Sekian banyak ragam pemahaman terhadap pesan-pesan agama, yang kelak menjadi beberapa aliran pemikir praktis keagamaan, bisa hidup dan eksis mewarnai perjalanan panjang sejarah peradaban Islam. Meski pada awal kemunculannya sering merupakan reaksi dari sikap ketidakpuasan terhadap paham tertentu. Akan tetapi, justru budaya dialektik ilmiyah, yang didasari rasa toleransi yang dalam itulah proses transformasi sosial dalam skala masif bisa kita lihat sepanjang sejarah. Sebagai contoh, muslim tempo dulu, sesuai dengan kapasitas dan substansi keilmuan yang mereka miliki, berbeda-beda dalam memahami pesan agama. Akan tetapi, persamaan prinsip, visi, dan misi (al-maba di’ wa al-ghayat) antara mereka telah membentuk satu sikap toleransi yang utuh. Tidak pernah ada lontaran kecaman, cacian apalagi takfirisasi. Mereka bersatu padu membela Islam.
Fenomena budaya toleransi itu menunjukkan bahwa di samping konsistensi mereka yang kuat terhadap nilai-nilai etis yang telah diwarisi dari Rasulullah pemahaman mereka terhadap nas-nas agama masih sangat bersih, bagai “mata air” yang senantiasa memberi kesejukan dan kesegaran pada siapa saja yang meminumnya, meski dengan kadar dahaga yang berbeda-beda. Kedekatan mereka dengan masa kenabian sangat membantu dalam menginterpretasikan teks-teks agama. Mereka mengetahui sebab-sebab dan rahasia turunnya wahyu. Sebagai manifestasi dari pangkat “khairul qurun” yang mereka sandang, mereka dengan ikhlas memahami agama sesuai kapasitas dan proporsinya. Pemahaman yang tidak pernah didasarkan pada kepentingan-kepentingan individu, pemahaman yang belum pernah tercemari oleh bias-bias fanatisme kelompok, golongan, atau ideologi.
Islam Agama Wahyu
Dengan meletakkan agama sebagai wahyu, maka kita telah meletakkan Islam sebagai agama kosmopolit. Karena wahyu mempunyai orientasi dan wawasan yang sangat luas. Orientasi dan wawasan wahyu digambarkan Ali Harb sebagimana luasnya bahasa dan peradaban. Semakin luas bahasa dan peradaban, maka semakin luas pula wawasan wahyu Qur’ani. Dengan meletakkan Islam sebagai agama wahyu, dan bukan sebagai ideologi, kosmopolitanisme agama Islam tampak diakui bahwa dalam Islam terdapat banyak ideologi. Ada ideologi Sunni, Mu’tazili, Syi’i, dan lain sebagainya.
Akan tetapi ideologi-ideologi itu hanya varian-varian kecil (ajza’) dari cakupan Islam secara komprehensif. Ideologi-ideologi di atas adalah hasil olah pikir dan pencapaian dari eksperimen manusia, dengan meletakkan agama wahyu sebagai dasar pijakannya. Agama yang ajaran-ajarannya diformulasikan dalam al-Qur’an dan Sunnah sangat kaya dengan nilai-nilai universal. Karena nilai universal itulah Islam bisa diterima semua orang.
Islam Agama Kosmopolit
Kosmopolitanisme Islam muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitnisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang elektrik selama berabad-abad. Dan kalau kita mau telusuri, perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum-hukum agama, akan tampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut oleh kaum muslim waktu itu. Kalau pun hal itu dianggap sebagai kemelut kehidupan beragama kaum muslim, karena tidak adanya konsesus atas hal-hal dasar, maka harus juga dibaca dengan cara yang lain bahwa para pemikir muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam budaya dan keilmuan mereka, karena mampu berdialog secara terbuka dan bebas.
Watak kosmopolitan Islam telah tampak sejak pertama kemunculannya. Dimulai dengan cara-cara Rasulullah mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya para ensiklopedis musim awal pada abad ketiga hijriyah, memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban yang lain di sekitar dunia Islam waktu itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa Hellenisme hingga peradaban anak benua India.
Heterogenitas Visi Islam
Sebagai dampak dari fleksibilitas yang dimiliki Islam, adalah munculnya beberapa paham dan aliran praktis keagamaan. Nilai universal yang terkandung dalam wahyu Qur’ani melahirkan beberapa interpretasi tentang wahyu itu sendiri. Dari sini lahirlah heterogenitas dan pluralitas visi keagamaan, sesuai dengan disiplin keilmuan masing-masing.
Dalam skala makro, heterogenitas visi keagamaan itu dibagi Sa’id Hawwa dalam dua kelompok besar: Fiqh al-Kabir, dan Fiqh al-Akbar. Fiqh al-Kabir mencakup ilmu fiqh itu sendiri, qawa’id dan usulnya. Sementara Fiqh al-Akbar meliputi aqidah (teologis) dan tasawuf.
Solusi Deradikalisasi Memupuk Sikap Toleransi
Pemahaman tentang Islam sebagai agama kosmopolit merupakan usaha untuk menempatkan Islam dan umat muslim agar bisa hidup dan berkembang dengan dijiwai oleh semangat toleransi dan sikap saling menghormati antar sesama dan sekaligus dapat menjaga hidup bersama dalam rangka menjaga kedaulatan negara. Dengan mengembangkan pemikiran Islam sebagai agama kosmopolit ini pula diharapkan bisa menjadi terapi atas terbendungnya gerakan radikal yang sering muncul dan termotivasi oleh pemahaman ajaran agama Islam yang sempit.
kecenderungan untuk kembali ke agama fitrah sudah tampak di mana-mana. Suara sahwah (kebangkitan) kita dengar di mana-mana dengan macam-macam versinya. Menjelang kebangkitan Islam yang kita idam-idamkan perlu adanya kesiapan yang matang. Kebangkitan yang kurang seimbang dengan persiapan akan menciptakan problem-problem lebih besar. Kebangkitan harus berjalan secara evolutif agar dapat mengakar selama-lamanya. Islam sebagai agama besar harus kita letakkan pada proporsi kebesarannya. Wawasan luas, keilmuan tinggi akan dapat membawa Islam sesuai dengan kebesarannya.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply