Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

‘Izz al-Din Ibn Abd al-Salam: Penulis Dua Kitab Tafsir

‘Izz al-Din
Gambar: islamkita.co

Pada 2015, saya memulai perjalanan master’sdegreedi InternationalIslamicUniversityMalaysia(IIUM). Di semester pertama, saya mengambil mata kuliah Nadhariyyat Maqasid al-Shari’ah. Pengampunya adalah Prof. Dr. Bouhedda Ghalia, asal Tunisia.

Ketika itu, beliau sedang membahas sejarah pemikiran maqasid al-shari’ah. Dari al-Juwaini, al-Ghazali, al-Shatibi, hingga Ibn Ashur. Termasuk Abd al-Aziz Ibn Abd al-Salam alias ‘Izz al-Din. Entah bagaimana, sejak pandangan pertama saya terpikat dengan tokoh terakhir ini. Kesamaan nama barang kali salah satu alasannya.

Dalam kelas tersebut, ada seorang kawan Nigeria bernama Habib Bature. Karena paper saya tentang ‘Izz al-Din, setiap kali bertemu, selalu saja dia memanggil saya sultan al-ulama – gelar ‘Izz al-Din. Tentu dengan intonasi tinggi-rendah yang dibuat-buatnya. Saya yakin dia sedang ber-mujamalah (basa-basi). Saya pun lebih menganggapnya sebagai doa.

Beberapa bulan kemarin, saya berinisiatif mendirikan Ahsin Forum for Maqasid al-Shari’ah. Satu forum kajian tentang tujuan pensyariatan hukum-hukum Islam. Di antara pokok kajiannya adalah karya-karya ‘Izz al-Din. Saya berbaik sangka semoga inisiatif tersebut adalah doa Habib yang dikabulkan.

Setiap minggu diadakan kajian. Apa yang saya temukan dalam penelusuran intelektual tersebut adalah ‘Izz al-Din ternyata seorang sarjana yang menulis dua kitab tafsir. Satu prestasi yang hampir tidak ditemukan dalam karya-karya para sarjana lain.

Izz al-Din Sebagai Perangkum Tafsir al-Mawardi

Sebagian besar masa kehidupan ‘Izz al-Din (1181-1262) dihabiskan pada abad ke-13, yaitu periode akhir Dinasti Ayyubiyyah (1171-1260) dan awal Dinasti Mamluk (1250-1517). Sebagaimana diketahui bahwa masa ini merupakan era kemunduran Islam setelah berabad-abad menguasai dunia dari sejak era Umawiyyah, Abbasiyah, dan juga Umawiyyah di Andalusia.

Dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib, Fakhr al-Din al-Razi mengatakan, “idha tamma amrun dana naqshuhu tawaqqa’ zawalan”. Artinya, segala hal jika sudah mencapai puncaknya, maka yang tersisa adalah kemundurannya. Dan inilah yang terjadi pada peradaban Islam pada abad ke-13.

Baca Juga  Ulul Albab dalam Al-Quran: Lebih dari Sekedar Cendekiawan

Tanda kemunduran yang paling jelas adalah dihancurkannya Baghdad, jantung peradaban Islam ketika itu, oleh pasukan Mongol pada 1258. Tanda kemunduran lain adalah merebaknya karya-karya ringkasan. Hal ini lantaran ilmu pengetahuan sudah mencapai klimaks (‘ashr al-nudhuz).

Sebagian contoh tradisi meringkas tersebut adalah apa yang dilakukan ‘Izz al-Din. Ia mengulas al-Nukat wa al-‘Uyun, kitab tafsir yang ditulis Imam al-Mawardi (974-1058). Tidak disebutkan secara eksplisit mengapa ia memilih karya ini untuk diringkas. Meski demikian, ada beberapa pendapat dari para sarjana yang patut dipertimbangkan.

Alasan Merangkum Tafsir Al-Mawardi

Abdullah Ibrahim al-Wahibi, penulis ‘Izz al-Din Ibn Abd al-Salam: Hayatuhu wa Atsaruhu wa Manhajuhu fi al-Tafsir, menyatakan bahwa hal tersebut lantaran posisi tafsir al-Mawardi yang demikian sentral. Sentralitas ini terlihat dari betapa ia menjadi salah satu rujukan utama bagi para tokoh tafsir setelahnya. Seperti al-Qurtubi, Ibn Qayyim al-Jawzi, dan juga al-Razi.

Selain itu, lanjut al-Wahibi, inisiatif ‘Izz al-Din tersebut agaknya juga dipicu oleh ukuran tafsir al-Mawardi itu sendiri yang memang relatif tebal untuk orang awam. Karenanya diperlukan ringkasan untuk memudahkan pemahaman mereka. Semangat memudahkan (taysir) inilah yang mendorong ‘Izz al-Din meringkas kitab tersebut.

Pemilihan terhadap karya al-Mawardi, dalam pandangan penulis, agaknya juga disebabkan kapasitas al-Mawardi itu sendiri. Dengan karya-karya seperti al-Ahkam al-Sultaniyyah, Adab al-Wazir, Nashihat al-Muluk, dan Adab al-Dunya wa al-Din. Dia dikenal sebagai salah satu peletak dasar filsafat, etika, dan konsep politik Islam.

Karya semacam ini bisa dibaca sebagai respon terhadap banyaknya penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di masanya. Keberanian, kecerdasan, dan kesantunan al-Mawardi tentu menginspirasi banyak orang termasuk di dalamnya adalah ‘Izz al-Din.

Terlepas dari fakta bahwa tradisi meringkas tersebut adalah by-product dari kemunduran Islam, tidak dapat disangkal bahwa ia juga menyimpan sisi positif. Buktinya adalah hari ini kita masih bisa menyaksikan tradisi tersebut tetap terpelihara terutama dalam tradisi intelektual Barat. Di antara bentuknya adalah article review, book review, dan abridged book.

Kitab Tafsir Kedua Izz al-Din

Karya tafsir kedua yang ditulis oleh ‘Izz al-Din adalah Tafsir al-Qur’an al-Adhim. Tafsir ini sepenuhnya merupakan representasi pandangan dan pemahamannya terhadap al-Qur’an. Jika dibandingkan dengan kitab tafsir yang pertama, yang kedua ini jelas lebih tebal. Ketebalan ini adalah akibat uraiannya yang lebih luas.

Baca Juga  Tafsir Psikologis: Kebahagiaan Sejati Itu di Akhirat

Dalam tafsir yang pertama, ia mencukupkan diri memberi penjelasan terhadap kalimat yang dianggap kurang jelas (ghumudh). Adapun terhadap yang kedua ini, ia memberikan uraian yang cukup lengkap di hampir setiap kalimat dalam al-Qur’an.

Dalam penelitian penulis, perhatian ulama terhadap kitab tafsir yang kedua ini masih terbilang sedikit. Kajian yang membandingkan antara kedua kitab tafsir ‘Izz al-Din juga relatif singkat.Padahal beliau adalah sosok agung yang memberikan keteladanan dalam integritas kepribadian.

Pejuang Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Spirit integrasi yang dimiliki ‘Izz al-Din tidak hanya terlihat pada kemampuannya mengintegrasikan dua tradisi penafsiran. Hal penting yang juga perli dicatat adalah kemampuannya mengintegrasikan antara usaha meraih kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kerusakan (al-nahy ‘an al-munkar).

Dalam bidang maqasid al-shari’ah, sebagai contoh, kebaikan yang ditanam Izz al-Din adalah karyanya berjudul Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Di dalamnya ia berhasil menguraikan metode standarisasi mashlahah. Hal ini amat penting sebab mashlahah itu sendiri pada praktiknya cukup relatif. Berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Fenomena childfree belakangan ini, sebagai contoh, merupakan produk perbedaan cara pandang terhadap mashlahah. Bagi sebagian muslim, ia merupakan hak setiap pasangan demi kemaslahatan mereka. Bagi sebagian lain, ia bukan kemaslahatan. Kepentingan sebuah pasangan tetap harus terikat dengan kemaslahatan yang lebih besar; dogma dan etika agama.

Meski demikian, ‘Izz al-Din tidak membatasi diri pada kema’rufan tinta yang ditumpahkan melalui karya-karyanya. Ia berhasil mengawinkannya dengan nahi munkar, yaitu usaha untuk mencegahkemunkaran dan kemaksiatan yang berlaku di masyarakat.

Ketika di Damaskus, ia berani berhenti membacakan doa untuk Sultan al-Salih Ismail lantaran ia berkolaborasi dengan tentara Salib untuk menghancurkan Mesir yang merupakan saudara seagama. Di akhir hayatnya di Mesir pun, ia dikenal sebagai inspirator ulung dan tokoh utama Perang Ain Jalut melawan Mongol.

Baca Juga  Mengenal Kitab Tafsir Fatihah Karya KRH Hadjid

Untuk usaha yang terakhir ini, bahkan ia tidak segan untuk memerintahkan Sultan Quthuz dan keluarganya tidak bermewah-mewah dalam hidup. Bahkan mereka harus menjual segala perhiasan mereka demi kepentingan negara. Pada akhirnya, umat Islam berhasil menang dan mempertahankan Kairo sebagai benteng pertahanan terakhir.

‘Izz al-Din bukan hanya menuliskan penanya di atas dua kitab tafsir. Lebih jauh lagi ia mampu menuliskan integritas intelektual dan kepribadiannya dalam hati dan fikiran umat Islam. Ia berhasil menyadarkan pentingnya keseimbangan antara amar ma’ruf dan nahi munkar. Setiap kali membahas ‘Izz al-Din, sering kali saya teringat doa Habib. Wallahu A’lam.

Penyunting: Bukhari

Postgraduate Student di Institute of Knowledge Integration (IKI) Georgia, Peneliti di Ahsin Forum for Maqasid Studies dan Anggota Sahabat Pena Kita (SPK). Minat kajian: maqasid al-shariah, sejarah dan pemikiran Islam