Rasulullah n, bahkan pernah Nabi n (ketika menjadi imam) mendengar tangisan bayi, maka beliau menyegerakan shalatnya karena khawatir ibunya kerepotan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari pada Kitab ke-10, Kitab Adzan bab ke-65, bab orang yang meringankan bacaan shalat ketika mendengar tangisan bayi).
Etika Menjadi Imam dan Makmum dalam Sholat
Mengondisikan keadaan makmumnya berarti dapat mengatur “ritme” dalam shalat berjama’ah agar makmum dapat mengikuti dengan baik dan tenang. Imam harus melihat makmumnya terlebih dahulu. Apabila makmumnya terdapat yang sudah lemah, sakit, atau tua, maka bacaan shalat cukup yang singkat saja. Tidak perlu memperpanjang bacaan dengan pikiran hal tersebut akan memperbanyak pahala, karena makmum malah terbebani dalam shalat.
Kemudian, imam harus melihat keadaan makmumnya, terutama ditinjau dari waktu. Misal dalam shalat subuh berjama’ah, maka wajar saja jika shalat berjama’ah agak lamban dan santai, karena pada waktu itu tubuh kita masih belum terlalu aktif selepas bangun tidur. Pada waktu subuh pula cenderung tidak banyak yang sedang atau akan langsung berangkat seusai shalat, sehingga waktu yang diluangkan untuk beribadah lebih banyak. Akan tetapi, jangan sampai terlalu diperlamban karena itu malah akan meresahkan makmum.
Berbeda dengan shalat dzuhur dan ashar, di mana pada saat itu banyak yang masih kerja atau kesibukan lainnya. Pada masa-masa demikian shalat tidak perlu tergesa-gesa, tetapi jangan pula terlalu lamban. Karena secara langsung maupun tidak langsung, kita dapat mengganggu kesibukan orang lain. Dengan demikian mereka dapat menuntaskan kerjanya tanpa terganggu lama waktu shalat berjama’ah tadi. Rasulullah Saw. telah menunjukkan betapa pahamnya beliau dengan kondisi makmumnya ketika beliau menjadi imam shalat. Hal ini patut kita teladani dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena Allah tidak menghendaki karena ibadah yang dipersulit, urusan kita malah berantakan. Hendaknya kita tetap menjalankan perintah Allah dan sunah-sunah Rasulullah Saw. agar urusan dunia maupun akhirat tetap lancar. Amin.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply