Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Islam Sebagai Agama dan Politik

politik
Sumber: https://www.freepik.com/

Sejarah penyebaran Islam pada zaman Nabi hingga Khulafaur Rasyidin memperlihatkan dalam waktu yang bersamaan; kekuatan Islam sebagai sebuah keimanan dan sebagai sebuah sistem politik. Kegiatan diplomatik atau tindakan militer membuat Islam membentuk hegemoni di tanah Arab, dengan melenyapkan fanatik kesukuan yang telah mengakar dan menjadikan semua bersatu di bawah nama Islam sebagai negara (daulah).

Makna daulah dalam bahasa Arab merujuk kepada konsep negara sama seperti halnya kata devlet dalam bahasa Turki, sedangkan kata daulat dan hukumah dalam bahasa Persia merujuk kepada pemerintah. Berbeda pula ketika kata daulah pada zaman jahiliyah diartikan sebagai “masa-masa keberhasilan”

Beriringan dengan berkembang pesatnya syair-syair ketika itu, juga mempunyai makna lainnya seperti “kemenangan, dinasti” bahkan lebih sempit diartikan sebagai “keluarga”. Definisi daulah oleh Ibnu Khaldun dengan pemahaman yang modern menyamakan dengan kata mulk dan siyasah aqliyah (politik dan pemerintah yang berdasarkan hukum positif dan akal).

Selain itu di dalam al-Qur’an menyebutkan kata hizb dengan bentuk majemuknya hizbullah bermakna fraksi atau partai politik. Beberapa negara Islam enggan menggunakan kata hizb karena sifat dari hizb atau partai yang memecah belah, maka digunakan kata lainnya seperti jam’iyah, harakah. Walau demikian tetap saja ada yang menggunakan kata hizb.

Tarik menarik definisi daulah Islamiyah terbagi menjadi empat variasi: pertama adalah kekhalifahan utuh, dipahami dengan bentuk khilafah berdasarkan format zaman Islam klasik didukung legitimasi histori. Kedua adalah kekhalifahan minus, dimana menggunakan syariah sebagai penentuan hukum walau bukan penentu utama. Ketiga adalah kerajaan yang banyak diadopsi oleh negara di Timur Tengah dengan pola non-konstitusional, melibatkan ikatan tradisional untuk menjamin pelaksanaan syariah. Keempat adalah konfederasi dengan semangat pluralitas tanpa mengabaikan ajaran Islam sebagai tonggak utama.

Baca Juga  Konsep Keadilan Sosial Perspektif Al-Qur’an

Islam dan Negara di Indonesia

Indonesia mengalami kebangkitan di kala Islam masuk ke Nusantara membawa ajaran yang menentang penjajahan dan membangkitkan semangat perlawanan ditiap-tiap daerah, membuat Islam diterima oleh semua lapisan masyarakat. Setiap pertempuran melawan penjajah hingga Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 tidak pernah terlepas dari peran ulama dan santri. Islam dengan ini dapat dilihat dari dua bagian: Islam sebagai agama dan Islam sebagai politik.

Berlanjut pasca kemerdekaan, peran Islam dalam bernegara dengan berdirinya Partai Masyumi sebagai partai Islam bercorak kesatuan. Didorong kesadaran perlu diciptakan suasana hubungan yang baik antara partai-partai dan organisasi Islam. Bertahan cukup lama, organisasi Islam di bawah nama Masyumi seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis dan lain-lain, berjalan harmonis hingga Nahdlatul Ulama memisahkan diri dan puncaknya Masyumi diumumkan bubar melalui Keputusan Presiden No.200/1960.

Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan Masyumi, pertama adalah pertentangan terus menerus dengan PKI dan PNI berkaitan dengan dasar konstitusi negara. Kedua adalah menyangkut konflik internal dalam Masyumi yang terdiri dari organisasi-organisasi Islam, yang memiliki corak berbeda antara tradisionalis dan modernis.

Ketiga adalah dikotomi Partai Nasionalisme dan Partai Islam. Partai Nasionalisme seolah memberi nuansa bahwa partai tersebut memiliki komitmen hebat terhadap kepentingan nasional secara keseluruhan, memiliki kepedulian besar terhadap kemajuan bangsa, tidak peduli apa suku, ras dan agama. Sebaliknya Partai Islam adalah partai yang digambarkan hanya memiliki komitmen untuk kepentingan umat Islam, tidak memiliki kepedulian pada bangsa secara keseluruhan yang plural dan majemuk.

Begitu pula dalam penggunaan teori politik, Masyumi cenderung menggunakan pemahaman sebagai dar al-islam (negara Islam) yakni segala sesuatu harus berjalan secara hukum damai. Dalam suatu pertemuan terdapat usulan untuk menggunakan pemahaman sebagai dar al-harb (negara perang) yakni tipu daya boleh dilakukan untuk kepentingan Islam. Diterapkan dalam mencari dana dan untuk mengisi kedudukan berbagai jabatan pemerintahan. Namun usulan tersebut hilang dan tidak dihiraukan dengan penolakan tegas dari Ketua Umum kala itu, Natsir.

Baca Juga  Penanaman Nilai Demokrasi yang Berkemajuan Dalam Islam

Politik Islam dan Islam Politik

Umat Islam pasca Masyumi dibubarkan, berjalan masing-masing. Namun kesadaran pentingnya kesatuan antara umat, membuat umat Islam berjalan bersama. Kembali di dalam poros tengah yang muncul setelah pemilu tahun 1999. Bermula dari keprihatinan Bambang Sudibyo dalam sebuah diskusi pada Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta mengenai pemusatan dalam perebutan kursi presiden yang tertuju antara Megawati (PDIP) dan B.J Habibie (Golkar).

Melihat hasil kursi dalam pemilu yang didapatkan PDIP dan Golkar masing-masing 153 dan 120. Jika partai-Partai Islam dapat bersatu maka perebutan kursi presiden dapat ditentukan oleh poros tengah dengan memunculkan nama baru. Pada akhirnya hal itu dapat terjadi dengan memunculkan nama Abdurrahman Wahid dan kemudian ditetapkan menjadi presiden pada 20 Oktober 1999 dengan 373 suara.

Dengan semua gambaran tersebut, maka hubungan antara Islam dan politik ada dua bentuk; Pertama adalah Politik Islam, perjuangan kelompok Islam untuk menjadikan Islam sebagai sebuah sistem hidup dalam masyarakat. Kedua adalah Islam Politik, upaya menjadikan Islam sebagai sarana memperoleh sumber kekuasaan.

Editor: An-Najmi Fikri R

.