Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Islam Menganjurkan Kita Berfilsafat

Berfilsafat
Sumber: artikula.id

Haramkah Filsafat?

Problematika pengharaman filsafat bukanlah suatu hal yang baru dalam tradisi keilmuan Islam. Serangan terhadap disiplin ilmu ini menjadi marak saat seorang teolog masyhur yaitu al-Ghazali menerbitkan karya yang sangat berpengaruh dan kontroversial pada saat itu, yaitu Tahafut al-Falasifah. Serangan-serangan yang ada di dalam karya tersebut kemudian diredam oleh Ibn Rusyd melalui karya beliau Tahafut at-Tahafut.

Pada masa sekarang penghakiman terhadap haramnya filsafat pun masih menjadi permasalahan yang cukup sering dibicarakan. Belakangan ini beberapa pembelajar filsafat di Indonesia tersentil oleh salah satu postingan yang menyebutkan bahwa filsafat itu haram. Postingan itu melandaskan penghakimannya pada pernyataan Imam Asy-Syafi’i yang mengatakan bahwa: “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu filsafat dan ahli filsafat”.

Argumen itulah yang tertera dalam postingan tersebut. Postingan itu kemudian menuai beragam reaksi, salah satunya dari Habib Husen Ja’far. Beliau seorang lulusan filsafat Islam UIN Jakarta dan juga seorang pendakwah. Ia meluruskan apa yang sebenarnya dikatakan oleh Imam Syafi’i. Melalui video berjudul “Filsafat Haram?” yang beliau unggah di akun youtube pribadi miliknya, ia menjelaskan bahwa bila kita benar-benar merujuk kepada teks aslinya, maka sebetulnya yang dibenci oleh Imam Syafi’i itu adalah kalam atau teologi, bukan ilmu filsafat.

Habib Ja’far juga menyingggung kelompok-kelompok yang terlalu gampang melabeli suatu hal haram tanpa landasan yang jelas. Beliau mengatakan janganlah kita seenaknya mengharamkan sesuatu atau bahkan menghalalkan sesuatu hanya dengan berlandaskan nafsu belaka, tanpa dalil yang jelas.

Sejarah Pengharaman Filsafat dalam Islam

Al-Kindi sebagai filsuf pertama yang mendakwahkan filsafat dalam tradisi keilmuan Islam sudah mendapat gesekan-gesekan dari pihak yang kontra terhadap disiplin ilmu ini. Adalah Abu Ma’syar yang mengatakan bahwasanya filsafat yang diajarkan oleh al-Kindi itu sesat. Namun al-Kindi malah merespon pernyataan itu dengan sepucuk surat dengan nama yang disamarkan. Dalam proses kirim-berkirim surat tersebut Abu-Ma’syar lantas malah mulai tertarik dengan filsafat dan bahkan menjadi murid dari al-Kindi.

Baca Juga  Seni Saling Memaafkan dalam Islam

Selang beberapa dekade setelah itu, al-Ghazali menerbitkan sebuah karya yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Kerancuan dalam Filsafat). Ada 20 kerancuan yang dipaparkan oleh al-Ghazali dalam karyanya tersebut. 17 kerancuan tersebut dapat menjerumuskan orang ke dalam bid’ah dan 3 kerancuan lagi akan menjerumuskan seseorang ke dalam kekafiran.

Al-Ghazali telah mampu memporak-porandakan sendi-sendi filsafat yang telah lama dipercayai oleh para pembelajar filsafat kala itu. Meskipun hanya dengan memperlajari filsafat secara keseluruhan selama dua tahun. Karya al-Ghazali inilah yang dianggap dan dituding sebagai biang keladi redupnya kreatifitas dan dinamika dalam berfilsafat di dunia Islam hingga sampai dewasa ini.

Meskipun Ibn Rusyd telah menangkis serangan yang dilancarkan oleh al-Ghazali tersebut secara paragraf demi paragraf. Hal itu ternyata tidak terlalu memberi pengaruh yang signifikan terhadap kedudukan filsafat di belahan Timur dunia Islam.

Jawaban Ibnu Rusyd

Ibn Rusyd melalui karya beliau yang berjudul Fashl al-Maqal Baina al-Hikmah wa Asy-Syari’ah min al-Ittishal, telah mengupas tuntas mengenai hubungan antara filsafat dan agama. Beliau menjelaskan bahwa sebenarnya syari’at itu tidak ada melarang filsafat apalagi mengharamkannya. Malah syari’at sangat menganjurkan kepada umat untuk berfilsafat.

Sebagai seorang filsuf yang juga ahli dalam bidang hukum, Ibn Rusyd sangat rasional dalam menerangkan tiap argumen-argumennya tentang bagaimana hukum mempelajari filsafat. Salah satu argumen yang beliau katakan adalah bahwasanya, “Jika filsafat tidak lain daripada mempelajari secara kritis segala wujud yang ada dan menerangkannya sebagai dalil petunjuk tentang adanya Sang Pencipta, sedangkan syari’at memerintahan dan mendorong kita untuk merenungkan ciptaan Tuhan. Maka mempejari filsafat sangat diajurkan bahkan diwajibkan oleh syari’at.”

Di sini Ibn Rusyd mengemukakan argumen dengan menyusun kerangka berpikir yang logis dan rasional. Dikarenakan dalam filsafat Islam masih mengimani akan adanya Allah, tidak seperti filsafat Barat yang mengingkari akan adanya Tuhan. Filsafat dalam dunia Islam hanya akan bermuara pada upaya kita untuk mengetahui tentang Tuhan dan ciptaan-Nya. 

Baca Juga  Mengenal Sejarah Nabi melalui karya Al-Mubarakfuri

Sandaran tekstual yang mewajibkan kita untuk memfungsikan penalaran akal adalah salah satu potongan ayat yang berbunyi, “Fa’tabiru ya ulil abshar”. Menurut Ibn Rusyd kata “i’tibar” adalah merupakan suatu proses dalam menarik sebuah kesimpulan tentang apa yang belum diketahui dari apa yang sudah diketahui.

Islam Mengajurkan Kita Berfilsafat

Maksud dari yang sudah diketahui ini adalah alam, sedangkan maksud dari apa yang belum diketahui adalah apa yang ada di balik alam ini; yakni Tuhan. Jadi, ber-i’tibar adalah upaya kita untuk melakukan perenungan serta penalaran terhadap alam agar kita sampai pada apa yang ada di balik alam ini; yaitu Tuhan. Dan kegiatan ini sangat identik sekali dengan berfilsafat, karena di dalam filsafat nalar kita akan dilatih secara sistematis.

Berarti ketika Tuhan menyeru kita untuk ber-i’tibar maka secara tidak langsung Tuhan menyeru kita untuk berfilsafat; untuk merenungkan secara filosofis apa hakikat yang ada di balik jagat raya ini. Hal inilah yang dilakukan oleh filsuf-filsuf muslim terdahulu hingga mereka dapat merumuskan tentang apa yang disebut dengan Sebab Pertama, Penggerak Pertama, Wajib al-Wujud dan lain-lainnya.

Oleh karena itu tidak ada pelarangan kepada kita untuk berfilsafat, apalagi pengharaman. Karena Tuhan sendiri melalui firman-Nya telah menganjurkan pada kita untuk melatih penalaran, dan proses melatih penalaran itu ada dalam batang tubuh filsafat.

Editor: M. Bukhari Muslim