Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Islam yang Menggembirakan

Islam

“Dalam gereja mereka, Tuhan adalah pengasih dan sumber segala kasih. Sedang di masjid atau langgar-langgar, dalam ucapan dai-dai kita, Tuhan tidak lebih mulia dari hantu yang menakutkan dengan neraka di tangan kanannya dan pecut api di tangan kirinya” (Ahmad Wahib)

Kita telah memulai catatan ini dengan kalimat Ahmad Wahib diatas. Ia mengkritik cara ber-Islam orang di zamannya, tetapi kritik itu berlaku pula di jaman sekarang. Tak berkurang-kurang, malah bisa mungkin bertambah parah. Wahib membesuk para pendakwah, dan dilihatnya para pensyiar itu dihinggapi penyakit parah: muda marah, suka menggertak, pandai menakut-nakuti, dan menyeramkan.

Ahmad Wahib wafat 1973 silam, tapi tak lantas kritiknya mati jua, seutuhnya kritik itu dapat pula dipakai demi melihat jaman ini. Itu berarti, kita sebagai ummat dan pula ulama tak lantas sembuh dari penyakit marah dan murka, pula suka menggertak. Betapapapun pengetahuan telah berkembang sedemikian deras, tetapi pengetahuan memang tak selalu acap membentuk akhlak. Dan kita sering menjadi yang tahu tapi tak berakhlak.

Kondisi Abad Ini

Dan kita telah sampai pada abad ini, tepat saat teknologi komunikasi telah mendarat, pula mengudara. Begitupun tabiat buruk kita, teknologi memudahkan segalanya, termasuk kita semakin mudah mendera orang lain dengan kata “kafir”, “sesat”, “durhaka”, “neraka”. Melalui mimbar masjid, media sosial, misalnya Youtube, dan lainnya, kita lancarkan kalimat sumpah serapah, dengan ayat, lalu kita hadirkan Tuhan sebagai hantu, pembawa neraka, sesaat mungkin bisa membakar.

Di ruang perkotaan dan di media sosial, Islam dimanifestasikan para ustad melalui wajah yang simbolis dan sloganistik. Para ustad selebritis itu, ucapannya dinukil, kemudian disunting, lalu didramatisasi, ditambah backsound musik. Dakwah lalu beralih panggung selebrita, sampai-sampai sering subtansi sudah tak terjamah, atau mungkin memahaminya setengah-setengah. Syiar di media sosial itu tidak saja perang maya, melainkan pula seteru di ruang nyata. Yang terjadi di ruang sosial adalah pagelaran kata “musyrik”, “kafir”, “mubtadi”, “murtad”.

Baca Juga  Melihat Konsep Manusia dalam Al-Qur'an

Kondisi itu mendarat tepat pada literasi kita yang kian buruk, serta kejiwaan kita yang tidak stabil. Puncaknya, Islam lalu tertampil sebagai agama yang kejam, ngeri, dan kadang-kadang lara. Yang hilang dari sebagian kita adalah Islam yang senyum, bahagia, sorai dan menggembirakan.

Akhlak Dalam Dakwah

Baiknya kita amati kembali firman Tuhan tatkala Ia gambarkan Muhammad, sang nabi teladan itu. Allah berfirman: Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur (QS Al-Qalam [68]: 4). Melalui butir itu, tenggambar sebuah syarat seorang penyampai, penyiar. Bahwa sebisa mungkin kita dasari dakwah dengan akhlak yang sejuk dan luhur. Akhlak, tidak melulu bermakna sikap, kita bisa mulai dari berucap. Demi penegasan tabiat nabi, Allah pula tegaskan dalam butir firman yang lain: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. (QS Al-Ahzab [33]: 21).

Akhlak adalah pangkali dari syiar yang sampai. Selepas itu, perlu pula diperhatikan cara kita berdakwah. Jangan seperti suara keledai, berupayalah merendahkan nada suara, biar pesan sampai dengan lembut, tiada keras tidak pula kasar. Allah sendiri yang memerintahkannya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-Nahl: 125).

Maka poinnya adalah ajak orang dengan nada yang halus demi menyentuh bilik perasaannya, dengan materi yang baik. Dan dengannya, jangan merasa paling tahu, pula paling selamat, lalu mendera orang lain tersesat. Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalannya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Baca Juga  Mengenal Nabi Muhammad di Dalam Al-Qur'an

Dakwah; Pengetahuan Sekaligus Kesadaran

Sebetulnya dakwah adalah medium tukar tambah pengetahuan juga kesadaran. Maka ia sekaligus adalah ukuran dakwah kita. Pengetahuan juga kesadaran hanya bisa terbentuk dari tabiat pendakwah yang baik, metode dakwah yang lembut lagi mengajak. Artinya, dakwah yang buruk adalah syiar yang kasar dan keras, bila keduanya dipraktikkan, dakwah bisa jadi tak sampai, justru yang dituai malah emosi.

Siapa pula kita ini, sering sehendak jidat menuduh orang lain serta seenak lidah menghardik mereka. Tabiat buruk sering kita pertontotonkan, mulanya menjadi pengadil yang tidak adil, menunjukkan kesalahan orang lain dengan cara yang keliru pula. Bukankah menyampaikan kebenaran dengan cara yang salah adalah tidak dibenarkan. Jangan kasar dalam syiar, sedang Tuhan saja memberi diktum pada Musa dan Harun kala hendak berdakwah pada Fir’aun : Maka ucapkanlah kepadanya perkataan yang lembut, tidak kasar dan keras, dengan harapan agar ia sadar dan takut kepada Allah, lalu bertobat kepada-Nya. (Thaha: 44)

Tidak ada yang sejumawa Fir’aun di abad ini, tapi jangan-jangan tabiatnya menempel di dinding kejiwaan kita: sombong, angkuh, merasa diri paling benar. Semoga tidak demikian. Semoga kita terhindarkan.

Tapi mengapa, mengapa sering kita dera orang lain dengan dosa, lalu sekehendak kata menggaransi ampunan. Padahal Tuhan saja firmankan:  “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53).

Islam Yang Menggembirakan

Sungguh, Islam ini adalah salam, agama yang selamat-menyelamatkan, pula menggembirakan. Tuhan menciptakannya dalam gembira dan raya, maka jangan mewajahkannya pemarah dan murka. Bukankah indah melihat Islam sebagai keramahan, kelembutan dan kesejukan. Demikian itu adalah perwujudan daripada fungsinya sebagai rahmatallilalamin.

Mari kita mulai dari sekarang, merayakan Islam, melalui ketenangan dan kesejukan, persis ketika menekan papan ketik demi menuliskan syiar di media sosial, atau mengedit konten di Youtube, pula saat berdiri di mimbar masjid. Mari rayakan Islam, Islam yang menggembirakan.

Baca Juga  4 Alasan Mengapa Al-Qur’an Berbahasa Arab

Editor: Ananul Nahari Hayunah