Seorang Muslim wajib mengimani bahwa; alam dunia adalah tempat beramal sebagai persiapan di alam akhirat kelak. Itulah mengapa, dalam syariat Islam, adanya perintah dan larangan sebagai konsekuensi yang harus dipatuhi dan diikuti. Sebab untuk mendapatkan surga, tidaklah mudah. Artikel ini akan membahas istifham inkari dalam qs. Al-Qiyamah ayat 36.
Tentang adanya hari akhir, Allah senantiasa mengecam kepada siapa saja yang mengingkarinya melalui firman-Nya. Di dalam surah al-Qiyamah ayat 36, Allah melontarkan pertanyaan kepada kaum kafir. Dalam ilmu balaghah, pertanyaan tersebut dinamakan istifham inkari. Yakni sanggahan dalam bentuk pertanyaan. Allah Ta’ala berfirman:
اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَنْ يُّتْرَكَ سُدًىۗ
“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?”.
Penafsiran Ayat
Dalam tafsir as-Sa’di, maksudnya adalah apakah Allah membiarkan manusia menganggur, tanpa diperintah dan dilarang, tanpa diberi pahala dan diberi siksa? Ini adalah pemikiran yang batil dan anggapan yang keliru terhadap Allah karena tidak sesuai dengan kebijaksanaan.
Senada dengan itu, al-Qurthubi menafsirkan bahwa apakah setelah masuk ke dalam kubur maka segala urusan selesai? Hal tersebut disanggah oleh Allah dalam ayat di atas. Sedangkan di dalam tafsir Ibnu Katsir, zahir ayat ini mencakup dua keadaan; ia tidak akan dibiarkan di dunia ini menganggur tanpa diperintah dan dilarang, serta ia tidak akan dibiarkan di alam kuburnya. Bahkan ia akan dibangkitkan dan dikumpulkan di padang mahsyar. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/283).
Ayat yang berhubungan dengan firman Allah di atas sebagaimana diterangkan Ibnu Katsir terdapat dalam surah al-Mu’minun ayat 115:
اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنٰكُمْ عَبَثًا وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”
Penjelasan Istifham Inkari
Di dalam tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, sudan (سدى) dengan huruf sin yang didhammahkan serta berharakat pendek, maknanya adalah al-muhmalu (المهمل) yang artinya diabaikan, dilalaikan. Lafaz ini juga adalah lafaz yang jenis mufrad dan jama’ nya sama.
Menurut Imam Syafi’i, ulama tidak berselisih pendapat mengenai makna as-Suda (السدى). Yakni la yu’maru wa la yunha; tidak diperintah dan tidak dilarang. (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, 29/366). Dalam konteks ayat di atas, maka imam Syafii dan para ulama sepakat satu hal. Bahwa ayat di atas sebagai sanggahan terhadap orang kafir yang bahwa di dunia tidak diperintah (untuk beribadah) dan tidak dilarang (melakukan maksiat).
Secara lebih terperinci, al-Mawardi di dalam tafsirnya menguraikan sebanyak empat pendapat mengenai penafsiran ayat di atas. Pertama, sanggahan kepada orang kafir bahwa di dunia tidak diwajibkan beramal saleh. Kedua, sanggahan kepada orang kafir yang menyangka tidak akan dibangkitkan lagi dari alam kubur. Ketiga, sanggahan kepada orang kafir yang menyangka bahwa di dunia tidak diperintah ibadah dan tidak dilarang maksiat. Keempat, sanggahan kepada orang kafir bahwa mereka tidak akan dibiarkan begitu saja tanpa dihisab dan dibalas aegala perbuatan di dunia.
Di dalam tafsir at-tahrir wa at-tanwir ditegaskan bahwa maksud an yutraka suda adalah kinayah dari balasan. Bahwasanya segala perbuatan di dunia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat.
Ayat ini sebagai bahan renungan bagi kita semua akan adanya hari akhir. Kematian seseorang bukanlah sesuatu yang telah selesai. Semua yang diperbuat di dunia akan dipertanggungjawabkan.
Maka adanya perintah dan larangan di dunia sebagai clue dari Allah untuk kita semua agar selamat di dunia dan akhirat. Demikian lontaran pertanyaan yang begitu indah dan mendalam dalam ayat ini untuk menjawab keraguan akan adanya hari kebangkitan dan hari akhir.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.