Nur atau cahaya merupakan gelombang elektromagnetik yang menjadi sumber kehidupan di bumi dan seluruh jagat. Tanpa cahaya kehidupan juga tidak ada, karena cahaya merupakan syarat dalam proses fotosintesis tumbuhan. Jika tidak ada fotosintesis maka tumbuhan akan mati, jika tumbuhan mati maka hewan dan manusia juga mati.
Al-Qur’an telah menyebut kata cahaya menggunakan lafal nur. Jika kita menelaah Al-Qur’an maka akan kita temui bahwa nur itu beragam. Ada yang digunakan untuk sesuatu hal yang bersifat metafisik, yakni berkaitan dengan petunjuk. Namun, kita ketahui di kehidupan sehari-hari cahaya merupakan sesuatu hal yang fisik, bisa dilihat dengan mata kepala. Dengan itu, perlu mengetahui hakikat cahaya dan apa hubungan antara cahaya fisik dan metafisik yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an.
Hakikat Cahaya Perspektif Fisika
Dalam ilmu fisika, cahaya memiliki berbagai teori. Hal ini dikemukakan oleh berbagai fisikawan terkemuka, yaitu Isaac Newton dan Albert Einstein. Menurut Newton cahaya adalah partikel-partikel yang sangat kecil dan ringan yang terpancar dengan cepat dari sumbemya ke segala arah. Bila partikel-partikel sampai ke mata, maka kita dapat melihat benda.
Sedangkan Einstein mengatakan bahwa cahaya adalah salah satu gelombang elektromagnetik. Baik dengan panjang gelombang yang dapat dilihat langsung oleh mata atau tidak. Panjang gelombang kasatmata sekitar 380-750 nm. Suatu dualisme gelombang transversal elektromagnetik dan aliran partikel yang disebut foton.
Cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Ciri utama dari gelombang adalah gelombang tidak pernah diam, jadi cahaya selalu bergerak. Sumber cahaya dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu alami dan buatan. Sumber cahaya alami seperti matahari dan bintang. Sedangkan sumber cahaya buatan seperti larnpu listrik dan nyala lilin.
Hakikat Cahaya Menurut Tasawuf Suhrawardi
Teori Suhrawardi menjelaskan bahwa segala sumber cahaya yang ada adalah cahaya mutlak (Nur al-Qahir). Alam diciptakan melalui penyinaran atau iluminasi. Alam ini terdiri dari susunan yang bertingkat-tingkat, berupa pancaran cahaya. Cahaya yang tertinggi dan sebagai sumber dari segala cahaya dinamakan Nur al-Anwar atau Nur al-A’dzam dan ini yang dimaksud adalah tuhan.
Manusia berasal dari nur al-Anwar, menciptakan manusia melalui pancaran cahaya yang serupa dengan teori emanasi. Menurutnya, hubungan manusia dengan Tuhan merupakan hubungan arus balik dan kemudian terjadilah ittihad.
Seluruh realitas berasal dari cahaya yang mempunyai beberapa tingkatan dan intensitas. Puncak cahaya dari tingkatan cahaya ini ditempati oleh Nur al-Anwar (Cahaya Berbagai Cahaya), yang oleh pengikut paripetik disebut akal. Nur al-Anwar ini adalah cahaya yang tertinggi, terbesar dan sumber cahaya-cahaya yang lain.
Cahaya tertinggi merupakan sumber segala eksistensi. Cahaya itu merupakan realitas tunggal yang meliputi segala hal baik fisik maupun non fisik dan tidak ada yang menyerupai cahaya itu. Esensi cahaya mutlak pertama, yaitu tuhan, memberikan penyinaran konstan dan memberikan kehidupan dengan sinar-Nya.
Hakikat Cahaya dalam Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an lafaz nur (cahaya) disebutkan 43 kali. Penyebutan kata nur ini bermacam-macam sesuai dengan konteks yang terdapat pada ayat. Adapun contoh dari penyebutan cahaya di dalam Al-Qur’an antara lain:
Surat an-Nur ayat 35, dalam surat ini dijelaskan bahwa cahaya bersifat metafisik yakni terkait hakikat cahaya. Allah adalah cahaya diatas cahaya. Dalam tafsir Jalalain dijelaskan bahwa Allah merupakan cahaya langit dan bumi yakni memberi langit dan bumi suatu cahaya yakni matahari dan bulan.
Perumpamaan cahaya Allah dimaknai sebagai sifat cahaya Allah di dalam kalbu orang mukmin, diibaratkan seperti misykat (sebuah lubang yang tidak tembus). Di dalam misykat ada pelita besar yang berada di dalam kaca. Kaca tersebut terdapat cahaya yang terpancar seakan-akan seperti bintang yang bercahaya seperti Mutiara. Kaca tersebut dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya yakni pohon zaitun. Kemudian minyaknya hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh dengan api.
Cahaya Allah dimaknai dengan petunjuk kepada orang yang beriman. Cahaya di atas cahaya adalah cahaya di atas cahaya iman. Allah membimbing kepada cahaya-Nya (petunjuk-nya) yaitu kepada Islam kepada siapapun yang Allah kehendaki dan Allah menjelaskan perumpamaan-perumpamaan ini supaya dapat dicerna oleh pemahaman manusia, supaya mereka mengambil pelajaran darinya, sehingga mereka mau beriman.
Cahaya Metafisik
Dalam ayat ini disebutkan “Allah Nur al-Samawat wa al-Ardh”, maka yang dimaksud ini bukanlah cahaya yang empiris dan kasat mata, melainkan cahaya yang metafisik. Cahaya empiris dan kasap mata ini berlaku pada cahaya pada ciptaan Allah.
Cahaya di sini maksudnya adalah dzat ilahi, yaitu dzat yang nampak dan menampakkan. Ia terang dan menerangi, tampak danterangnya segala sesuatu bersumber dari pancaran Dzat-Nya. Dengan demikian, dapat dikatakan “Tuhan adalah Cahaya.”
Selain itu terdapat surat yang menjelaskan tentang cahaya yang bersifat fisik, antara lain:
“Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita?” (QS. Nuh: 16). Dan kami jadikan Pelita yang amat terang (matahari) (QS. an-Naba’: 13)
Ayat di atas digunakan untuk menunjuk sesuatu yang memancar dari benda yang terang dan membantu manusia untuk dapat melihat benda-benda yang dilalui pancaran itu.
Integrasi Hakikat Cahaya dalam Al-Qur’an, Tasawuf dan Fisika
Jika menganalisis dalam segi fisika, konsep cahaya bisa sebagai partikel dan juga bisa sebagai gelombang. Konsep ini dalam fisika juga dapat berlaku pada semua materi. Manusia juga dapat bersifat sebagai partikel yang menurut lbn Arabi aspek lahir, pada saat lain juga manusia bersifat sebagai gelombang yang menurut lbn Arabi aspek batin. Seperti halnya diketahui bahwa manusia memiliki aspek lahir dan aspek batin, hal ini juga sama dengan cahaya yang mana memiliki dua aspek yaitu aspek lahir dan batin.
Hakikat cahaya memiliki 2 aspek yakni fisik dan metafisik. Seperti halnya manusia. Jika dilihat dari aspek fisik maka cahaya ini sesuai dengan teori fisika bahwa cahaya bersumber dari hal-hal fisik yang dapat diindra. Hal ini juga sesuai dengan teori Suhrawardi yang mengatakan bahwa Allah adalah sumber cahaya tertinggi. Sedangkan cahaya-cahaya yang lain seperti matahari, huda, ilmu dsb baik yang aspek fisik maupun metafisik, ini merupakan pancaran dari cahaya Allah.
Hal ini sangat sesuai dengan hakikat cahaya yang terdapat di dalam al-Qur’an, yang mana al-Qur’an juga menjelaskan bahwa cahaya ada yang bersifat fisik maupun metafisik. Yakni terdapat dalam surat an-Nur ayat 35 membahas cahaya metafisik dan juga dalam surat Nuh ayat 16 dan an-Naba’ ayat 13 membahas tentang cahaya fisik. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an serta ilmu-ilmu lain dalam alam semesta ini saling berkaitan.
Penyunting: Ahmed Zaranggi
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.