Sadar atau tidak kita pahami sebenarnya stigma mengenai penanaman rasa intoleransi sudah tumbuh subur dalam kehidupan sehari-hari disamping sosialisasi mengenai toleransi beragama. Kita sering kali mendengar anggapan keliru yang secara tidak sadar hal tersebut menghantarkan kepada sikap intoleran terhadap agama lain. Mulai dari: “Jangan masuk rumah ibadah tertentu karena itu haram“. “Jangan menggunakan peralatan makan orang kafir, kalau tidak maka makanan tersebut sudah terkena najis“.
Kemudian, ada lagi ungkapan jangan terlalu sering bergaul dengan si anu, karena dia beragama itu. Jangan berbisnis dengan orang-orang kafir. Hingga perkara kebaikkan dan kesopanan seseorang pun rusak hanya karena ia beragama lain. Bukankah itu merupakan intoleransi yang hadir ditengah-tengah kehidupan kita?. Sebuah stigma negatif yang menghantarkan pada suatu kesimpulan bahwa agama orang lain dianggap sebagai pembawa keburukkan dan kerusakan. Padahal bukankah semua agama justru mengajarkan kebaikkan?
Ibaratnya HIV dan AIDS, agama tidaklah menular melalui sentuhan kulit, udara maupun peralatan makan. Sudah seharusnya patut khawatir akan kebencian dan stigma negatif semacam ini malah dianggap normal, sehingga jurang perbedaan semakin tajam dan fundamentalisme pun berakar. Sebelumnya, seperti yang terjadi pada peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral hingga baru-baru ini kejadian perusakan mesjid Ahmadiyyah.
Islam, Toleransi, dan Dakwah.
Akhir-akhir ini pun rasa intoleran semakin mencuat. Ketika beberapa golongan mencoba memperjuangkan dan menyuarakan sikap berislam yang ramah, toleran dan moderat terhadap pelaku intoleran. Alih-alih mendapatkan respon yang hangat, sebaliknya malah diklaim dan dijuluki sebagai kaum yang liberal. Hal tersebut menjadi semacam “jurus ampuh” bagi justifikasi negatif kepada kaum muslim yang sangat menjujung toleransi beragama.
Bukankan sudah menjadi pengetahuan khalayak umum bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan Lil ‘alamin? (Rahmat bagi semua alam). Islam merupakan agama universal dan moderat yang mengajarkan nilai-nilai toleransi. Maka sebagai rahmat bagi semesta alam, al-Qur’an tidak pernah memaksa manusia yang berkeyakinan berbeda untuk harus mengikuti aturan dan hukum yang ditetapkan oleh Islam.
Pada perihal dakwah, Islam yang kita pahami tidak pernah mencerminkan cara berdakwah dengan kekerasan, kafir-kafiran, main hakim sendiri apalagi menjadi umat yang mudah tersulut sumbunya bila di senggol, semakin pendek sumbunya, maka dapat dianggap jihadnya semakin besar.
Islam yang kita kenali disini yaitu mengajarkan bahwa dakwah keagamaan harus selalu mempromosikan sikap dan narasi toleransi nan ramah yang berorientasi pada prinsip dasar Islam moderat. Seperti yang digambarkan di dalam surah (QS. al-Baqarah [2]: 143). Etika dakwah harusnya mendasar dan sejalan pada prinsip Islam dalam surat al-Rahman: 7. “meletakkan neraca keadilan”, sehingga keberlangsungan akan kebhinekaan agama terus merasa disurgai dengan ketentraman dan kenyamanan.
AL-Qur’an dan Toleransi
Jika dengan mempelajari al-Qur’an malah membuat terbatas dengan perkara berjihad secara marah-marah bukan ramah, dengan kekerasan bukan rangkulan, menyembelih manusia yang tidak sepaham ataupun menegakkan agama dengan darah. Maka kita pahami premis manusia manapun akan mengarah kepada Islam merupakan agama yang keras.
Mau salah atau benar pun suatu aliran, diterima atau tidak ibadahnya, tentu bukan menjadi kuasa kita untuk menentukan. Menjadi manusia tidak perlu mengambil alih tugas Tuhan, biarkan itu menjadi ketentuan Tuhan. Bukankah iblis dilempar kedalam neraka karena dia merasa paling beriman dan sombong terhadap ciptaan Allah yang berbeda?
Toleransi bukan berarti perkara yang membuat kita terpaksa untuk melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki. Melainkan toleransi yang sesungguhnya berarti manusia berhak melakukan tindakan yang sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Disisi lain, sebagai umat Islam sudah menjadi peran kita untuk menghormati kepercayaan orang lain. Islam tidak pernah memaksakan umat lain untuk melepas atribut keagamaan yang berbeda keyakinan.
Bukankah hal tersebut sudah terpampang jelas didalam al-Qur’an ketika Allah menurunkan ayat yang begitu humanis لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ “tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam“. Kemudian sebagaimana yang termaktub dalam kitab al-Qurthubi yang berjudul Al-Jami’ liahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqan. Allah menurunkan surat Al-Kafirun sebagai ayat yang menjelaskan tentang hakikat toleransi dalam menerima berbagai perbedaan dan berkomitmen terhadap agama yang dipilihnya masing-masing.
Makna penting yang harus digaris bawahi, terutama untuk kaum yang bersumbu pendek. Bahwa surat tersebut menjelaskan kepada semua penganut semua agama untuk memahami pentingnya bertoleransi sekaligus Islam tidak melarang untuk menerapkan sikap saling berhubungan baik kepada agama yang lain.
Apa yang Harus Kita Pahami?
Sudah saat nya kita sadar dan pahami untuk menolak berbagai bentuk penggambaran dualisme yang terlalu ekstrim dalam menentukan hitam-putih dan salah-benarnya seseorang. Apapun permasalahan yang terjadi dalam keberagaman maka sepatutnya untuk diselesaikan dengan dialog bukan olok-olok.
Namun mirisnya, kebanyakan yang terjadi pada zaman sekarang, cara yang ditempuh bukan dengan dialog melainkan dengan metode pemaksaan. Takfiri misalnya, kebanyakan para ahli agama tidak sabar dalam mendengarkan pandangan orang lain dan kemudian orang lain dipaksa untuk meyakini pendapatnya bahkan cara “pembungkaman” sering digunakan yang berakhir pada kekerasan.
Padahal agama Islam sangat menjunjung tinggi dialog. Bukankah dialog juga merupakan bagian dari metode al-Qur’an?. Kita dapat melihat berapa banyak ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Islam itu “دين الحوار ” Sebagai agama yang menegakkan konsep dialog. Maka sudah seyogyanya ayat al-Qur’an digunakan untuk pembuka dialog bukan untuk menghentikan dialog.
Bahkan nabi SAW pun pernah menyusun Piagam Madinah yang isinya toleransi. Ketika ada permasalahan diantara kaum muhajirin dan ansor maka Nabi SAW selesaikan dengan dialog yang sesuai dengan peraturan tertulis pada Piagam Madinah. Maka jika kita masih menunjukkan kebencian secara terbuka, mengolok-olok yang tidak sependapat, seolah-olah itu merupakan hal yang benar dan berpahala, lantas agama siapa yang anda anut?
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply