Seringkali kelompok pendukung khilafah mengutip surat al-Baqarah ayat 208 sebagai dasar pandangannya untuk menerapkan khilafah di muka bumi terkhusus di Indonesia. Mereka mempunyai pandangan bahwa khilafah merupakan sebuah sistem yang akan memproduksi syariat-syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah menurut pandangan mereka merupakan sebuah sistem yang menerapkan hukum syariah Islam secara kaffah (menyeluruh). Maka dari itu, kelompok yang mendukung khilafah seringkali mengampanyekan Islam kaffah. Lalu, apakah arti Islam kaffah yang sebenarnya?
Tafsir Fi Silmi Kaffah
Dalam kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama terkemuka seperti Ibnu Katsir, at-Thabari, dan Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan kisah seorang ahli kitab Yahudi dari Bani Nadhir bernama Abdullah bin Salam dan teman-temannya. Namun, setelah mereka memeluk Islam ternyata mereka tetap menganggap bahwa hari Sabtu merupakan hari yang mulia dan tidak mau memakan daging unta.
Perlu diketahui, bahwa hari Sabtu merupakan hari yang mulia bagi kaum Yahudi. Setelah itu mereka pun bertanya kepada nabi “Wahai Rasulullah, hari sabtu merupakan hari yang kami agungkan. Maka biarkanlah kami merayakannya dan bukankah Taurat itu adalah Kitabullah? Maka dari itu, izinkanlah kami untuk tetap membaca kitab Taurat itu dalam shalat-shalat malam kami”. Lalu turunlah surat al-Baqarah ayat 208 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya. Dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Dalam ayat tersebut, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli tafsir. Ibnu Abbas, Mujahid, Abu al-Aliyah, Ikrimah, Rabi’ bin Anas, as-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Qatadah dan adh-Dhahak mengatakan bahwa kata kaffah berarti jami’an (keseluruhan). Begitu juga menurut al-Samarqandi, al-Qurtubi, dan al-Suyuti. Dalam kandungan ayatnya, Quraish Shihab mencoba mengkaitkan ayat ini dengan asbabun nuzul nya.
Menurutnya, mayoritas para ulama seperti Ibnu Jabir at-Tabari, al-Qurtubi, Fakhr al-Din al-Razi dan Wahbah al-Zuhayli mengemukakan kaidah al-ibrah bi umum al-lafz la bi khusus al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum. Bukan khusus terhadap pelaku yang menjadi sebab turunnya). Sedangkan sebagian kecil dari mereka seperti al-Samarqandi, al-Suyuti dan Ibnu Katsir mengemukakan kaidah yang bertolakbelakang dengan kaidah diatas. Yakni al-ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafz (patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum).
Jika dilihat dari keberagaman penafsiran tersebut, maka penafsiran yang baik adalah berpatokan kepada kaidah yang pertama karena ayat ini masih relevan hingga sekarang dan tidak hanya berlaku pada beberapa orang Yahudi yang menjadi sasaran turunnya ayat ini. Bukan berarti dengan menerimanya kaidah yang pertama mengacuhkan asbabun nuzul nya, karena pada dasarnya umat Islam juga dituntut untuk menyempurnakan keislaman nereka serta tidak mengikuti langkah-langkah setan.
Islam Kaffah Haruskah Khilafah?
Para pendukung khilafah menganggap bahwa kata kaffah diartikan sebagai Islam yang syamil (meliputi segala sesuatu) dan kamil (sempurna). Dengan penafsiran seperti itu, mereka yakin bahwa Islam merupakan agama yang lengkap dan sempurna. Meliputi segala aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam menentukan sistem dan bentuk negara.
Menurut mereka, dalam sistem kenegaraan wajib hukumnya untuk menjunjung tinggi syariat Islam dan menganggap bahwa sistem selain Islam merupakan suatu sistem yang haram dan mungkar. Apakah benar menerapkan Islam secara kaffah harus membentuk negara khilafah? Jika merujuk pada penafsiran para ahli tafsir diatas yang tidak diragukan lagi kualitasnya. Maka tidak ada satupun perintah atau kewajiban secara jelas dan terus terang untuk mendirikan negara Islam atau menegakkan khilafah.
Bahkan dalam buku-buku karangan ulama kontemporer seperti Muhammad ‘Azzah Darwazah dan Muhammad Rashid Rida juga tidak disebutkan secara terus terang mengenai kewajiban pendirian negara Islam dalam surat al-Baqarah ayat 208. Kesempurnaan iman dan Islam merupakan sesuatu yang relatif, tergantung dari sudut pandang yang digunakan. Mengacu pada asbabun nuzul nya, persoalan yang terjadi pada kisah tersebut merupakan persoalan aqidah. Terutama untuk tidak mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran sebelumnya. Bukan persoalan muamalah apalagi dalam sistem kenegaraan.
Maka keabsahan ayat ini untuk dijjadikan landasan utama dalam penegakan khilafah patut untuk dipertanyakan. Toh khilafah menurut mereka agak sedikit rancu. Khilafah yang merupakan sebuah sistem pemerintahan Islam yang tidak sama dengan sistem kerajaan tapi mereka masih menganggap bahwa Kesultanan Turki Usmani menerapkan sistem khilafah. Padahal Usmani menerapkan sistem monarki.
Contohnya dalam peluncuran film Jejak Khilafah di Nusantara yang dibuat oleh para pendukung khilafah. Disitu menyebutkan bahwa Usmani merupakan sebuah khilafah, padahal faktanya Usmani merupakan sebuah kekaisaran atau kerajaan. Azyumardi Azra juga menyebut bahwa Abbasiyah, Umayyah dan Usmani merupakan sebuah dinasti, bukan khilafah.
Sejarawan terkemuka yakni Ibnu Khaldun pun berpandangan bahwa khilafah telah selesai pada masa Ali bin Abi Thalib. Bahkan nabi pun pernah bersabda tentang lima fase zaman sepanjang masa yang disitu tertulis bahwa ada fase khilafah dan fase kerajaan. Para ahli hadits pun bersepakat bahwa yang dimaksud fase khilafah adalah pada masa Khulafaur Rasyidin. Sedangkan fase kerajaan terjadi setelah fase khilafah yakni pada masa Umayyah, Abbasiyah dan Usmani.
Dalam hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya usaha untuk menegakkan khilafah, nanti saat tiba waktunya khilafah akan berdiri sendiri yang dipimpin oleh Imam Mahdi. Dan itu merupakan kejadian akhir zaman yang disabdakan oleh nabi. Maka dari itu, khilafah yang selama ini didukung oleh mereka, patut dipertanyakan. Apakah khilafah ala kenabian atau khilafah yang hanya sekedar terminologi.
Editor: Rubyanto
Leave a Reply